Lahat ng Kabanata ng KETIKA SANG BILIONER BANGUN DARI KOMA: Kabanata 161 - Kabanata 170

Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Blue dan Grey sengaja sudah diantar ke mansion Atrick dan Marissa agar Geo bisa memiliki waktu khusus dengan Bianca. Tapi di ruang tamu, lelaki itu justru mondar-mandir, tak bisa menahan kegelisahan. Gara-gara Rafael kembali memberi perhatian pada Bianca dengan turut ikut campur menjaga istrinya di kampus, Geo dan Bianca jadi bertengkar.Ia menghembuskan napas panjang. Bianca memang tidak salah, batinnya. Tapi aku juga bukan malaikat. Aku lelaki. Aku suami. Aku tidak rela melihat orang lain berusaha mendekati istrinya.Akhirnya, untuk pertama kalinya sejak pertengkaran mereka, Geo mengambil inisiatif. Ia menyiapkan meja makan sederhana, dihiasi lilin-lilin ramping yang berkelip lembut. Aroma bunga lili putih memenuhi ruangan, berpadu dengan wangi masakan yang dipesannya diam-diam.Suara pintu berderit membuatnya menoleh. Bianca masuk dengan langkah pelan, wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kekesalan. Begitu melihat meja makan, ia han

Menjelang sore, setelah kuliah, Bianca tiba di mansion. Ia disambut Marissa yang langsung menghampirinya dengan senyum di wajah.“Bianca sayang, akhirnya pulang juga,” ucap Marissa dengan tatapan lembut. “Si kembar sedang mandi, mereka baru saja selesai berenang.”“Si kembar nemenin Mommy terapi air lagi?”“Iya. Mommy jadi semangat kalau bersama mereka.”Bianca menunduk santun. “Mereka juga sangat senang di sini. Bahkan sepertinya lebih suka di mansion daripada rumah sendiri.”Marissa terkekeh kecil, menepuk tangan Bianca lembut. “Blue dan Grey itu memang penuh energi. Di sini, mereka bisa berlarian dan bermain bebas.”“Iya. Mereka juga bilang begitu.” Bianca terkekeh.Dengan hangat, Marissa menggandeng tangan menantunya. Ia meminta pelayan mengambilkan jus segar untuk Bianca. Dan memanjakan Bianca.“Kamu pasti capek habis kuliah. Geo juga

Geo membuka pintu rumah dengan wajah masam. Lengan kemejanya sudah tergulung sampai siku, rambutnya juga sedikit berantakan. Bianca, yang tengah duduk di ruang kerja kecil dengan laptop terbuka dan tumpukan dokumen di meja, langsung menoleh.“Eee… yang pulang rapat RT sudah pulang?” Bianca tersenyum manis.Geo mendesah panjang, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. “Sayang, tolong jangan pernah suruh aku ikut rapat RT lagi. Dua jam di sana rasanya seperti setahun.”Bianca menahan tawa kecil. “Bukannya bagus? Kamu jadi lebih mengenal tetangga.”“Kenal apa?” Geo mendengus. “Yang ada mereka sibuk membicarakan hal-hal remeh. Ada yang ribut soal kucing tetangga suka pup di taman, ada yang curiga istrinya Pak X selingkuh hanya karena sering pergi pagi-pagi. Itu bukan urusan publik, itu gosip murahan.”Geo duduk menyamping menghadap sang istri. “Terus masa ada yang bilang wanita di pojok jalan ini sebenarnya simpanan pejabat.”Bianca mengalihkan tatapannya dari layar laptop, menatap suaminya ya

Geo akhirnya mengizinkan orang tuanya bertemu Taylor. Namun begitu, ia memberi syarat agar mereka tidak menyinggung Bianca. Marissa dan Atrick mengangguk setuju.Dalam perjalanan, Marissa menggenggam tangan Atrick erat. Tampak gugup karena ini pertama kalinya ia akan bertemu anak angkatnya setelah Taylor menghilang karena ketauan banyak berbohong pada keluarga Willson.Atrick menoleh sekilas, suaranya mantap. “Santai saja. Selama ini, Taylor baik dan menurut padamu. Malah kita bisa lihat dengan adanya kejadian ini, bagaimana reaksinya saat bertemu kita lagi.”Marissa mengangguk, meski matanya sudah berkaca-kaca. “Aku sempat menyesal mengangkatnya menjadi anak kita tanpa mempersiapkan Geo.”“Itu salah kita berdua. Dan sekarang, kita punya kesempatan untuk memperbaikinya.”Tak lama kemudian, mobil berhenti tepat di depan pondok kayu yang berdiri kokoh di tengah kebun luas. Taylor berdiri di tengah ruangan, mengenakan kaos abu-abu sederhana dan celana hitam. Rambutnya sedikit lebih panja

Pagi itu, rumah Bianca terasa jauh lebih sibuk dari biasanya. Deretan mobil mewah terparkir di halaman, menandakan banyak tamu penting yang sudah berdatangan. Begitu Bianca turun dari kamar dengan tas kuliah di bahu, ia mendapati ruang tamu berubah total. Sofa digeser ke sudut, meja panjang dipenuhi berkas dan laptop, sementara sebuah layar besar berdiri di tengah ruangan menampilkan grafik keuangan. Para manajer sibuk berdiskusi, beberapa bahkan tidak memperhatikan kehadirannya.Bianca berhenti sejenak di ambang pintu, merasa canggung. “Astaga… ini rumah atau kantor pusat?” gumamnya lirih.Geo, yang sedang berdiri dengan setelan rapi di samping layar, langsung menoleh ketika menyadari Bianca muncul. Senyum tipis menghiasi wajah dinginnya. “Kamu sudah siap ke kampus, Sayang?” tanyanya, nada suaranya kontras dengan riuhnya suasana meeting.Bianca mengangguk, meski harus sedikit berputar melewati kursi-kursi yang dijejer rapat. “Aku siap. Tapi… rasanya aku harus meniti di atas kabel da