Lahat ng Kabanata ng Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti): Kabanata 131 - Kabanata 140

Beberapa hari terakhir, Antony merasakan sesuatu yang tidak beres.Biasanya, Xavier, putra sekaligus tangan kanannya, selalu hadir setiap pagi di The Moons Company, memimpin rapat, dan mengawasi proyek-proyek besar perusahaan keluarga.Namun kini, kehadiran Xavier mulai jarang terlihat.“Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya,” gumam Anthony dengan nada dingin dan matanya menyipit.“Sejak kapan dia meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja?”Pintu ruangan diketuk, dan Markus, salah satu anak buah paling loyal Anthony, masuk dengan membawa map berisi laporan. “Tuan, ini laporan aktivitas Xavier selama satu minggu terakhir.”Anthony meraih map itu dengan gerakan cepat. Ia membuka lembar demi lembar, membaca dengan teliti. Namun semakin ia membaca, wajahnya semakin mengeras.“Ini hanya aktivitas biasa,” katanya penuh kecurigaan.“Pertemuan bisnis, perjalanan pribadi dengan istrinya, dan beberapa kunjungan ke rumah sakit untuk pemeriksaan kandungan Kayla. Tidak ada yang menarik.”Markus

Pagi itu, langit mendung menyelimuti kota. Gedung-gedung tinggi berdiri menjulang, seolah menjadi saksi bisu atas langkah besar yang akan diambil Xavier Anderson.Di sebuah kantor hukum mewah di pusat kota, suasana terasa tegang namun terkontrol.Xavier berdiri di depan jendela besar, kedua tangannya bersedekap di dada, tatapannya tajam dan penuh perhitungan.Di belakangnya, Mark, tengah berbicara serius dengan seorang pengacara senior bernama Michael Tanner, pria paruh baya yang terkenal dengan reputasi bersih dan loyalitas tak tergoyahkan.“Semua dokumen sudah siap, Tuan Anderson,” ucap Michael dengan suara rendah namun tegas. Ia meletakkan sebuah map tebal di atas meja kaca.“Pendirian perusahaan ini dilakukan melalui serangkaian badan hukum bayangan, sehingga tidak akan ada satu pun yang bisa melacak keterlibatan Anda, bahkan jika Anthony sendiri menyelidikinya.”Xavier berbalik, melangkah mendekat dengan langkah mantap. Wajahnya dingin, namun ada kilatan determinasi di mata birun

Udara pagi di ruang kerja Anthony Anderson terasa tegang. Aroma kopi hitam yang kuat bercampur dengan wangi cerutu yang terbakar setengah.Anthony duduk di kursi kulit mahalnya, jari-jari tangannya mengetuk meja besar dari kayu oak, matanya menyipit penuh perhitungan.Di hadapannya, beberapa pria berpakaian rapi berdiri dengan kepala tertunduk. Mereka adalah tangan kanan dan informan setianya.“Jadi, Xavier benar-benar jarang muncul di The Moons Company dalam dua minggu terakhir?” tanya Anthony dingin dan penuh kecurigaan.Seorang pria berjas abu-abu menjawab hati-hati, “Benar, Tuan. Kami memantau kantor pusat. Xavier hanya datang sesekali untuk rapat singkat, lalu menghilang. Dia juga jarang menghadiri acara publik.”Anthony menyeringai tipis, ekspresinya penuh rasa curiga dan kemarahan yang terselubung.“Itu tidak seperti Xavier,” gumamnya lirih.“Anak itu biasanya tidak bisa lepas dari panggung kekuasaan. Jika dia menghilang, itu berarti dia sedang merencanakan sesuatu di balik pun

Malam itu, rumah besar mereka terasa sunyi, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan.Kayla duduk di ruang keluarga, mengenakan gaun tidur berwarna krem yang longgar agar nyaman untuk perutnya yang kini semakin membesar.Kehamilannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan tubuhnya semakin terasa berat, namun yang membuat dadanya sesak bukanlah rasa lelah fisik, melainkan kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan.Ia menatap pintu ruang kerja Xavier yang tertutup rapat. Dari balik pintu itu, samar-samar terdengar suara suaminya berbicara dengan nada rendah namun tegas.Ini sudah yang ketiga kalinya minggu ini Xavier menerima panggilan telepon rahasia dan menutup diri di ruang kerjanya."Dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku," pikir Kayla, hatinya diliputi rasa cemas.Saat pintu ruang kerja terbuka, Xavier keluar dengan ekspresi yang berusaha tenang, namun mata tajamnya memancarkan sesuatu yang gelap. Ia terkejut melihat Kayla masih terjaga.“Sayang, kenapa belum tidur? Sudah la

Pagi itu, The Moons Company terasa berbeda.Udara di koridor yang biasanya dipenuhi suara langkah tergesa dan bisik-bisik para karyawan kini terasa lebih berat, lebih tegang.Setiap orang yang lewat di lobi utama menatap ke arah pintu masuk, di mana sosok tinggi berjas hitam baru saja melangkah masuk — tanpa pengawal, tanpa iringan mobil dinas mewah seperti biasanya.“Apakah itu Tuan Xavier?” bisik salah satu resepsionis dengan nada tak percaya.“Iya, tapi… kenapa dia datang sendirian?” sahut rekannya, nyaris berbisik, seolah takut ucapan mereka akan terdengar oleh tembok sekalipun.Langkah Xavier terdengar tegas di lantai marmer putih yang berkilau. Wajahnya tampak tenang, tapi di balik mata gelapnya tersimpan badai yang nyaris tak bisa dikendalikan.Di tangannya, ia menggenggam erat sebuah map hitam — berat bukan karena isinya, melainkan karena keputusan besar yang terkandung di dalamnya.Setiap pegawai yang berpapasan otomatis menunduk, sebagian pura-pura sibuk, sebagian menatapnya