Gelap.
Tak ada cahaya. Tak ada suara. Hanya dingin yang perlahan merayap ke sumsum tulang.
Mahesa tak tahu apakah ia telah mati, atau hanya terjebak dalam ruang di antara hidup dan kematian. Tubuhnya melayang, atau mungkin jatuh. Entah. Yang jelas, dia tak merasakan tanah, tak merasakan luka, dan tak merasakan dunia.
Kemudian...
Bruggggh!
Tubuhnya membentur sesuatu. Keras. Penuh duri. Rasa sakit langsung menjalar dari punggung hingga ke kepala. Darah menyembur dari luka terbuka yang belum sempat pulih sejak pertempuran terakhir.
Suara sayup angin menyusup dari celah-celah tebing. Aroma tanah basah dan batu hangus memenuhi hidungnya.
Dia sadar.
Tapi matanya gelap. Bukan karena malam. Tapi karena dunia telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Matanya telah dibutakan oleh kain hitam terkutuk yang membakar retina hingga hancur.
"Ahh... sial," desahnya.
Tangannya meraba tanah di sekelilingnya—batu tajam, akar tua, dan lumut dingin. Udara di sini berat, seperti dipenuhi asap tak kasat mata. Suara gemuruh samar terdengar dari jauh, seperti desahan makhluk purba yang tertidur selama ribuan tahun.
Dia tahu di mana ini.
Lembah Sarip.
Tempat yang hanya disebut dalam legenda sebagai lubang neraka yang diciptakan oleh para dewa untuk membuang roh-roh terkutuk. Tempat dari mana tak ada satu makhluk pun yang kembali.
Dan sekarang, dia di sini. Sendiri. Buta. Buntung sebelah. Tanpa mustika. Tanpa kekuatan.
Dan tanpa... Ratih.
Tangan kanannya mencengkeram tanah, meremas batu tajam hingga darah kembali mengalir.
“Aku masih hidup,” gumamnya. “Dan jika aku masih hidup… maka aku belum kalah.”
Namun keyakinan itu langsung diuji.
Suara derap langkah terdengar dari belakang.
Bukan langkah manusia.
Langkah berat, menggesek, seperti cakar baja menggores bebatuan.
Mahesa memutar tubuhnya, membungkuk pelan. Ia tak bisa melihat, tapi bisa merasakan. Udara di sekelilingnya bergemuruh. Ada sesuatu... atau seseorang... yang sedang mendekat. Napasnya ditahan.
Hwaaaakkkhhh...
Suara napas makhluk itu menyalak. Bau busuk seperti bangkai menempel di udara. Mahesa tahu, dia hanya punya dua pilihan: berdiam dan mati... atau melawan meski tanpa peluang.
Dia memilih yang kedua.
Dengan satu gerakan cepat, Mahesa mencabut pisau pendek yang disembunyikan di sabuk belakangnya. Senjata mungil itu bukanlah pusaka, bukan pula besi sakti. Tapi dia tahu, kekuatan bukan berasal dari senjata, melainkan dari tekad yang tak bisa dihancurkan.
Makhluk itu mendekat. Nafasnya berat. Gigi-gigi panjang seperti tombak mencuat dari mulutnya.
ZRAKKK!
Makhluk itu menerjang.
Mahesa mengguling ke kiri. Ujung cakarnya nyaris merobek dadanya. Dia mengayun pisaunya ke arah angin, membidik dari insting dan napas makhluk itu.
Srak!
Sesuatu terluka. Makhluk itu meraung keras, gemanya mengguncang lembah.
Tapi Mahesa tak sempat merayakan kemenangan. Cakar lain menyabet ke arah wajahnya.
BRAKKK!
Kepalanya terhantam batu. Dunia kembali gelap. Kesadarannya kabur. Tapi sebelum hilang sepenuhnya, suara lain terdengar. Bukan suara makhluk itu.
Melainkan suara manusia.
"Apa kau benar-benar ingin mati hari ini, pewaris mustika merah?"
Seseorang menendang tubuh makhluk itu. Raungannya memudar. Lalu... sunyi.
Beberapa saat kemudian, Mahesa terbangun.
Tubuhnya dibaringkan di atas pelepah pisang. Hujan deras turun di luar gua sempit yang menyelamatkannya dari kematian. Di sisinya, duduk seorang lelaki tua berjubah cokelat. Tubuhnya kurus, namun aura ketenangannya bagaikan samudra dalam.
Mahesa mengerjap, meski tak melihat apa-apa.
“Siapa... kau?” lirihnya.
“Aku orang terakhir yang menghuni lembah ini dan belum dimakan kegilaan. Namaku... Ki Cipto.”
Mahesa mencoba bangkit, tapi punggungnya menjerit. Luka di bahunya masih basah. Tangannya meraba dada, lalu wajah. Tidak ada luka baru, tapi tubuhnya seperti habis digilas gunung.
“Berapa lama aku di sini?”
“Empat hari,” jawab Ki Cipto sambil menyuapkan ramuan ke bibir Mahesa. “Kalau aku telat satu jam saja, kau sudah dimakan makhluk penjaga lembah itu.”
Mahesa terdiam. Empat hari. Empat hari antara hidup dan mati.
“Aku tidak bisa melihat,” lirihnya.
“Matamu terbakar. Mungkin selamanya.”
Mahesa mengepalkan tangan kanannya. Luka di tubuhnya tak seberapa dibanding luka di jiwanya. Tanpa penglihatan, dia bukan lagi pendekar. Tanpa tangan kiri, dia setengah manusia. Dan tanpa mustika merah, dia bukan siapa-siapa.
“Aku harus keluar dari sini,” ucap Mahesa.
Ki Cipto tertawa kecil. “Sudah berapa banyak pendekar yang berkata demikian sebelum akhirnya mati dimakan hutan? Tapi... kau berbeda. Aku melihat api yang belum padam dalam tubuhmu.”
Mahesa menggenggam kain jubahnya. “Aku harus mengalahkan Wusasena. Dan untuk itu, aku butuh kekuatanku kembali.”
Ki Cipto mengangguk. Dia bangkit, lalu berjalan ke sebuah sudut gua. Dari sana, ia mengambil sebuah kendi kecil, berisi cairan perak berkilau.
“Ramuan ini bisa memperbaiki sebagian jaringan tubuhmu. Tapi bukan matamu. Kau harus menerima kenyataan... bahwa kau kini harus bertarung tanpa melihat.”
Mahesa terdiam. Lalu perlahan, ia menunduk.
“Kalau begitu, ajari aku caranya.”
Ki Cipto menatapnya dalam-dalam.
“Apakah kau siap membayar harganya?”
“Bahkan jika itu nyawaku.”
Senyum Ki Cipto merekah, dia tidak menyangka ada pendekar yang mau berkorban nyawa demi balas dendam, demi wanita, demi kekasih yang dia cintai. Dia buta. Dia kehilangan satu tangan. Tapi ada satu hal yang tidak hilang dari dirinya ... tekad balas dendam!
“Bagus. Maka pelatihanmu dimulai... sekarang.”
“AKU BELUM MATI!!”Raungan itu menggema ke seluruh lembah, membelah malam dan mengguncang keberanian makhluk yang hendak membunuhnya.Siluman kelelawar mengangkat kepalanya, matanya yang menyala merah seolah terkejut, lalu mengaum lebih keras, membalas tantangan Mahesa. Dengan sayap baja dan cakar berapi, ia menerjang maju, siap mencabik tubuh lawannya yang sudah setengah mati.Tapi Mahesa kini berdiri dengan tekad baru. Tubuhnya mungkin remuk, tapi jiwanya menyala seperti bara. Di dalam gelap yang terus menelan dunia, satu cahaya kecil menyala dalam dirinya—suara Ratih yang menggema di pikirannya.“Harapanku... harapan semua yang gugur... dan harapan bagi yang belum sempat hidup.”Mahesa berjongkok rendah. Telinganya menajam, menangkap suara angin yang berdesir melalui celah sayap kelelawar. Hidungnya mencium aroma darah hangus yang semakin pekat. Ia tahu, waktu makhluk itu hampir habis—tapi hanya jika dia bisa memukul di saat yang tepat.Swiinggg!Sayap menyambar. Mahesa melompat ke
Udara malam berubah menggigil. Pepohonan menunduk seperti berdoa, dan tanah di sekitar Mahesa bergetar pelan seiring datangnya sesuatu yang mengerikan dari langit.Kepakan sayap terdengar semakin mendekat—dalam, kasar, dan disertai bau daging terbakar yang menyengat hidung. Suara-suara binatang hutan menghilang, tertelan keheningan yang menekan. Kabut perlahan menyelimuti pondok Nyai Armilati yang kini tak lagi terlihat.Mahesa berdiri, meski lututnya gemetar. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang pendek. Mata kanannya menatap gelap. Angin menampar wajahnya, dan kabut terasa seperti tangan dingin yang mencoba mencengkram lehernya.“Mahesa Basundara, ujian pertamamu dimulai!”Suara itu menggema dari balik pepohonan, berat, laki-laki, namun tidak menyerang. Hanya mengawasi.“Aku adalah Su. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak akan menolongmu. Tapi aku akan menyaksikan… apakah kau layak hidup atau dikubur malam ini.”Mahesa menggertakkan gigi. Tanpa peringatan—BOOM!Sosok besar menghan
Cahaya temaram dari obor tua menyala redup di sudut-sudut pondok kayu itu. Asap dupa membumbung tinggi ke langit-langit jerami, memenuhi ruangan dengan aroma kayu gaharu dan rempah tajam yang membuat tubuh terasa menggigil.Mahesa melangkah masuk pelan, tongkatnya mengetuk lantai kayu tua. Meski ia buta, tubuhnya tahu bahwa tempat ini berbeda. Setiap langkah seolah melewati waktu. Setiap aroma membawa kenangan yang tak dikenalnya.Di tengah ruangan, duduk seorang perempuan tua berjubah hitam dan syal merah melilit lehernya. Wajahnya keriput, namun matanya bersinar tajam seperti api yang belum padam. Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan, namun menyentuh hati seperti palu godam menghantam tembok.“Selamat datang, Mahesa Basundara,” ucapnya.“Nyai Armilati?” tanya Mahesa pelan.“Sudah terlalu lama aku menunggumu. Dan sekarang kau tiba, dengan tubuh terbakar, mata buta, dan jiwa yang terkoyak.”Ki Cipto berdiri di belakang Mahesa, menunduk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan.“Aku m
Mahesa berjalan sambil menggenggam tongkat kayu pemberian Ki Cipto. Meskipun matanya masih gelap, setiap ayunan tongkat dan bisikan tanah di bawah kakinya menjadi panduan untuk bertahan hidup. Ki Cipto tetap berada di sampingnya, membimbing dalam diam, kadang menahan napas setiap kali Mahesa nyaris tersandung akar atau tergelincir ke tebing curam."Berapa jauh lagi menuju kaki Bukit Pawitra?" tanya Mahesa saat matahari mulai naik ke atas kepala.“Empat hari perjalanan, kalau kita tak berhenti,” jawab Ki Cipto. “Tapi kita tak bisa menempuhnya tanpa istirahat. Tubuhmu belum pulih. Dan kita tak tahu apa saja yang menunggu di depan.”Mahesa mengangguk. Dia tahu Ki Cipto benar. Tapi waktu bukanlah sekutu. Semakin lama ia berjalan tanpa penglihatan dan kekuatan, semakin besar kemungkinan Elang Hitam menemukan jejaknya.Setelah melewati lembah kecil dan hutan basah, mereka tiba di dataran lapang. Pepohonan terbuka, menyisakan pemandangan langit yang pekat—bukan karena awan, melainkan kabut h
Dunia Mahesa kini gelap, bukan karena malam, tetapi karena penglihatannya telah lenyap. Namun, dalam kegelapan itu, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih penting dari cahaya: suara. Setiap desir angin, tiap gemerisik dedaunan, dan detakan napas—semua itu kini menjadi peta barunya untuk memahami dunia.Ki Cipto berjalan pelan di depan, sesekali membimbing Mahesa dengan tongkat kayu. Lembah Sarip berada jauh di belakang mereka, namun bayangan kematian di tempat itu masih mengikuti setiap langkah.“Kau merasakannya?” tanya Ki Cipto, tiba-tiba berhenti.Mahesa menajamkan pendengaran. Udara di sekelilingnya membeku, seperti aliran energi tak kasat mata menyapu permukaan kulitnya.“Ya… ada sesuatu yang mengawasi kita dari kejauhan.”Ki Cipto mengangguk. “Kau sudah mulai terbiasa. Tapi ini baru permulaan.”Mereka berhenti di pelataran batu berbentuk lingkaran yang tersembunyi di antara dua tebing curam. Di tengahnya terdapat susunan batu menyerupai altar. Ki Cipto duduk bersila, menarik napa
Gelap.Tak ada cahaya. Tak ada suara. Hanya dingin yang perlahan merayap ke sumsum tulang.Mahesa tak tahu apakah ia telah mati, atau hanya terjebak dalam ruang di antara hidup dan kematian. Tubuhnya melayang, atau mungkin jatuh. Entah. Yang jelas, dia tak merasakan tanah, tak merasakan luka, dan tak merasakan dunia.Kemudian...Bruggggh!Tubuhnya membentur sesuatu. Keras. Penuh duri. Rasa sakit langsung menjalar dari punggung hingga ke kepala. Darah menyembur dari luka terbuka yang belum sempat pulih sejak pertempuran terakhir.Suara sayup angin menyusup dari celah-celah tebing. Aroma tanah basah dan batu hangus memenuhi hidungnya.Dia sadar.Tapi matanya gelap. Bukan karena malam. Tapi karena dunia telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Matanya telah dibutakan oleh kain hitam terkutuk yang membakar retina hingga hancur."Ahh... sial," desahnya.Tangannya meraba tanah di sekelilingnya—batu tajam, akar tua, dan lumut dingin. Udara di sini berat, seperti dipenuhi asap tak ka