All Chapters of MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR : Chapter 11 - Chapter 20

Pov Azzam Udara siang hari di pedalaman terasa lebih terik dari biasanya. Pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar rumah Pak Arif terlihat tenang. Aku duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap layar ponselku yang kosong dari notifikasi.Sudah enam hari aku di sini. Enam hari tanpa kabar dari ibu dan … tentu saja, Ivana.Ada dorongan kuat untuk menghubunginya, sekadar mendengar suaranya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Sinyal di sini seperti harta karun yang sulit ditemukan. Bahkan daya baterai ponselku masih tetap penuh, tidak berkurang sedikit pun karena beberapa hari ini tidak ku sentuh.Pak Arif, yang duduk di sebelahku, menyeruput teh yang disediakan istrinya dengan tenang. Matanya yang tajam sesekali melirikku, seakan membaca kegelisahan yang sedari tadi aku coba sembunyikan."Silakan diminum tehnya, Pak," ucapnya, mendorong gelas ke arahku.Aku mengangguk dan meraih gelas tersebut, tapi bukan teh yang mengisi pikiranku. Sosok Ivana hadir begitu jelas di benakku—sen

Kelembutan tangan ibu terasa di kepalaku saat jemariku masih sibuk memijat kakinya. Aku bisa merasakan tubuhnya mulai lebih rileks, napasnya teratur. Untung saja keadaan ibu cepat membaik dan sudah kembali ke rumah. “Ibu capek?” tanyaku pelan.Ibu menggeleng, "Nak, boleh ibu tanya sesuatu?"Aku mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang begitu hati-hati. "Tentu, Bu. Apa itu?"Ibu menggenggam jemariku, tatapannya dalam. "Tentang keluargamu, Nak. Ibu hanya ingin tahu."Aku tercekat. Dadaku terasa berat. Aku sudah menduga pertanyaan ini akan muncul suatu hari nanti, tapi tetap saja, ketika saatnya tiba, rasanya sesak.Aku tersenyum kecil, tapi hambar."Keluargaku ...." Aku menghela napas panjang. "Mereka adalah orang-orang yang paling aku cintai, tapi juga yang paling membuatku terluka."Ibu mengerutkan kening."Apa maksudmu, Nak?"Aku menatap jemari yang saling bertaut di pangkuanku. Suaraku hampir bergetar saat mulai berbicara. "Sejak kecil, aku selalu berusaha me

Hari ini aku merasa senang. Entah mengapa, tapi ada rasa bahagia yang sulit kujelaskan saat aku menelusuri lorong-lorong pasar tradisional tadi pagi. Sudah lama sekali aku tidak merasakan suasana pasar seperti ini sejak Ayah pergi. Selama menjadi TKW, aku memang sering berbelanja di pasar, tapi bukan pasar tradisional. Itu sebabnya, ketika tadi pagi aku memutuskan untuk pergi ke sana, aku merasa seperti kembali ke masa kecilku.Pasar tradisional selalu punya daya tariknya sendiri. Suara para pedagang yang menawarkan dagangan mereka, aroma rempah-rempah yang khas, serta interaksi yang lebih personal dibandingkan dengan supermarket atau pusat perbelanjaan modern. Selain bahan-bahannya lebih segar, harga yang lebih terjangkau juga menjadi alasan mengapa aku lebih menyukai belanja di sini.Saat tiba di rumah, aku segera mengeluarkan barang-barang belanjaanku dari bagasi mobil. Aku tersenyum melihat Mas Azzam yang tanpa diminta langsung membantuku membawa belanjaan ke dalam rumah. Ya, seka

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya mengunci pandanganku dengan sorot yang tak bisa kutafsirkan sepenuhnya marah, kecewa, atau mungkin gabungan dari keduanya. Kotak kecil berbungkus coklat itu terbuka di atas meja, menampilkan isinya yang mengacaukan segalanya.Tumpukan foto.Wajahku, wajah Arka. Aku mengenali beberapa foto saat kami bertemu di kafe siang tadi, ekspresiku yang tampak serius saat berbicara dengannya. Tapi beberapa foto terlihat terlalu mesra, seolah aku dan Arka memiliki hubungan lebih dari sekadar mantan yang menyelesaikan urusan masa lalu. Bagaimana bisa foto-foto itu, padahal aku tidak pernah melakukan hal seperti itu dengan Arka tadi siang. "Kamu bisa jelaskan semua ini, Ivana?" Suara Mas Azzam datar, tetapi ada ketegangan yang kentara di dalamnya.Jantungku berdetak tidak beraturan. Aku menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat."Aku bisa jelaskan," suaraku bergetar."Kamu bertemu pria ini tadi siang?"Aku mengangguk, menahan napas sejenak sebe

Aku duduk di ruang kerja, menatap meja yang berantakan dengan tangan mengepal. Ini adalah hari ke tiga aku tanpa Ivana. Dadaku masih terasa sesak, kepalaku berdenyut keras. Foto-foto yang tersebar di depanku seolah mengejek perasaan yang selama ini kujaga.Ivana. Wanita yang kupikir berbeda dari yang lain. Yang kupikir tulus. Yang kupikir tidak akan pernah menyakitiku. Aku jatuh cinta padanya bukan karena parasnya, tapi karena caranya bersikap. Cara dia membuatku merasa istimewa.Tapi pada akhirnya, dia sama saja.Aku benar-benar kecewa. Hatiku hancur sehancur-hancurnya.Dalam foto-foto itu, Ivana terlihat begitu bahagia bersama pria itu. Lelaki yang katanya sudah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi dari ekspresi wajahnya, dari sorot matanya… bagaimana mungkin aku percaya kalau perasaan itu benar-benar sudah hilang?Aku menggertakkan gigi, tanganku meremas kertas di atas meja.Mungkinkah aku yang terlalu bodoh? Terlalu percaya? Terlalu mudah dikelabui?Aku sengaja meminta Ibu untuk