All Chapters of KETIKA SANG BILIONER BANGUN DARI KOMA: Chapter 181 - Chapter 190

Setelah jam sekolah usai, Bianca dan Geo menjemput Blue dan Grey dengan wajah penuh senyum. Mereka sengaja tidak langsung membicarakan kabar dari kepala sekolah di depan banyak orang, melainkan menunggu hingga mereka sekeluarga duduk bersama di ruang keluarga mansion malam itu.Blue dan Grey, dengan piyama biru kembarannya, duduk di sofa empuk. Di depan mereka ada sepiring biskuit hangat buatan Marissa, ditemani segelas susu cokelat. Bianca menatap mereka lembut sebelum mulai berbicara.“Mommmy dan Daddy punya kabar penting untuk kalian berdua,” ucap Bianca sambil menatap mata si kembar satu per satu.Blue langsung duduk tegak, matanya berbinar penasaran. Grey justru menyandarkan kepala ke sofa, tampak santai.Geo melanjutkan dengan suara tenang. “Kepala sekolah bilang, kalian berdua punya kemampuan di atas rata-rata. Karena itu, sekolah merekomendasikan kalian untuk langsung masuk ke sekolah dasar.”Mata Blue langsung membesar. “Sekolah dasar? Jadi… aku bisa belajar hitung-hitungan y

Pagi itu, saat sarapan, masih tersisa ketegangan semalam. Geo makan dengan tenang sementara Bianca sesekali mengajak si kembar mengobrol tanpa melibatkan Geo.Geo dan Bianca saling duduk berseberangan, sama-sama menjaga sikap. Senyum mereka ada, tapi tipis dan kaku, seolah hanya tempelan yang dipasang demi menjaga suasana di depan anak-anak.“Grey, kamu mau tambah susu?” tanya Bianca dengan nada ramah, meski senyumannya tampak dipaksakan.“Ya, Mommy.” Grey mengangguk, dan Bianca menuangkan susu ke gelas putranya.Geo menatap sekilas, lalu ikut menyahut, “Blue, bagaimana kelas kemarin? Kamu sudah bisa mengikuti pelajaran baru?”Blue menoleh, matanya berbinar. “Seru sekali, Daddy! Aku suka eksperimen sains. Kami bisa melakukan berbagai macam percobaan di laboratorium. Aku sudah berhasil melakukan satu percobaan kemarin.”“Bagus,” ujar Geo, senyumnya muncul, tapi lebih kepada senyum formal ketimbang tulus. “Kamu memang cepat tangkap.”Bianca menambahkan dengan nada lembut yang dibuat-bua

Pagi itu suasana mansion Willson dipenuhi semangat baru. Marissa sudah bangun lebih dulu dari siapa pun. Sejak subuh, ia mondar-mandir di dapur sambil tersenyum sendiri, membuat jus jeruk dan menyiapkan sarapan bergizi.“Atrick, Bianca hamil,” ucapnya mantap pada Atrick yang baru saja turun dari tangga dengan pakaian santai dan tablet di tangan.Atrick mengerjap, hampir menjatuhkan kacamatanya. “Hamil? Dari mana kamu tahu?”Marissa menatapnya dengan percaya diri. “Sudah jelas. Ia mual pagi-pagi, pucat, dan cepat lelah. Itu gejala klasik, Rick. Aku pernah hamil, aku tahu gejalanya begitu.”Atrick mendengus kecil, setengah tak percaya namun juga tampak bersemangat. “Kalau benar, itu berita luar biasa. Tapi jangan dulu diceritakan ke siapa pun sebelum dokter memastikan, ya?”Namun larangan itu justru memancing senyum misterius dari Marissa. “Tentu, tentu... aku tidak akan cerita siapa-siapa,” katanya—sementara tangannya sudah meraih ponsel di saku gaunnya.Lima belas menit kemudian, Geo

Hari kedua istirahat di mansion ternyata memberi Bianca banyak waktu untuk berpikir. Awalnya ia merasa bosan. Setiap kali melihat meja belajarnya yang kosong, hatinya seperti dicekam rasa bersalah. Tapi perlahan, di sela waktu diamnya, Bianca mulai menyadari satu hal: hidupnya kini tidak lagi sesederhana dulu.Ia bukan lagi gadis yang hanya berlari mengejar mimpi dan karier. Ia kini seorang istri dan ibu dari dua anak yang tengah tumbuh cepat—Blue dan Grey—anak-anak yang membutuhkan kehadirannya, bukan hanya keberhasilannya.Pagi itu, Bianca duduk di balkon kamarnya sambil menikmati teh hangat. Udara segar masuk lewat celah tirai, sementara matahari menembus lembut ke kulitnya. Di bawah sana, suara tawa Blue dan Grey terdengar dari taman, mereka sedang bermain bola bersama Geo. Bianca tersenyum kecil.Dulu, ia berpikir menjadi sukses berarti tidak pernah berhenti bekerja. Kini, ia mulai mengerti bahwa menjadi bahagia berarti tahu kapan harus berhenti sejenak.“Masih pusing?” suara lem

Sudah beberapa hari berlalu sejak kepergian Ema, namun suasana rumah sakit belum terasa sama bagi Billy. Koridor yang biasa ia lewati terasa lebih lengang. Tidak ada lagi suara bentakan khas dari kamar nomor 203, tempat Ema dulu dirawat. Tidak ada lagi panggilan mendadak dari perawat jaga yang meminta bantuannya hanya karena Ema menolak makan atau memarahi dokter magang.Kini kamar itu telah ditempati pasien baru. Billy berhenti sejenak di depan pintu kamar itu, melihat ke dalam melalui kaca kecil di bagian atas pintu. Lalu, menggeleng samar.Ia menghela napas panjang. “Ema benar,” batinnya getir. “Rumah sakit ini akan sepi tanpa keluhannya.”Billy tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Sejak Ema pergi, jadwalnya berubah. Ia bisa pulang tepat waktu setiap sore, tidak ada lagi lembur karena Ema ingin ditemani sampai tengah malam. Tidak ada lagi panggilan mendadak hanya karena pasien lansia itu mogok makan atau menolak mi