Hujan turun deras malam itu. Angin mengguncang jendela pecah di gudang tempat segalanya berakhir. Lampu gantung di langit-langit berayun, menciptakan bayangan panjang di wajah Alisya yang kini berdiri di tengah ruangan dengan rambut berantakan, wajah basah oleh air mata, dan darah menetes dari pelipisnya. Ziva, dengan napas tersengal, menatapnya ngeri. “Alisya, tolong… jangan lakukan ini. Kamu nggak perlu seperti ini…” Tawa Alisya pecah pelan—lembut, lalu makin keras, makin keras hingga menggema bersama suara hujan. “Lucu ya, Ziva… semua orang selalu bilang jangan lakukan ini, jangan lakukan itu. Tapi nggak ada satu pun yang pernah bilang: ‘Ayo, Alisya, kamu boleh istirahat.’” Ziva menggenggam tangannya, hati-hati melangkah. “Kamu cuma butuh tenang. Kita bisa bicarakan semuanya. Aku tahu kamu sakit, tapi—” “Sakit?” Alisya tertawa lagi, kali ini parau dan melengking. “Kamu pikir aku cuma sakit? Tidak, Ziva… aku rusak. Rusak!” Dia menepuk dadanya sendiri dengan keras. “Semuanya su
Last Updated : 2025-10-09 Read more