Dunia Mahesa kini gelap, bukan karena malam, tetapi karena penglihatannya telah lenyap. Namun, dalam kegelapan itu, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih penting dari cahaya: suara. Setiap desir angin, tiap gemerisik dedaunan, dan detakan napas—semua itu kini menjadi peta barunya untuk memahami dunia.
Ki Cipto berjalan pelan di depan, sesekali membimbing Mahesa dengan tongkat kayu. Lembah Sarip berada jauh di belakang mereka, namun bayangan kematian di tempat itu masih mengikuti setiap langkah.
“Kau merasakannya?” tanya Ki Cipto, tiba-tiba berhenti.
Mahesa menajamkan pendengaran. Udara di sekelilingnya membeku, seperti aliran energi tak kasat mata menyapu permukaan kulitnya.
“Ya… ada sesuatu yang mengawasi kita dari kejauhan.”
Ki Cipto mengangguk. “Kau sudah mulai terbiasa. Tapi ini baru permulaan.”
Mereka berhenti di pelataran batu berbentuk lingkaran yang tersembunyi di antara dua tebing curam. Di tengahnya terdapat susunan batu menyerupai altar. Ki Cipto duduk bersila, menarik napas panjang, lalu memejamkan mata.
Mahesa mengikuti.
“Ada sesuatu yang menghalangimu, Hesa,” ujar Ki Cipto, nada suaranya pelan namun dalam. “Bukan hanya luka... tapi sesuatu yang lebih besar dari tubuhmu.”
Mahesa menarik napas tajam. “Mustika merah… dia tak menjawabku. Gatra... diam sejak Ratih meninggal.”
“Karena jiwamu terputus,” kata Ki Cipto lirih. “Roh mustika merah—Gatra—hidup berdampingan dengan jiwamu. Saat kau kehilangan Ratih, kau kehilangan pusat jiwamu.”
Hening sejenak.
Mahesa mengepalkan tangan kanannya. “Aku harus bangkit. Aku tak peduli harus seperti apa. Tapi aku tidak bisa membiarkan Wusasena hidup setelah semua yang dia lakukan.”
“Balas dendam tanpa arah... hanya akan membuatmu mati lebih cepat.”
“Aku tidak mencari kemenangan,” ucap Mahesa. “Aku mencari keadilan. Untuk Ratih. Untuk pendekar Nusantara. Untuk dunia yang kini dikuasai iblis.”
Ki Cipto membuka matanya. Tatapannya tajam. “Kalau begitu, kita mulai.”
Ia menarik seutas benang tipis berwarna hitam, lalu mengikatnya ke lengan kanan Mahesa.
“Apa ini?”
“Pengukur irama. Aku akan melemparkan serangan secara acak. Kau hanya punya satu tugas—merasakan angin, mengenali arah serangan, dan menghindar.”
Sebelum Mahesa sempat bertanya lebih lanjut—
Wushhh!
Sesuatu menghantam telinganya, meleset hanya sejengkal dari kepala.
Wuss! Wuss!
Dua serangan berikutnya datang dari kiri dan kanan. Mahesa mencoba menunduk, tapi terlalu lambat. Salah satu pukulan kayu mengenai bahunya. Ia meringis.
“Fokus!” bentak Ki Cipto. “Jangan pikirkan masa lalu. Rasakan hanya yang ada di sekelilingmu sekarang.”
Mahesa menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya tetap, tapi telinganya bergetar. Jantungnya mempercepat irama, menyelaraskan denyutnya dengan getaran tanah.
Wushhh!
Kali ini Mahesa memutar tubuhnya, lalu menjatuhkan diri ke tanah.
Selamat.
Wussss!
Ia melompat mundur, lalu menangkis dengan tongkat kayu pendek di tangan kanannya.
“Bagus!” sorak Ki Cipto. “Sekarang kita tingkatkan kecepatannya.”
Dan ujian itu berlanjut. Satu jam. Dua jam. Mahesa terluka. Darah menetes dari pelipis, tapi ia terus bertahan.
Saat hari menjelang malam, Ki Cipto menghentikan serangannya.
“Cukup untuk hari ini.”
Mahesa duduk terengah-engah. Tangannya gemetar. Tapi ada satu hal yang tak pernah dia rasakan selama beberapa hari terakhir—kehidupan.
“Besok, kita mulai mengaktifkan energi batinmu kembali. Tapi... kau harus bersiap, karena bagian tersulit belum dimulai.”
Malam itu, Mahesa bermimpi.
Dalam mimpi itu, ia berdiri di tengah lautan darah. Langit gelap, dan di hadapannya, berdiri sosok bersayap hitam dengan wajah setengah terbakar—Wusasena.
Di tangannya, kepala Ratih tergantung. Matanya menatap Mahesa tanpa nyawa, dan bibirnya seperti berusaha bicara.
“Ka...u... ga...gal…”
Mahesa berteriak. Dunia mimpi runtuh.
Saat ia terbangun, napasnya memburu. Tapi suara lain terdengar dalam kepalanya.
“Hesa…”
Itu bukan suara Ki Cipto. Itu...
“Gatra?”
“Aku masih di sini… tapi kau harus menemukan mustika merah. Tanpanya, aku tak bisa membantumu.”
Mahesa menelan ludah. “Di mana?”
“Tangan kirimu... disimpan oleh Wusasena. Dan di dalam tangan itulah mustika merah bersemayam. Kekuatan kita... terkunci di sana.”
Mahesa terdiam. Itu artinya...
Dia harus kembali ke istana Elang Hitam.
Tempat di mana semua mimpi buruk dimulai.
Keesokan harinya, saat Mahesa hendak menyampaikan kabar ini kepada Ki Cipto, seseorang muncul dari balik kabut.
Sosok lelaki dengan sorban hitam dan jubah panjang, berdiri di atas batu datar dengan tangan menyilang. Aura tubuhnya kuat, tapi anehnya... damai.
“Sudah lama kita tidak bertemu, Mahesa Basundara,” katanya.
Mahesa menoleh, meski matanya tak melihat. Tapi telinganya mengenali suara itu dengan jelas.
“Guru… Prabu Wusanggeni.”
Ki Cipto langsung bersimpuh. “Aku tak menyangka kau masih hidup, Prabu.”
Prabu Wusanggeni mendekat, lalu menaruh tangannya di pundak Mahesa.
“Kau telah melewati ujian pertama, Hesa. Tapi ini baru awal. Nusantara membutuhkanmu.”
Mahesa menunduk. “Aku bahkan belum utuh. Mataku buta. Tangan kiriku hilang. Dan mustika merah tak lagi bersamaku.”
“Semua itu bisa dicari kembali. Tapi semangatmu... itu yang tak bisa digantikan.”
Prabu membuka kantong kecil dari balik jubahnya. Di dalamnya, sebuah mustika putih bersinar tenang.
“Ambillah. Ini mustika putih milik Komang. Ia mengirimkannya sebelum menghilang.”
Mahesa menyentuhnya. Hangat. Penuh kehidupan. Tapi juga mengingatkannya pada betapa banyak sahabatnya yang telah hilang.
“Komang… Ranu… Reksa…”
Prabu mengangguk. “Roh mustika cokelat menghilang. Reksa tak dapat dihubungi. Dan Ranu... belum ditemukan. Tapi kau tak sendiri, Mahesa.”
Mahesa mengepalkan tangan. “Kalau begitu, beritahu aku apa langkah selanjutnya.”
“Pergilah ke Bukit Pawitra. Di sana, seorang perempuan tua bernama Nyai Armilati dapat memulihkan penglihatanmu. Hanya satu mata... tapi cukup untuk membuatmu kembali menjadi pendekar.”
“AKU BELUM MATI!!”Raungan itu menggema ke seluruh lembah, membelah malam dan mengguncang keberanian makhluk yang hendak membunuhnya.Siluman kelelawar mengangkat kepalanya, matanya yang menyala merah seolah terkejut, lalu mengaum lebih keras, membalas tantangan Mahesa. Dengan sayap baja dan cakar berapi, ia menerjang maju, siap mencabik tubuh lawannya yang sudah setengah mati.Tapi Mahesa kini berdiri dengan tekad baru. Tubuhnya mungkin remuk, tapi jiwanya menyala seperti bara. Di dalam gelap yang terus menelan dunia, satu cahaya kecil menyala dalam dirinya—suara Ratih yang menggema di pikirannya.“Harapanku... harapan semua yang gugur... dan harapan bagi yang belum sempat hidup.”Mahesa berjongkok rendah. Telinganya menajam, menangkap suara angin yang berdesir melalui celah sayap kelelawar. Hidungnya mencium aroma darah hangus yang semakin pekat. Ia tahu, waktu makhluk itu hampir habis—tapi hanya jika dia bisa memukul di saat yang tepat.Swiinggg!Sayap menyambar. Mahesa melompat ke
Udara malam berubah menggigil. Pepohonan menunduk seperti berdoa, dan tanah di sekitar Mahesa bergetar pelan seiring datangnya sesuatu yang mengerikan dari langit.Kepakan sayap terdengar semakin mendekat—dalam, kasar, dan disertai bau daging terbakar yang menyengat hidung. Suara-suara binatang hutan menghilang, tertelan keheningan yang menekan. Kabut perlahan menyelimuti pondok Nyai Armilati yang kini tak lagi terlihat.Mahesa berdiri, meski lututnya gemetar. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang pendek. Mata kanannya menatap gelap. Angin menampar wajahnya, dan kabut terasa seperti tangan dingin yang mencoba mencengkram lehernya.“Mahesa Basundara, ujian pertamamu dimulai!”Suara itu menggema dari balik pepohonan, berat, laki-laki, namun tidak menyerang. Hanya mengawasi.“Aku adalah Su. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak akan menolongmu. Tapi aku akan menyaksikan… apakah kau layak hidup atau dikubur malam ini.”Mahesa menggertakkan gigi. Tanpa peringatan—BOOM!Sosok besar menghan
Cahaya temaram dari obor tua menyala redup di sudut-sudut pondok kayu itu. Asap dupa membumbung tinggi ke langit-langit jerami, memenuhi ruangan dengan aroma kayu gaharu dan rempah tajam yang membuat tubuh terasa menggigil.Mahesa melangkah masuk pelan, tongkatnya mengetuk lantai kayu tua. Meski ia buta, tubuhnya tahu bahwa tempat ini berbeda. Setiap langkah seolah melewati waktu. Setiap aroma membawa kenangan yang tak dikenalnya.Di tengah ruangan, duduk seorang perempuan tua berjubah hitam dan syal merah melilit lehernya. Wajahnya keriput, namun matanya bersinar tajam seperti api yang belum padam. Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan, namun menyentuh hati seperti palu godam menghantam tembok.“Selamat datang, Mahesa Basundara,” ucapnya.“Nyai Armilati?” tanya Mahesa pelan.“Sudah terlalu lama aku menunggumu. Dan sekarang kau tiba, dengan tubuh terbakar, mata buta, dan jiwa yang terkoyak.”Ki Cipto berdiri di belakang Mahesa, menunduk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan.“Aku m
Mahesa berjalan sambil menggenggam tongkat kayu pemberian Ki Cipto. Meskipun matanya masih gelap, setiap ayunan tongkat dan bisikan tanah di bawah kakinya menjadi panduan untuk bertahan hidup. Ki Cipto tetap berada di sampingnya, membimbing dalam diam, kadang menahan napas setiap kali Mahesa nyaris tersandung akar atau tergelincir ke tebing curam."Berapa jauh lagi menuju kaki Bukit Pawitra?" tanya Mahesa saat matahari mulai naik ke atas kepala.“Empat hari perjalanan, kalau kita tak berhenti,” jawab Ki Cipto. “Tapi kita tak bisa menempuhnya tanpa istirahat. Tubuhmu belum pulih. Dan kita tak tahu apa saja yang menunggu di depan.”Mahesa mengangguk. Dia tahu Ki Cipto benar. Tapi waktu bukanlah sekutu. Semakin lama ia berjalan tanpa penglihatan dan kekuatan, semakin besar kemungkinan Elang Hitam menemukan jejaknya.Setelah melewati lembah kecil dan hutan basah, mereka tiba di dataran lapang. Pepohonan terbuka, menyisakan pemandangan langit yang pekat—bukan karena awan, melainkan kabut h
Dunia Mahesa kini gelap, bukan karena malam, tetapi karena penglihatannya telah lenyap. Namun, dalam kegelapan itu, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih penting dari cahaya: suara. Setiap desir angin, tiap gemerisik dedaunan, dan detakan napas—semua itu kini menjadi peta barunya untuk memahami dunia.Ki Cipto berjalan pelan di depan, sesekali membimbing Mahesa dengan tongkat kayu. Lembah Sarip berada jauh di belakang mereka, namun bayangan kematian di tempat itu masih mengikuti setiap langkah.“Kau merasakannya?” tanya Ki Cipto, tiba-tiba berhenti.Mahesa menajamkan pendengaran. Udara di sekelilingnya membeku, seperti aliran energi tak kasat mata menyapu permukaan kulitnya.“Ya… ada sesuatu yang mengawasi kita dari kejauhan.”Ki Cipto mengangguk. “Kau sudah mulai terbiasa. Tapi ini baru permulaan.”Mereka berhenti di pelataran batu berbentuk lingkaran yang tersembunyi di antara dua tebing curam. Di tengahnya terdapat susunan batu menyerupai altar. Ki Cipto duduk bersila, menarik napa
Gelap.Tak ada cahaya. Tak ada suara. Hanya dingin yang perlahan merayap ke sumsum tulang.Mahesa tak tahu apakah ia telah mati, atau hanya terjebak dalam ruang di antara hidup dan kematian. Tubuhnya melayang, atau mungkin jatuh. Entah. Yang jelas, dia tak merasakan tanah, tak merasakan luka, dan tak merasakan dunia.Kemudian...Bruggggh!Tubuhnya membentur sesuatu. Keras. Penuh duri. Rasa sakit langsung menjalar dari punggung hingga ke kepala. Darah menyembur dari luka terbuka yang belum sempat pulih sejak pertempuran terakhir.Suara sayup angin menyusup dari celah-celah tebing. Aroma tanah basah dan batu hangus memenuhi hidungnya.Dia sadar.Tapi matanya gelap. Bukan karena malam. Tapi karena dunia telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Matanya telah dibutakan oleh kain hitam terkutuk yang membakar retina hingga hancur."Ahh... sial," desahnya.Tangannya meraba tanah di sekelilingnya—batu tajam, akar tua, dan lumut dingin. Udara di sini berat, seperti dipenuhi asap tak ka