Semua Bab Sang Kekasih Berambut Merah: Bab 51 - Bab 60

Dengan seringai, dia melangkah menuju si cantik berambut merah dan melirik sepatu botnya. "Lepas sepatumu."Maria tersentak mundur karena terkejut. "Apa? Kenapa? Bukannya kita akan mengikuti pelajaran menunggang kuda?"Pria berbaju putih itu mendengus. "Apa yang membuatmu berpikir kalau kamu yang akan menunggang kuda? Lepas sepatumu."Sebuah desahan lelah keluar dari bibir yang indah itu, dan si cantik jelita itu melepaskan sepatu bot kulit hitamnya, memperlihatkan kaki susunya yang ramping.Paris melihat sekilas kulit beludru itu dan merasakan gelombang panas menaiki punggung dan membanjiri pipinya. Dia dengan cepat berbalik dan berjalan keluar dari kandang kuda.Dengan mata terbelalak, Maria setengah melompat, setengah berjingkrak, dan setengah berjinjit di belakang presiden yang kekanak-kanakan itu.Kerikil di jalan menyengat, menusuk, dan menggores telapak kakinya saat dia menyusuri jalan setapak menuju lapangan terbuka.Maria bertanya-tanya apaka

Putra pengusaha sukses itu maju selangkah lagi, kehangatan sang dara terpancar ke kulitnya. "Aku bertanya apakah kamu memikirkanku saat kamu melakukan semua hal yang kusuruh."Itu adalah pertanyaan terkonyol yang pernah didengarnya. Mengapa dia memikirkannya saat tengah mencuci piring? Ya... Mungkin dia memang memikirkannya—mengaitkannya dengan seekor binatang.Tapi Maria lebih paham untuk tidak mengatakannya sekarang. Dia sangat mengerti untuk tidak membuat seorang pria yang sedang marah semakin kesal.Jadi, dia diam.Tapi sepertinya itu justru memperburuk keadaan.Paris kembali maju selangkah. "Kamu tidak memikirkanku, kan?"Maria mundur lagi dan menabrak dinding. Dia terjebak. Seluruh indranya meningkat tajam saat dia menyadari situasi ini. Dia harus pergi secepatnya.Sang pangeran kerajaan bisnis beringsut mendekat.

Mata biru kehijauan itu berkedip-kedip mirip bayi yang baru lahir. Keduanya kemudian membelalak kaget. "Makhluk raksasa itu bisa muat di dalam kaleng kecil?! Memang bagimu aku terlihat bodoh, ya, Maria?"Derai-derai tawa kembali meluncur dari bibir manis itu. "Kamu memang bodoh. Tentu saja ikannya sudah dimasak dan dipotong terlebih dahulu."Bibir berlekuknya bergumam "Oh," lalu tersenyum malu-malu menatap lantai marmer.Hening sesaat di antara mereka. Maria berdeham. "Biar kuurus. Kau sudah berbuat banyak."Tangan ramping si pemuda masuk ke saku. Dada bidangnya kembali membusung. "Pastinya. Tahukah kau betapa sulitnya mengingat bahan-bahannya?"Maria terperangah. "Kamu betul-betul menyiapkan segala bahan ini sendiri?"Ekspresinya berubah datar. "Ada pelayan yang bertugas untuk melakukan hal semacam ini, Maria. Aku tidak bodoh, lo."

"Kamu tidak mendaftar?" Sophie membelalak pada si cantik berambut merah.Maria menggelengkan kepalanya sambil melangkahi akar pohon yang mencuat.Sophie terus bicara. "Kenapa tidak? Ini kan kesempatan luar biasa!"Mereka sedang bergerak menuju kelas berikutnya sehingga keduanya bisa mengobrol sejenak. Jadwal Maria yang padat tidak memungkinkan mereka untuk bercengkerama di lain waktu.Tanpa memedulikan diamnya Maria, sahabatnya berkata, "Kulihat kau sering melukis. Kamu pasti menaruh minat pada seni. Kalau benar, maka kamu pasti tidak akan melewatkan kesempatan ini. Bukankah setiap seniman bercita-cita mengadakan pamerannya sendiri?""Ya... Kamu benar soal itu. Maksudku, 'Cita-cita setiap seniman'.""Jadi, lakukanlah, Maria!" seru Sophie berseri-seri pada si jelita.Maria tersenyum balik. "Kupikir-pikir dulu, ya. Aku janji."

Maria mulai lelah karena mencoba menjelaskan dan mengukuhkan hubungan tanpa asmaranya dengan Claude.Pria itu sudah beristri, dan dia sangat mencintainya.Paris mencondongkan tubuhnya ke depan. "Sudah kubilang kan itu omong kosong." Dia mundur, membuang wajah, dan menyilangkan tangan rampingnya di depan dadanya yang keras. "Kau jelas tidak tahu-menahu soal pria."Wajah Sarkon mendadak loncat ke benaknya. Kata-kata terakhir lelaki dambaannya terngiang dalam pikiran.Benarkah dia tidak mengerti apa yang diinginkan Sarkon? Mungkin itu sebabnya dia memilih untuk tidak memperistri dirinya. Itulah kenapa dia lebih memilih wanita lain.Air mata mulai menggenang.Apakah bermodal cinta belaka tidak cukup untuk bisa menjadi istrinya? Mengapa dia tidak bisa menjadi istrinya? Kenapa dia tidak mencintainya? Dan mengapa pula dia tidak melihatnya sebagai seorang wanit