Cahaya temaram dari obor tua menyala redup di sudut-sudut pondok kayu itu. Asap dupa membumbung tinggi ke langit-langit jerami, memenuhi ruangan dengan aroma kayu gaharu dan rempah tajam yang membuat tubuh terasa menggigil.Mahesa melangkah masuk pelan, tongkatnya mengetuk lantai kayu tua. Meski ia buta, tubuhnya tahu bahwa tempat ini berbeda. Setiap langkah seolah melewati waktu. Setiap aroma membawa kenangan yang tak dikenalnya.Di tengah ruangan, duduk seorang perempuan tua berjubah hitam dan syal merah melilit lehernya. Wajahnya keriput, namun matanya bersinar tajam seperti api yang belum padam. Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan, namun menyentuh hati seperti palu godam menghantam tembok.“Selamat datang, Mahesa Basundara,” ucapnya.“Nyai Armilati?” tanya Mahesa pelan.“Sudah terlalu lama aku menunggumu. Dan sekarang kau tiba, dengan tubuh terbakar, mata buta, dan jiwa yang terkoyak.”Ki Cipto berdiri di belakang Mahesa, menunduk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan.“Aku m
Huling Na-update : 2025-07-18 Magbasa pa