Semua Bab Di Bawah Kekuasaan sang Mafia: Bab 21 - Bab 30

Isabelle saat ini sedang menghadap ke ruangan Bu Nikki. Perempuan itu ingin bertanya perihal pengeluaran yang janggal. Isabelle bermaksud meminta kerjasama atasannya itu untuk mengusut hal tersebut.Namun, niat baik Isabelle tidak mendapatkan sambutan yang berbanding luru. Bu Nikki justru menyemprot Isabelle dengan perkataan pedasnya.“Bukankah kamu karyawan yang pintar? Mengapa hal begini saja tidak mampu mengusut sendiri?” tanya Bu Nikki.“Atau sebenarnya memang kamu tidak kompeten di bidang ini? Portofoliomu hanya pajangan?” lanjut wanita yang tengah duduk sembari menyilangkan tangannya di dada itu.“Beginilah akibatnya kalau bekerja memanfaatkan koneksi. Kalau saja kau bukan keponakan Pak Ferdy kepala departemen produksi. Pasti perusahaan ini tidak akan menerimamu dengan kemampuan otakmu yang pas-pasan itu,” Bu Nikki tertawa remeh di akhir kalimatnya.Hal itu tentu saja memancing amarah Isabelle. Selama hidupnya, ia tidak pernah direndahkan separah ini. Apalagi disebut tidak kompe

Dario menunggu di depan ruang UGD dengan perasaan cemas. Isabelle tengah mendapatkan perawatan di dalam sana. Sudah 2 jam, namun tindakan medis kepada istrinya belum juga selesai.Lelaki itu hanya melihat perawat yang berlalu lalang masuk ke ruang UGD. Hal itu membuat perasaannya semakin kalang kabut. Ia berharap istrinya baik-baik saja di dalam sana.“Dengan keluarga Ibu Isabelle,” panggilan dokter membuat Dario seketika bangkit dari duduknya.“Saya suaminya, Dok,” ucap Dario.“Baik, Pak. Izin untuk menyampaikan kabar ini. Mohon maaf kami tidak bisa menyelamatkan janin di dalam kandungan Ibu Isabelle. Karena pendarahan hebat akibat jatuh membuat Bu Isabelle keguguran,” jelas dokter.“Keguguran, Dok?” tanya Dario kaget.“Benar, Pak. Mohon maaf kami tidak bisa menyelamatkan calon anak bapak,” jawab sang dokter.“Maaf, Dok. Istri saya hamil? Kami belum pernah mengecek kehamilan sebelumnya. Bahkan bulan lalu istri saya masih menstruasi,” ujar Dario.“Benar, Pak. Bu Isabelle hamil. Usiany

Dario masih tertidur lelap di sofa ruang rawat inap Isabelle ketika ada seseorang yang menepuk bahunya pelan. Lelaki itu membuka mata dan menyesuaikan pandangan dengan cahaya sekitar.“Paman Ferdy, Bibi,” sapa Dario setelah melihat dengan jelas siapa yang datang.“Nak Dario terlihat lelah. Sepertinya lebih baik pulang dulu. Beristirahat di rumah pasti lebih nyaman,” nasihat bibi.“Iya, Dario. Biar kami yang bergantian menjaga Isabelle.Dario menggeleng.“Saras akan mencari saya jika saya tidak ada di sini,” jawab Dario.Lelaki itu memutuskan untuk tetap di sana. Ia pergi ke kamar mandi di ruangan itu untuk membersihkan diri supaya terasa lebih segar. Sebelumnya, Dario sudah menugaskan sang asisten untuk mengambilkannya baju ganti.Paman Ferdy dan bibi menjaga Isabelle. Bibi tampak sedih melihat Isabelle yang terbaring lemah. Perempuan yang merupakan adik dari mendiang ayah Isabelle ia memandangi sang keponakan dengan mata berkaca-kaca.Tak lama, Isabelle bangun dari tidurnya. Membuat

Deru pesawat mulai mereda ketika roda mendarat mulus di landasan Bandara Incheon, Korea Selatan. Isabelle menoleh ke samping, menatap wajah Dario yang seperti biasa—tenang, nyaris tanpa ekspresi. Namun, ia tahu betul betapa hati pria itu tak lagi setangguh tampaknya. Sejak kejadian itu, sejak kehilangan itu, mereka berdua sama-sama terluka. Luka yang tak terlihat, tapi membekas di setiap hembusan napas mereka.Dario menggenggam tangan istrinya. Hangat. Tegas. Tapi kali ini genggaman itu terasa lebih manusiawi. Tak lagi hanya sentuhan seorang CEO kepada bawahannya, tapi seorang suami yang masih belajar menyembuhkan luka bersama perempuan yang ia cintai.“Welcome to Korea,” gumam Isabelle pelan, namun terdengar bahagia.Dario mengangguk, bibirnya membentuk senyum tipis. Ia cukup lega melihat istrinya sudah mulai bisa kembali tersenyum. Dario mempererat genggaman tangannya ada pada Isabelle. ***Langit Seoul sore itu mulai meremang. Setelah check-in di hotel butik yang menghadap ke Sun

Isabelle memasuki ruangan departemen keuangan dengan mengenakan setelan formal berwarna coklat. Kali ini langkah kakinya terasa lebih ringan. Ia kembali ke tempat itu bukan untuk bekerja, melainkan melepas semua bebannya.Di belakangnya ada seorang pengawal khusus yang disiapkan oleh Dario untuk istrinya itu. Mulai sekarang penjagaan terhadap Isabelle akan menjadi ketat. Suaminya itu tidak akan membiarkannya pergi kemanapun sendirian.Isabelle memilih untuk langsung menuju ruangan kepala departemen keuangan. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya.Wanita dengan rambut panjang hitam yang terurai itu mengetuk pintu.“Masuk,” sebuah perintah terdengar dari dalam sana.Isabelle melangkahkan kakinya dengan pasti dan memberikan sapaan kepada seseorang yang ada di dalam sana. Sementara sang pengawal ia minta untuk menunggu di depan ruangan saja.“Selamat pagi, Bu Nikki,” seulas senyum nampak di bibir merah Isabelle.Sedangkan Bu Nikki yang duduk di kursi kebesarannya nampak terkejut.“Selam