Mahesa berjalan sambil menggenggam tongkat kayu pemberian Ki Cipto. Meskipun matanya masih gelap, setiap ayunan tongkat dan bisikan tanah di bawah kakinya menjadi panduan untuk bertahan hidup. Ki Cipto tetap berada di sampingnya, membimbing dalam diam, kadang menahan napas setiap kali Mahesa nyaris tersandung akar atau tergelincir ke tebing curam.
"Berapa jauh lagi menuju kaki Bukit Pawitra?" tanya Mahesa saat matahari mulai naik ke atas kepala.
“Empat hari perjalanan, kalau kita tak berhenti,” jawab Ki Cipto. “Tapi kita tak bisa menempuhnya tanpa istirahat. Tubuhmu belum pulih. Dan kita tak tahu apa saja yang menunggu di depan.”
Mahesa mengangguk. Dia tahu Ki Cipto benar. Tapi waktu bukanlah sekutu. Semakin lama ia berjalan tanpa penglihatan dan kekuatan, semakin besar kemungkinan Elang Hitam menemukan jejaknya.
Setelah melewati lembah kecil dan hutan basah, mereka tiba di dataran lapang. Pepohonan terbuka, menyisakan pemandangan langit yang pekat—bukan karena awan, melainkan kabut hitam yang menandai jejak kekuasaan Serikat Pendekar dan Elang Hitam.
Mahesa berhenti. Hidungnya mengendus sesuatu.
“Ada tiga makhluk... tidak jauh di depan. Hawa mereka bukan manusia.”
Ki Cipto mencengkeram lengan Mahesa. “Kita harus menghindar. Mereka... iblis kuda penjaga langit.”
Namun sebelum mereka sempat bergerak, suara siulan tajam mengiris udara.
Sreeeeet!
Tiga sosok hitam meluncur dari pepohonan, mengepung mereka dari tiga sisi. Masing-masing membawa senjata berbeda—sabit, tombak hitam, dan pedang melengkung yang mengeluarkan asap gelap.
“Mahesa Basundara,” ujar salah satu dari mereka dengan suara rendah, seperti gemuruh petir yang ditahan.
“Pemimpin kami ingin kepala Anda. Hidup atau mati, itu tak penting.”
Mahesa merunduk. Tangan kanannya menggenggam pedang kecil di balik jubah. Energi alam yang terpendam mulai terasa berdenyut pelan dari dalam dada, berkat mustika putih yang kini tersimpan dalam kantong kulit di pinggangnya.
“Ki, mundurlah. Aku yang hadapi mereka.”
“Jangan gila!” sahut Ki Cipto. “Kau masih buta dan belum sepenuhnya pulih!”
Mahesa tersenyum tipis. “Mereka tak perlu tahu itu.”
Wuss!
Salah satu iblis menyerang. Sabitnya melayang, berputar cepat, mengincar kepala Mahesa. Tapi Mahesa menunduk, lalu memutar tubuh ke kanan. Dengan satu gerakan halus, dia menangkis sabit itu menggunakan pedangnya, lalu menyikut perut iblis tersebut.
Blaar!
Iblis itu terpental ke belakang, terhempas ke pohon hingga batangnya retak.
Dua iblis lain maju bersamaan. Pedang melengkung menyerang dari kiri, tombak dari kanan.
Mahesa melompat ke belakang, mengandalkan insting dan irama udara yang ia latih bersama Ki Cipto. Ia memusatkan napasnya, lalu menjejak tanah.
Ajian Angin Roso!
Tubuhnya melesat ke samping. Ia memutar tubuh, dan dengan ayunan rendah, menebas salah satu kaki iblis bertombak. Darah hitam menyembur. Iblis itu meraung, terjungkal dengan tombaknya menancap ke tanah.
Namun, iblis ketiga telah bersiap. Dia mengangkat sabit dan melompat dari belakang. Wajahnya dipenuhi dendam. Mahesa tak sempat menghindar.
Brukk!
Tombak menghantam punggung Mahesa. Ia terjatuh, mengerang. Darah mengucur dari luka yang terbuka. Tapi alih-alih menyerah, Mahesa bangkit dengan napas berat, lalu mencabut tombak dari tubuhnya.
"Aku... belum mati," gumamnya.
Dengan gemetar, dia menancapkan tombak itu ke tanah. Lalu, dia menatap ke depan dengan mata yang tak lagi melihat, tapi hati yang terbuka lebar.
Ki Cipto mulai bergerak. Ia menghunus keris dari balik jubah, lalu menari di antara dua iblis yang tersisa. Gerakannya cepat dan tajam. Meski tubuhnya tua, tiap langkahnya menyimpan puluhan tahun pengalaman.
Satu tebasan, satu tusukan. Dua iblis terjatuh. Satu mati, satu melarikan diri dengan tubuh terbakar oleh racun keris.
Mahesa terduduk, terengah-engah, tubuhnya berlumur darah.
Ki Cipto mendekat dan menekan luka di punggung Mahesa dengan kain putih.
“Kau nekat,” ucapnya. “Tapi bukan itu yang membuatku khawatir. Kau... menahan energi terlalu lama. Kalau kau tak menyalurkannya, tubuhmu bisa rusak dari dalam.”
Mahesa terdiam. Ia tahu maksud Ki Cipto. Kekuatan dari mustika putih mulai bergolak di dalam tubuhnya. Tapi tanpa keseimbangan dari mustika merah, dia seperti bejana yang dipenuhi air mendidih tanpa tutup.
“Kita harus segera ke Pawitra,” ujar Mahesa. “Aku tak bisa bertahan lebih lama.”
Setelah dua hari berjalan tanpa gangguan, mereka akhirnya tiba di kaki Bukit Pawitra. Kabut pekat menyelimuti lereng. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti penjaga hutan kuno, dan udara terasa lebih berat, penuh aura spiritual yang tak bisa dijelaskan.
Di tengah lereng, berdiri sebuah pondok tua dari kayu hitam, hampir tak terlihat di balik rimbunnya semak.
Mahesa menoleh ke arah pondok, seolah bisa melihatnya.
"Dia ada di sana, kan?" tanya Mahesa.
Ki Cipto mengangguk. "Ya. Nyai Armilati."
Mereka berjalan perlahan mendekati pondok. Langkah Mahesa berat, bukan karena luka, tapi karena firasat. Ada sesuatu di tempat ini—sesuatu yang bukan milik dunia manusia.
Saat mereka tiba di depan pintu pondok, suara perempuan tua terdengar dari dalam.
“Aku sudah menunggumu, Mahesa Basundara. Masuklah. Waktu kita tak banyak.”
Mahesa menelan ludah. Suara itu... seperti gema dari masa lalu. Dalam, lambat, tapi penuh wibawa.
Pintu terbuka dengan sendirinya.
Dan Mahesa... melangkah masuk ke dalam tempat di mana masa lalunya akan diuji, dan masa depannya akan dibentuk kembali.
“AKU BELUM MATI!!”Raungan itu menggema ke seluruh lembah, membelah malam dan mengguncang keberanian makhluk yang hendak membunuhnya.Siluman kelelawar mengangkat kepalanya, matanya yang menyala merah seolah terkejut, lalu mengaum lebih keras, membalas tantangan Mahesa. Dengan sayap baja dan cakar berapi, ia menerjang maju, siap mencabik tubuh lawannya yang sudah setengah mati.Tapi Mahesa kini berdiri dengan tekad baru. Tubuhnya mungkin remuk, tapi jiwanya menyala seperti bara. Di dalam gelap yang terus menelan dunia, satu cahaya kecil menyala dalam dirinya—suara Ratih yang menggema di pikirannya.“Harapanku... harapan semua yang gugur... dan harapan bagi yang belum sempat hidup.”Mahesa berjongkok rendah. Telinganya menajam, menangkap suara angin yang berdesir melalui celah sayap kelelawar. Hidungnya mencium aroma darah hangus yang semakin pekat. Ia tahu, waktu makhluk itu hampir habis—tapi hanya jika dia bisa memukul di saat yang tepat.Swiinggg!Sayap menyambar. Mahesa melompat ke
Udara malam berubah menggigil. Pepohonan menunduk seperti berdoa, dan tanah di sekitar Mahesa bergetar pelan seiring datangnya sesuatu yang mengerikan dari langit.Kepakan sayap terdengar semakin mendekat—dalam, kasar, dan disertai bau daging terbakar yang menyengat hidung. Suara-suara binatang hutan menghilang, tertelan keheningan yang menekan. Kabut perlahan menyelimuti pondok Nyai Armilati yang kini tak lagi terlihat.Mahesa berdiri, meski lututnya gemetar. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang pendek. Mata kanannya menatap gelap. Angin menampar wajahnya, dan kabut terasa seperti tangan dingin yang mencoba mencengkram lehernya.“Mahesa Basundara, ujian pertamamu dimulai!”Suara itu menggema dari balik pepohonan, berat, laki-laki, namun tidak menyerang. Hanya mengawasi.“Aku adalah Su. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak akan menolongmu. Tapi aku akan menyaksikan… apakah kau layak hidup atau dikubur malam ini.”Mahesa menggertakkan gigi. Tanpa peringatan—BOOM!Sosok besar menghan
Cahaya temaram dari obor tua menyala redup di sudut-sudut pondok kayu itu. Asap dupa membumbung tinggi ke langit-langit jerami, memenuhi ruangan dengan aroma kayu gaharu dan rempah tajam yang membuat tubuh terasa menggigil.Mahesa melangkah masuk pelan, tongkatnya mengetuk lantai kayu tua. Meski ia buta, tubuhnya tahu bahwa tempat ini berbeda. Setiap langkah seolah melewati waktu. Setiap aroma membawa kenangan yang tak dikenalnya.Di tengah ruangan, duduk seorang perempuan tua berjubah hitam dan syal merah melilit lehernya. Wajahnya keriput, namun matanya bersinar tajam seperti api yang belum padam. Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan, namun menyentuh hati seperti palu godam menghantam tembok.“Selamat datang, Mahesa Basundara,” ucapnya.“Nyai Armilati?” tanya Mahesa pelan.“Sudah terlalu lama aku menunggumu. Dan sekarang kau tiba, dengan tubuh terbakar, mata buta, dan jiwa yang terkoyak.”Ki Cipto berdiri di belakang Mahesa, menunduk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan.“Aku m
Mahesa berjalan sambil menggenggam tongkat kayu pemberian Ki Cipto. Meskipun matanya masih gelap, setiap ayunan tongkat dan bisikan tanah di bawah kakinya menjadi panduan untuk bertahan hidup. Ki Cipto tetap berada di sampingnya, membimbing dalam diam, kadang menahan napas setiap kali Mahesa nyaris tersandung akar atau tergelincir ke tebing curam."Berapa jauh lagi menuju kaki Bukit Pawitra?" tanya Mahesa saat matahari mulai naik ke atas kepala.“Empat hari perjalanan, kalau kita tak berhenti,” jawab Ki Cipto. “Tapi kita tak bisa menempuhnya tanpa istirahat. Tubuhmu belum pulih. Dan kita tak tahu apa saja yang menunggu di depan.”Mahesa mengangguk. Dia tahu Ki Cipto benar. Tapi waktu bukanlah sekutu. Semakin lama ia berjalan tanpa penglihatan dan kekuatan, semakin besar kemungkinan Elang Hitam menemukan jejaknya.Setelah melewati lembah kecil dan hutan basah, mereka tiba di dataran lapang. Pepohonan terbuka, menyisakan pemandangan langit yang pekat—bukan karena awan, melainkan kabut h
Dunia Mahesa kini gelap, bukan karena malam, tetapi karena penglihatannya telah lenyap. Namun, dalam kegelapan itu, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih penting dari cahaya: suara. Setiap desir angin, tiap gemerisik dedaunan, dan detakan napas—semua itu kini menjadi peta barunya untuk memahami dunia.Ki Cipto berjalan pelan di depan, sesekali membimbing Mahesa dengan tongkat kayu. Lembah Sarip berada jauh di belakang mereka, namun bayangan kematian di tempat itu masih mengikuti setiap langkah.“Kau merasakannya?” tanya Ki Cipto, tiba-tiba berhenti.Mahesa menajamkan pendengaran. Udara di sekelilingnya membeku, seperti aliran energi tak kasat mata menyapu permukaan kulitnya.“Ya… ada sesuatu yang mengawasi kita dari kejauhan.”Ki Cipto mengangguk. “Kau sudah mulai terbiasa. Tapi ini baru permulaan.”Mereka berhenti di pelataran batu berbentuk lingkaran yang tersembunyi di antara dua tebing curam. Di tengahnya terdapat susunan batu menyerupai altar. Ki Cipto duduk bersila, menarik napa
Gelap.Tak ada cahaya. Tak ada suara. Hanya dingin yang perlahan merayap ke sumsum tulang.Mahesa tak tahu apakah ia telah mati, atau hanya terjebak dalam ruang di antara hidup dan kematian. Tubuhnya melayang, atau mungkin jatuh. Entah. Yang jelas, dia tak merasakan tanah, tak merasakan luka, dan tak merasakan dunia.Kemudian...Bruggggh!Tubuhnya membentur sesuatu. Keras. Penuh duri. Rasa sakit langsung menjalar dari punggung hingga ke kepala. Darah menyembur dari luka terbuka yang belum sempat pulih sejak pertempuran terakhir.Suara sayup angin menyusup dari celah-celah tebing. Aroma tanah basah dan batu hangus memenuhi hidungnya.Dia sadar.Tapi matanya gelap. Bukan karena malam. Tapi karena dunia telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Matanya telah dibutakan oleh kain hitam terkutuk yang membakar retina hingga hancur."Ahh... sial," desahnya.Tangannya meraba tanah di sekelilingnya—batu tajam, akar tua, dan lumut dingin. Udara di sini berat, seperti dipenuhi asap tak ka