Untuk mendapatkan bekal pensiun sebagai wanita penghibur, Hani terpaksa menerima tawaran dari mantan teman sekolahnya untuk menjadi istri kedua sekaligus melahirkan pewaris keluarga Rahman yang tak bisa diberikan oleh Nara-istri pertamanya dalam sebuah pernikahan kontrak. Namum takdir berkata lain saat orang-orang yang ingin dibahagiakan Hani semua pergi yang membuat jerih payahnya selama ini terasa sia-sia. Memutuskan untuk bertobat dan memulai hidup dari nol, hidup Hani semakin sulit saat berbagai tawaran menggiurkan dari mantan pelangganya berdatangan termasuk lamaran yang berhasil membangunkan hatinya yang telah lama mati. Akankah Hani menemukan kebahagiaan atau memilih hidup tanpa ikatan cinta selamanya?
View More“Hai, uangku.” Hani mengelus perutnya yang mulai membuncit.
Hanya tinggal menunggu hari, bayi dalam perutnya akan berubah menjadi pundi-pundi uang yang menurutnya lebih dadi cukup untuk bekal pensiun. Bertahun tahun menjalani hidup di lembah hitam, membuat Hani mati rasa dan tak pernah menganggap kasih sayang dan cinta itu nyata. Yang ada dipikirannya adalah mencari uang untuk melunasi hutang orang tuanya dan mengubah nasib keluarganya di desa. Namun pendidikannya yang rendah membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi hingga ia memutuskan untuk mencari jalan pintas yaitu menjadi wanita malam. “Kok ke sini? Kamu enggak ikut istri kamu ke luar negeri?” tanya Hani sembari membetulkan duduknya yang mulai tak nyaman karena perut yang semakin membesar dan terasa berat. “Kalo kamu lahiran gimana?” jawab Rahman, lelaki yang tak lain adalah ayah dari bayi yang dikandungnya. “Ya, enggak enggak gimana-gimana.” “Hai anak ayah,” sapa Rahman yang wajahnya berada tepat di depan perut Hani. Hani membiarkan Rahman bertindak sesukanya karena sejak memasuki usia sembilan bulan, lelaki itu memang lebih sering berkunjung untuk memastikan jika calon anaknya baik-baik saja. Ia juga ingin dekat dengan anaknya sejak dalam kandungan. “Nara itu niat punya anak enggak, sih? Udah tahu sebentar lagi lahir, malah keluyuran.” Hana menyingkirkan tangan Rahman yang selalu saja mengelus perutnya. “Semua sudah siap, tenang saja. Yang jelas setelah anak ini lahir, semua akan menjadi tanggung jawab kami.” Hani mengangguk, sebagai wanita yang dibayar untuk mengandung dan melahirkan anak, ia memang sudah berniat menyerahkan bayi dalam kandungannya sesaat setelah dilahirkan, bahkan ia tak mau memandang atau menyentuh bayi itu nantinya. Hani terpaksa menerima tawaran mantan teman sekolahnya untuk menjadi istri kedua sekaligus melahirkan pewaris untuk keluarga Rahman yang tak bisa diberikan oleh Nara-istri pertamanya. Semua itu ia lakukan agar bisa bebas dari pekerjaan hinanya sekaligus mendapatkan modal untuk hidup di desa mengurus ibu juga adiknya. Uang dua milyar ditambah rumah dua lantai serta sebuah kendaraan roda empat dijanjikan Rahman jika Hani berhasil melahirkan anak paling lama satu tahun sejak mereka menikah. Dan kini semua itu akan segera terwujud karena tak kurang dari tiga puluh hari anak dalam kandungan Hani akan segera lahir yang tentunya akan memberinya uang yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Berawal dari sebuah reuni SMP, Rahman yang sebelumnya sudah mengetahui profesi Hani, langsung mengutarakan niatnya untuk menjadikannya istri kedua demi mendapatkan seorang anak yang selalu diminta orang tuanya. Bagi mereka melahirkan keturunan adalah hal paling penting dalam keluarga dan nahasnya Nara-wanita yang dinikahinya lebih dari lima tahun yang lalu tak bisa memberikan semua itu setelah dokter menyatakan jika rahimnya bermasalah. Berbagai cara telah mereka tempuh mulai dari pengobatan tradisional hingga pengobatan paling modern di luar negeri namun semua itu tak membuahkan hasil. Sebenarnya mereka bisa saja mengadopsi seorang anak dari panti asuhan, namun keluarga Rahman tak pernah menyetujui hal itu karena tak mau kekayaan mereka jatuh pada seseorang yang tak ada hubungan darah. Demi memenuhi keinginan orang tuanya, Rahman akhirnya memiliki ide gila yaitu dengan membayar seorang wanita untuk mengandung dan melahirkan anaknya dengan perjanjian jika anak itu sudah lahir maka hubungan keduanya juga berakhir. Dan parahnya ide itu disetujui oleh istri dan kedua orang tuanya. Setelah menikah dan akhirnya berhasil mengandung anak Rahman, nasib Hani seketika berubah drastis. Ia yang dulunya hanya tinggal di rumah sempit di sebuah daerah lokalisasi kini menempati apartemen mewah yang sengaja Rahman siapkan untuk tempat tinggalnya sementara waktu. Bak seorang ratu, semua hal yang Hani inginkan selalu dituruti oleh Rahman tak hanya makanan namun termasuk barang-barang bermerek yang ia minta dengan alasan keinginan bayi dalam kandungannya. “Ingat kata dokter, kamu harus diet. Anak aku udah terlalu besar,” ucap Rahman memperingatkan Hani agar ia tak terlalu banyak makan. “Tak apa, besok lahirnya lewat operasi caesar jadi tak masalah kalo bayinya gede.” Hani terus memasukkan makanan demi makanan yang berserakan di hadapannya. Selama hidup, baru kali ini ia tak pernah kekurangan makan karena Rahman memberinya uang lima belas juta per bulan hanya untuk biaya makan. Tak bisa dipungkiri jika perlakuan Rahman selama ini sempat membuat Hani terlena hingga pernah berpikiran ingin merebutnya dari Nara. Namun semua itu segera ia enyahkan mengingat dirinya hanya butuh uangnya bukan orangnya. Lagi pula Hani telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak akan membina rumah tangga dengan siapapun hingga akhir hayat. Ia takut jika keluarganya suatu saat nanti berakhir sama dengan keluarga orang tuanya yang akan membawa kesengsaraan bagi anak-anaknya. ** Hari yang ditunggu-tunggu Hani akhirnya tiba, tujuh hari yang lalu ia berhasil melahirkan seorang bayi perempuan yang secara otomatis langsung dianggap sebagai anak dari Rahman dan Nara. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Hani, karena ia merasa baik-baik saja bahkan saat jahitan diperutnya masih terasa nyeri. Itu semua karena Rahman telah memberikan apa yang ia janjikan termasuk bonus karena katanya anak itu berwajah sangat mirip dengan ayahnya. Katakanlah jika Hani adalah ibu yang tega menjual anak kandungnya, tapi semua orang tak perlu tahu jika semua itu ia lakukan untuk membahagiakan keluarganya yang selama ini menderita. Paling tidak dengan hasil jerih payahnya kali ini, Hani tak perlu lagi menjadi wanita malam dan berniat membangun usaha di desa sembari membantu adiknya mengurus ibunya yang sudah sakit-sakitan. “Terima kasih, Hani,” ucap seorang wanita cantik berambut pirang yang tak lain adalah Nara. “Sama-sama,” jawab Hani datar. “Kamu enggak menyesal melakukan semua ini, kan?” “Tidak sama sekali, aku juga berterima kasih karena kalian memberiku lebih dari perjanjian yang telah kita sepakati.” “Hati-hati di jalan, semoga kamu selalu bahagia.” Nara mengantarkan kepergian Hani yang sudah tak sabar ingin segera pulang. Ia bahagia karena saat ini rumah tangganya bisa dikatakan aman karena mereka telah mendapatkan apa yang keluarga besarnya inginkan. Berbeda dengan Rahman dan Nara yang tengah berbahagia, Hani kini tengah berduka saat keluarganya dinyatakan hilang karena bencana alam yang baru saja melanda kampungnya. Niatnya memberi kejutan dengan tak memberi kabar akan pulang, Hani malah terkejut dengan keadaan rumah yang susah payah dibangunnya yang kini sudah rata dengan tanah. Nahasnya ibu serta adiknya juga turut tertimbun di dalamnya karena tak sempat melarikan diri saat bencana tanah longsor terjadi. Rumah Hani yang memang berada di tepi bukit mengalami kerusakan parah beserta beberapa rumah tetangganya. “Ibu, Rio ...!” pekik Hani histeris memanggil keluarganya yang mungkin sudah tak lagi bisa mendengarnya. Ia merasa semua kerja kerasnya selama ini sia-sia karena orang-orang yang akan dibahagiakan telah tiada. Jika bisa mengulang waktu, ia memilih tinggal di desa dan hidup seadanya agar ia juga bisa ikut pergi bersama mereka. Hari terasa cepat berlalu, tepat siang tadi Ibu serta adik Hani berhasil ditemukan tepatnya lima hari setelah kejadian. Perasaan Hani begitu hancur saat melihat keduanya di masukkan ke liang lahat tempat pembaringan terakhirnya. “Sabar ya, Mbak,” ucap seorang relawan yang sedari kemarin membantunya mencari hingga memakamkan keluarganya. “Terima kasih, Mas.” Hani mencoba tersenyum. Percuma saja terus menangis karena semua itu tak akan bisa menghidupkan mereka lagi. Yang harus dipikirkan Hani saat ini adalah bagaimana caranya untuk bisa menjalani hidup tanpa orang-orang yang begitu disayanginya. Mungkin ini adalah sebuah peringatan dari Tuhan agar keluarganya tak selalu memakan barang dari hasil pekerjaan haramnya. Rumah, tanah, kendaraan dan semua barang-barang mewah yang dengan susah payah ia beli kini sudah tak ada lagi, semuanya sudah tertimbun dengan berjuta kenangan manis dan pahit yang ada di dalamnya. Jika Hani memilih jalan mudah untuk mendapatkan itu semua, maka dengan cara itulah Tuhan mengambil semuanya. Tak ingin terus bersedih Hani memutuskan pergi sejauh-jauhnya dari kampung tempat ia dilahirkan. Mulai sekarang ia akan memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu. Bahkan saat ini ia tak mau memakai uang pemberian Rahman dan memilih membagikan semua pada yang membutuhkan. Mencoba sekuat hati untuk menerima takdir yang telah digariskan padanya, bukan berarti Hani selalu kuat. Terkadang sebuah pikiran buruk terbesit dikepalanya untuk segera menemui Ibu dan adiknya yang sudah berada di alam yang berbeda. Beberapa kali ia melakukan percobaan bunuh diri namun selalu gagal saat tiba-tiba pikirannya sadar jika itu akan semakin membuatnya menderita. Hari ini Hani berniat mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Ia berniat melamar sebagai pelayan toko atau rumah makan atau pekerjaan apapun yang mau menerima karyawan lulusan SMP. Hampir satu jam berkeliling, Hani memutuskan duduk di sebuah bangku taman sembari mengecek ponsel siapa tahu ada lowongan di media sosial. “Tante mau jadi mamaku?” Sebuah pertanyaan dari seorang anak laki-laki berumur sekitar empat tahun berhasil membuat Hani melongo. Bagaimana mungkin ia yang berniat melamar kerja malah dilamar sebagai seorang mama. “Hani?” “A-Arif?” Hani semakin membulatkan mata saat melihat seseorang yang datang menghampiri anak tersebut. Seseorang yang pernah beberapa kali memakai jasanya hingga ia begitu hafal dengan tahi lalat di dahinya. “Aku mau dia jadi mamaku, pa.” “Baiklah, Hani maukah kamu jadi mamanya Danish? Aku bisa memberimu segalanya, harta, kasih sayang juga cinta.” Lagi‐lagi Hani merasa sedang dipermainkan oleh takdir. Saat ingin kembali hidup normal, ada saja hal yang sengaja membuat imannya goyah. Tapi kali ini terasa berbeda saat lelaki memintanya untuk menjadi seorang ibu untuk anaknya, sebuah pekerjaan yang tak pantas bagi wanita yang bahkan pernah menjual anaknya. Namun ada satu hal yang begitu mencuri perhatiannya yaitu saat lelaki ⁸itu tak hanya menawarkan harta tapi juga sebuah cinta. Apakah itu cinta? Sebuah rasa yang pantang ia tumbuhkan di hatinya.“Selamat nambah cucu, Ma,” bisik Arif tepat di telinga Bu Rohmah begitu ia sampai di rumah.“Beneran Sayang?” tanya Bu Rohmah setengah tak percaya.“Iya, Ma, dan kemungkinan kembar,” jawab Hani.“Ke-kembar?” Hani mengangguk. “Selamat ya, Sayang.” Bu Rohmah meraih tubuh Hani dan memeluknya erat.Tak ada hal yang paling membahagiakan bagi orang tua selain berita hadirnya seorang cucu. Membayangkan rumahnya akan ramai oleh tangis bayi akan memberikan energi tersendiri bagi seorang yang sudah hampir memasuki lanjut usia. Bu Rohmah sangat bersyukur karena dimasa tuanya ia tak pernah kesepian. Apalagi sebentar lagi anggota keluarganya yang akan bertambah dua orang pasti akan membuat rumahnya semakin hangat.“Jangan capek-capek ya, Sayang. Katanya hamil kembar itu tenaganya harus ekstra. Kuat-kuat ya, Sayang. Nenek udah enggak sabar kepengin ketemu kalian.” Bu Rohmah mengelus perut Hani yang masih rata.“Aku enggak pernah capek, Ma.” Hani menyunggingkan senyum. “Kalo perlu kamu enggak usa
“Tidakkah kau ingat saat kita berbagi kehangatan dulu.” Rahman mengelus lembut wajah wanita yang memenuhi layar ponselnya. Terhitung lebih dari seratus pose wanita itu tersimpan rapi di folder rahasia yang ia sendiri yang dapat membukanya.“Cantik.”Lagi-lagi Rahman memuji wanita cantik yang terlihat tengah tertawa renyah dengan salah satu temannya.Seperti biasa, disela kesibukan pekerjaannya, Rahman selalu menyempatkan diri bersua dengan wanita yang kini berhasil memorak-porandakan dunianya meski hanya sebatas gambar dan dunia maya. Hanya di kantor inilah Rahman bisa bebas mengekspresikan perasaannya pada wanita itu karena setelah pulang ke rumah nanti, ia harus berubah menjadi ayah sekaligus suami yang baik untuk anak dan istrinya.Rahman mengakui jika dirinya sudah setengah gila karena terus mengharapkan Hani. Meski wanita itu hanya hadir sesaat dalam hidupnya tapi telah berhasil meninggalkan bekas yang begitu dalam hingga ia tak dapat menghapusnya.[Jangan lupa makan, Sayang.]
“Hani?”“Caca?”Hani berlari kecil menghampiri salah satu teman seperjuangan dulu. Layaknya sebuah keluarga, mereka pernah bersama merasakan suka duka menjadi seorang wanita penghibur hingga Hani memutuskan untuk mengakhiri semuanya.“Kamu apa kabar? Denger-denger kamu udah nikah sama Mas Arif, ya? Selamat, ya,” ucap anita berpakaian minim itu terus memeluk Hani.“Makasih ya, Ca. Kamu sama siapa?” Hani melepaskan pelukannya, melihat penampilan Caca kali ini ia seperti melihat dirinya di masa lalu yang juga sering berpakaian seperti itu.“Aku sama Papi, Cuma dia ketemu klien bentar jadi aku jalan-jalan dulu, deh.”Hani mengangguk, ia tahu siapa yang Caca maksud sebagai Papi yaitu sebutan seorang klien yang umurnya sudah mendekati senja namun tak ingat dosa sehingga masih bermain-main dengan seorang wanita. Sebagian besar temannya memang malas dan malu jika berhubungan dengan seorang kakek-kakek namun jika ingat uangnya mereka langsung mengesampingkan rasa itu dan mau tak mau harus mene
Rahman menggeliat kan bada untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Berbulan mencoba, akhirnya ia bisa menemukan cara untuk sedikit melupakan Hani. Dengan banyak bekerja ia bisa sedikit mengalihkan perhatian agar bayangan wanita itu tak masuk dalam pikirannya. Hampir setiap hari Rahman kerja sejak pagi hingga larut malam selain hari minggu yang khusus ia sediakan untuk anak semata wayangnya."Cantik." Rahman tersenyum melihat foto yang terpajang di meja kerjanya.Sebuah foto anak kecil berbaju pink bunga-bunga dipadukan dengan topi lebar dan sepatu kets berwarna putih seolah tengah tersenyum padanya. Foto itu ia ambil saat mereka berdua sedang berlibur ke luar negeri beberapa minggu yang lalu.Setelah Hani dan Arif melaksanakan syukuran bersama gengnya. Rahman memboyong keluarganya untuk berlibur ke luar negeri untuk sedikit menenangkan pikiran. Memang selama satu minggu di negeri tetangga, ia merasa sedikit tenang, namun setelah kembali r
Sudah seharian Hani mendiamkan suaminya. Sejak Arif pulang kemarin sore, ia terus berusaha menghindar agar tak terlalu sering berinteraksi dengannya. Meski ia tetap melakukan tugasnya sebagai istri, namun sebisa mungkin ia bersikap dingin berharap lelaki itu tahu jika ia sedang dalam masalah.“Kamu sakit?” tanya Arif yang sudah mulai merasa berbeda dengan sikap istrinya.“Enggak,” jawab Hani singkat.“Perasaan dari kemarin diam aja. Kamu pengen sesuatu? Mau jalan-jalan atau makan di luar?” “Enggak.”“Terus? Uang belanja kurang?”Hani menggeleng.“Terus kenapa? Bilang dong! Aku bukan dukun. Aku salah apa?” Arif menarik tangan Hani yang hendak beranjak, ia paling sebal menghadapi wanita yang sedang dalam mode senyap seperti ini.“Kalo aku bilang, kamu mau jujur?” lirih Hani.“Iya, Sayang.”Hani melepaskan tangannya, ia berjalan menuju laci nakas tempat ia menyimpan nota yang ia temukan
“Kayaknya kita harus sering curi-curi waktu buat berduaan kayak gini,” ucap Arif saat bersiap untuk pulang.“Tapi tak perlu di hotel seperti ini. Aku serasa kembali ke masa lalu jadinya.”Arif terkekeh. Hani benar, dengan berada di sebuah hotel bersama, ia merasa sedang mengenang masa lalu yang begitu kelam. Namun kini, ia berjanji tak akan kembali ke masa itu dan akan mulai fokus menata masa depan dengan wanita yang kini telah berhasil ia perjuangkan.Sejauh ini, Arif tak pernah mengira akan sampai di sebuah titik di mana ia mau berkomitmen secara resmi dengan seorang wanita karena sebelumnya ia lebih memilih bebas dan tak mau terikat. Namun pada kenyataannya takdir telah mengubah semuanya. Dengan hadirnya Hani dalam hidupnya, membuat ia sadar jika seseorang lelaki juga butuh seseorang untuk bersandar. Tak hanya untuk dirinya tapi untuk anak semata wayangnya. Dan pilihan itu jatuh kepada Hani.“Terima kasih, Sayang.”Arif mengecup pipi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments