Semua Bab Ah! Enak Mas Dokter: Bab 241 - Bab 250

Sore harinya di Bandara~Dewanto baru saja datang ke lokasi yang diberitahu oleh Bramanto lewat pesan singkat.Saat melihat kedatangan pensiunan polisi itu, tiga orang anggota polisi yang memakai pakaian preman, langsung membawa Dewanto ke tempat Komandan mereka bersembunyi.Rooftop gedung menjadi tempat paling aman dan dipilih oleh Bramanto untuk mengamati orang-orang yang keluar dari pesawat."Akhirnya kamu datang," senyum Bramanto saat melihat kedatangan sang sahabat. Dewanto hanya mengangguk sedikit, kemudian mulai memasang pelindung di tubuh dan ikut memegang senjata api."Apa aku terlambat?" tanya Dewanto pada Bramanto. Ia kemudian berdiri di dekat dinding pembatas. Melihat ke arah landasan udara."Sama sekali tidak, pesawat baru saja mendarat. Kita masih memiliki waktu sebentar lagi," jawab Bramanto sambil mengawasi landasan udara menggunakan teropong.Suasana di bawah sana terlihat sangat ramai. Orang-o

Bandung~Dirga dan Fandi memutuskan pulang ke rumah karena mengkhawatirkan para istri mereka. Apalagi setelah ia mendapatkan kabar dari Febby kalau kondisi ibunya mendadak drop.Sejak siang tadi, Ratna menolak makan dan keluar dari kamar. Ia terus termenung memikirkan sang suami.Sesampainya di rumah, Dirga langsung mendatangi sang ibu yang berada di dalam kamar tamu."Ma." Dirga melangkah cepat kemudian duduk di pinggir ranjang. "Mama kenapa? Jangan membuatku cemas seperti ini. Mama baik-baik saja kan?" Ia menggenggam jemari tangan ibunya erat-erat. Ratna menghela napas panjang, menatap anaknya dengan kedua manik mata berkaca-kaca. "Maafin Mama ya Nak. Seharusnya Mama ngga seperti ini. Padahal Papa kamu baru aja menghubungi Mama dan bilang kalau dia baik-baik saja di sana, tapi Mama tetap saja khawatir. Mama takut terjadi hal yang buruk sama Papa kamu yang keras kepala itu.""Iya, aku mengerti perasaan Mama. Wajar kalau Mama kh

"Kamu yakin?" tanya Bramanto. "Hmm." Dewanto mengangguk tegas. Bramanto segera menginformasikan pada bawahannya. "Target satu! Pria mengenakan hoodie hitam, memakai topi dan kaca mata hitam. Berjalan bersama seorang wanita berusia di atas lima puluh tahun." "Mengerti Pak. Target sudah terlihat." "Jangan gegabah! Dekati, lalu arahkan senjata! Kemungkinan masih banyak anak buahnya di dalam pesawat." "Baik Pak." Bramanto dan Dewanto mengawasi pria yang diduga sebagai Prams. Pria yang mengenakan hoodie hitam itu tengah berjalan bersama Yuliana. "Wanita itu... Yuliana." Dewanto tertegun melihat wanita yang tak asing... ternyata mantan besannya. Bramanto mengusap pundak Dewanto. Ia merasa sangat beruntung memiliki sahabat yang mau membantu meski sudah pensiun, karena hanya Dewanto yang mengenali beberapa anak buah Marco. "Mau kemana mereka?" gumam Bramant

Kepulangan Dewanto disambut tangis haru Ratna, yang bangga memiliki suami seperti pensiunan polisi itu.Keberhasilan Dewanto dalam melumpuhkan kelompok Mafia, membuat seluruh keluarga merasa tenang dan aman. Apalagi mereka mendengar sendiri Prams sudah mati ditembak oleh polisi.Setelah kerja kerasnya bersama Bramanto berakhir, malam harinya setelah makan malam, Dewanto berkumpul bersama Fandi, Agung dan Dirga di ruang tengah rumah mewah itu."Apa benar laki-laki bernama Prams itu sudah meninggal dunia, Pak Dewanto?" tanya Agung memastikan. Masih ada kekhawatiran di hatinya, apalagi menyangkut nasib Sisca. "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau laki-laki bernama Prams itu ditembak. Kemungkinan besar ratusan peluru bersarang di tubuhnya, dan akan sangat mustahil dia bisa selamat dengan luka tembak sebanyak itu," jelas Dewanto dengan sangat yakin. Senyuman lebar terlukis di wajah Fandi dan Agung. Keduanya merasa lega mendenga

Villa mewah milik Bramanto tampak hening di malam hari. Sisca dan Barta sudah kembali ke kamar masing-masing setelah menghabiskan makan malam mereka.Rencananya Sisca akan secepatnya dipulangkan ke rumah kedua orang tuanya di Bandung, setelah kondisi benar-benar aman dan kondusif.Selama dirawat oleh Barta di Villa, Sisca sudah mulai mendapatkan banyak kemajuan. Selain bisa berbicara, Sisca juga sudah mulai bisa menggerakkan anggota badannya.Meski masih harus duduk di kursi roda, tetapi perkembangan signifikan itu membuatnya bahagia.Saat ini di dalam kamar tidurnya, Sisca tampak gelisah. Sudah hampir dua jam ia mencoba untuk tidur, tetapi rasa ngantuk belum juga datang. Karena kesulitan untuk tidur itu, Sisca mengubah posisinya menjadi duduk dan mengambil ponsel.Ting! Ponsel itu berbunyi, ia melihat satu chat masuk dari Barta.[Kamu belum tidur?]Kening Sisca berkerut, bingung kenapa Barta bisa tah