Semua Bab DILEMA WANITA PENDOSA: Bab 11 - Bab 20

Bab 11“Jangan pergi, Nak!” Hani seketika berbalik setengah tak percaya pada kata yang keluar dari mulut Bu Rohmah. Bagaimana mungkin wanita itu melarangnya pergi setelah tahu kebenaran tentang dirinya. Ia yakin tak ada seorang pun di dunia ini mau menampung seorang jalang di rumahnya, apa lagi di sana ada anak lelakinya yang berstatus duda. “Jangan tinggalkan Danish, anak itu pasti akan sedih jika kamu pergi. Bertahanlah, paling tidak sampai anak itu mengerti,” Bu Rohmah kembali memohon.“Maaf, Bu. Tak baik jika aku terus di sini. Lagi pula aku sudah ingin pulang kampung.”“Tapi bagaimana dengan Danish? Bagaimana jika kesehatannya tiba-tiba menurun setelah kamu pergi. Tak peduli siapa pun kamu di masa lalu, ibu mohon tetaplah tinggal. Lagi pula selama ini kelakuanmu cukup baik. Ibu tahu pasti kamu mau menjalani pekerjaan ini agar lepas dari pekerjaan lamamu, kan?”Mendengar semua itu hati Hani menghangat, ternyata Bu Rohmah tahu niat baiknya untuk keluar dari lembah hitam itu, bahk

“Ha-Hani?” Lelaki bernama Hartono memekik tertahan melihat seorang wanita yang tak lain adalah anak kandungnya.Setelah bertahun-tahun akhirnya ia berhadapan langsung dengan seorang anak yang dulu ia tinggalkan saat masih duduk di bangku SMP. Ia tak menyangka seorang anak berkulit kusam degan rambut keriting yang dulu begitu sering memarahinya kini menjelma menjadi wanita cantik berkulit putih bersih dengan rambut lurus menghiasi kepalanya. Postur tubuh dan bentuk wajahnya mengingatkan pada seseorang wanita yang pernah begitu dicintainya yang tak lain adalah mendiang istrinya.“Apa kabar, Pak? Masih ingat aku?” tanya Hani sedikit congkak.“Baik, Nak, Katanya kamu sekarang bekerja di kota? Kapan pulang?”Hani tersenyum kecut mendengar kata-kata lelaki di depannya yang terasa di buat-buat. Percuma saja berkata-kata manis karena semua itu tak akan mengubah rasa benci yang kini telah mendarah daging dihatinya.Pandangan mata Hani beralih pada tiga lelaki yang berdiri di belakang Bapaknya.

“Ternyata enak juga naik bis.”Hani melirik pada lelaki yang di sebelahnya kemudian mengangguk. Tak mau Danish menunggu lama, Akhirnya Arif langsung mengajak Hani kembali ke rumahnya sehari setelah urusan mereka dengan Hartono selesai.“Kok kamu diam aja? Kamu ikhlas, kan?” tanya Arif yang melihat Hani terus diam.Lagi-lagi Hani hanya mengangguk.“Kapan-kapan kita datang lagi ke kampung, sekalian bawa Danish, dia pasti suka.”“Terima kasih, Mas.” Hani memandang wajah Arif yang kini juga tengah memandangnya.Entah mengapa lelaki itu seolah tahu jika ia sebenarnya tak rela pergi meninggalkan tempat kelahirannya yang penuh dengan kenangan. Perasaan sama setiap ia hendak kembali ke kota. Jika bisa ia ingin menghabiskan hari-harinya di tempat sejuk itu hingga akhir hayatnya namun Hani sadar, tak ada satu alasan pun untuk ia tetap tinggal. Ibu dan adiknya telah pergi, lalu bapaknya ... masih pantaskan lelaki bernama Hartono ia sebut Bapak, rasanya tidak. Bahkan jika bisa ia akan membuang se

“Arggghh ...!” Arif melempar kasar ponselnya ke sofa setelah mendengar laporan orang kepercayaannya jika mereka belum menemukan satu pun petunjuk atas menghilangnya Hani. Ia telah menyebar beberapa orang untuk mencari keberadaan Hani ke setiap tempat yang mungkin wanita itu kunjungi, namun tetap saja hasilnya nihil. Arif benar-benar tak habis pikir jika Hani akan pergi dengan cara seperti ini. Namun ia yakin telah terjadi sesuatu pada Hani dan ia pergi bukan karena kemauannya sendiri seperti yang Mamanya selalu katakan.“Mama!” jerit Danish yang kini terbaring ditempat tidur sekaligus tempat perawatannya.“Sabar ya, Nak. Papa sebentar lagi jemput mama.” Arif mencoba menenangkan.“Cepat, Pa, jemput Mama.”“Iya, Sayang. Sekarang Danish istirahat dulu, ya.” Arif membetulkan letak alat bantu pernafasan yang terpasang di hidup Danish. Sama seperti kejadian sebelumnya, Danish akan menangis sepanjang waktu saat ditinggalkan Hani dan hal itu menjadikan sesak nafasnya kambuh. Biasanya Arif

Hari ini Rahman memutuskan untuk pulang. Ia tak mau keluarganya terutama Nara curiga dengan seringnya ia keluar kota dengan alasan meninjau proyek padahal sebenarnya ia hanya ingin bersama Hani. Meski begitu ia tak mau mengabaikan putri kecilnya yang kini sudah mulai lancar bicara. Dialah satu-satunya alasan kepulangannya. Suara nyaringnya saat mengucapkan kata ‘papa’ selalu terngiang di telinganya. Belum lagi celotehnya yang sulit dimengerti selalu membuatnya Rindu untuk mencium pipi gembulnya.“Papa ...!” Rahman tersenyum saat melihat Amel berlari dari kamar untuk menghampirinya. Tanpa pikir panjang Rahman langsung mengangkatnya dan menciumi wajah Amel bertubi-tubi hingga membuat anak itu terkikik geli.Tak ada satu pun hal yang membuatnya selalu ingin pulang kecuali untuk melihat Amel tertawa. Kelahiran bocah itu berhasil memberi warna pada kehidupan keluarganya yang awalnya sangat monoton. Rumahnya yang dulu terasa dingin dan sepi kini berubah hangat dan ramai oleh kehadiran Ame