Cahaya temaram dari obor tua menyala redup di sudut-sudut pondok kayu itu. Asap dupa membumbung tinggi ke langit-langit jerami, memenuhi ruangan dengan aroma kayu gaharu dan rempah tajam yang membuat tubuh terasa menggigil.
Mahesa melangkah masuk pelan, tongkatnya mengetuk lantai kayu tua. Meski ia buta, tubuhnya tahu bahwa tempat ini berbeda. Setiap langkah seolah melewati waktu. Setiap aroma membawa kenangan yang tak dikenalnya.
Di tengah ruangan, duduk seorang perempuan tua berjubah hitam dan syal merah melilit lehernya. Wajahnya keriput, namun matanya bersinar tajam seperti api yang belum padam. Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan, namun menyentuh hati seperti palu godam menghantam tembok.
“Selamat datang, Mahesa Basundara,” ucapnya.
“Nyai Armilati?” tanya Mahesa pelan.
“Sudah terlalu lama aku menunggumu. Dan sekarang kau tiba, dengan tubuh terbakar, mata buta, dan jiwa yang terkoyak.”
Ki Cipto berdiri di belakang Mahesa, menunduk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan.
“Aku membawanya, seperti yang diperintahkan,” ucap Ki Cipto.
Nyai Armilati mengangguk pelan. “Kau sudah menjalankan tugasmu, Cipto. Sekarang biarkan aku menyelesaikan bagian akhir dari penderitaannya.”
Mahesa mengatupkan bibirnya. Nafasnya ditahan. Ada ketakutan yang membekukan nadi, meskipun tak terlihat di wajahnya yang penuh luka.
“Matamu tak bisa kuselamatkan semua,” lanjut Nyai. “Kain hitam yang membutakanmu telah membakar jaringan dalam. Namun... satu matamu masih bisa kupulihkan. Kau harus memilih.”
Mahesa terdiam.
“Pilih kanan atau kiri. Tapi ingat, mata yang kau pilih akan menjadi jendelamu untuk melihat dunia kembali. Dan mata yang tidak kau pilih... akan tetap menjadi lorong gelap tempat roh jahat bisa mengintip.”
Kata-kata itu bukan sekadar metafora. Mahesa tahu, dunia di mana ia hidup tidak mengenal simbolisme belaka. Jika Nyai Armilati berkata bahwa mata yang tidak dipilih bisa menjadi tempat iblis menembus jiwa, maka hal itu bisa benar-benar terjadi.
“Mataku yang kanan,” jawab Mahesa akhirnya. “Berikan aku satu penglihatan. Itu sudah cukup.”
Nyai Armilati bangkit. Ia mengambil kendi kecil berisi cairan hijau bercahaya, lalu memercikkannya ke tangan kirinya. Uap mengepul dari kulitnya, tapi perempuan tua itu tak bergeming.
“Duduklah, Mahesa. Bersila dan tenangkan pikiranmu.”
Mahesa menurut. Ia meletakkan tongkatnya ke samping dan duduk bersila. Nafasnya ditarik perlahan, mencoba menenangkan jantung yang berdegup seperti genderang perang.
Nyai Armilati menempelkan telapak tangannya ke dahi Mahesa. Suhu kulitnya dingin, tetapi getaran yang menjalar dari tangan itu terasa seperti petir yang menyusup ke dalam tulang belakang.
“Tutupi mata kirimu dengan tangan kananmu. Fokus pada titik di antara alis. Bayangkan dunia. Bukan seperti yang pernah kau lihat, tapi seperti yang ingin kau lihat.”
Mahesa menuruti. Dalam hitungan detik, tubuhnya seperti melayang. Kesadarannya keluar dari tubuh, masuk ke pusaran cahaya dan gelap. Di sana, ia melihat kilasan peristiwa—Ratih berdiri di pelataran istana, para pendekar yang gugur, dan dirinya sendiri saat masih anak-anak.
Lalu tiba-tiba, gelap lagi.
“Tarik napas!” seru Nyai.
Mahesa terbatuk. Cairan panas menyusup ke kelopak mata kanannya. Sakitnya menusuk, seperti seribu jarum menyayat retina. Ia menggertakkan gigi. Badannya menggigil. Tapi ia menolak berteriak.
Cairan itu seperti membakar jalan kembali ke penglihatan.
“Jangan melawan rasa sakitnya!” bentak Nyai. “Biarkan ia mengalirimu. Penglihatan tidak hanya dari mata, tapi dari tekad yang tak pernah mati!”
Crakkk!
Sesuatu di dalam matanya retak. Lalu...
Cahaya.
Samar.
Kabur.
Tapi cahaya.
Mahesa terdiam. Dia tidak menangis. Tapi matanya—yang kanan—berkedip perlahan, seolah baru terlahir kembali.
“Aku bisa... melihat,” gumamnya.
Wajah Nyai Armilati kabur, tapi nyata. Kabut di dalam otaknya perlahan terangkat. Warna kembali. Cahaya kembali. Dunia, meski hanya setengah, mulai tampak kembali.
“Penglihatanmu belum sempurna,” ujar Nyai. “Tapi itu sudah cukup untuk membunuh seribu musuh, jika hatimu tak goyah.”
Ki Cipto mendekat. “Bagaimana perasaanmu, Hesa?”
Mahesa mengangguk. “Seperti bangkit dari kubur.”
Nyai Armilati menaruh selembar kain hitam di hadapannya.
“Kenakan ini untuk menutupi mata kirimu yang tak lagi berguna. Jangan biarkan iblis menyelinap lewat lorong yang telah mati. Kau akan menjadi umpan jika membiarkannya terbuka.”
Mahesa mengikat kain itu di sekitar kepala, menutupi mata kirinya yang terbakar. Seketika, tubuhnya terasa lebih ringan. Lebih fokus. Seolah-olah seluruh kekuatannya kembali tertambat pada mata kanan yang baru saja diselamatkan.
Nyai menyerahkan jubah panjang berwarna kelabu.
“Kenakan ini. Ini milik Ki Seno Aji. Dia meninggalkannya untukmu sebelum ia gugur. Di dalamnya, ada doa dan kutukan. Doa dari para pendekar... dan kutukan bagi mereka yang mengkhianati.”
Mahesa menyentuh kain itu. Lembut, tapi penuh tenaga. Ia merasakannya: panas, dingin, dan kekuatan yang melingkar di sekeliling tubuhnya seperti pusaran angin.
“Terima kasih, Nyai,” ucapnya lirih.
Nyai Armilati berjalan menuju altar batu dan menaruh sesajen di atasnya.
“Kau belum selesai. Perjalananmu baru dimulai. Tapi ingat... mulai sekarang, setiap langkahmu akan diawasi. Mereka tahu kau hidup. Dan mereka akan mencarimu.”
Mahesa menoleh ke arah Ki Cipto.
“Kita harus segera pergi.”
Ki Cipto mengangguk. “Aku sudah siapkan bekal. Kita akan turun malam ini juga.”
Nyai Armilati melangkah perlahan ke ambang pintu, menghadap ke hutan lebat.
“Jika kau bertahan sampai puncak, maka dunia ini mungkin masih punya harapan. Tapi jika kau jatuh... tak akan ada cahaya lagi untuk Nusantara.”
Mahesa menggenggam pedangnya. Satu mata, satu tekad, satu tujuan.
Saat ia dan Ki Cipto mulai melangkah keluar pondok, angin malam berhembus kencang. Aroma darah dan besi samar-samar menari di udara.
Dari kejauhan, suara kepakan sayap terdengar menakutkan. Kepakan itu mengibaskan angin sehingga Mahesa terhempas beberapa kali ke pohon, membuat pohon-pohon itu jatuh. Mahesa terduduk, tapi suara kepakan sayap itu semakin mendekat. Dia merasa badannya sudah tidak kuat berjalan. Saat tertatih, Mahesa mendengar sesuatu dari balik pepohonan rimbun nan gelap.
"Mahesa Basundara, ujian pertamamu dimulai! Cipto tidak akan membantumu dan akulah yang akan mengawasimu. Bersiaplah. Jika kau selamat, kau adalah bocah dalam ramalan yang terpilih meneruskan titah pendekar Nusantara."
"Jika kau gagal, kau ... MATI!"
“AKU BELUM MATI!!”Raungan itu menggema ke seluruh lembah, membelah malam dan mengguncang keberanian makhluk yang hendak membunuhnya.Siluman kelelawar mengangkat kepalanya, matanya yang menyala merah seolah terkejut, lalu mengaum lebih keras, membalas tantangan Mahesa. Dengan sayap baja dan cakar berapi, ia menerjang maju, siap mencabik tubuh lawannya yang sudah setengah mati.Tapi Mahesa kini berdiri dengan tekad baru. Tubuhnya mungkin remuk, tapi jiwanya menyala seperti bara. Di dalam gelap yang terus menelan dunia, satu cahaya kecil menyala dalam dirinya—suara Ratih yang menggema di pikirannya.“Harapanku... harapan semua yang gugur... dan harapan bagi yang belum sempat hidup.”Mahesa berjongkok rendah. Telinganya menajam, menangkap suara angin yang berdesir melalui celah sayap kelelawar. Hidungnya mencium aroma darah hangus yang semakin pekat. Ia tahu, waktu makhluk itu hampir habis—tapi hanya jika dia bisa memukul di saat yang tepat.Swiinggg!Sayap menyambar. Mahesa melompat ke
Udara malam berubah menggigil. Pepohonan menunduk seperti berdoa, dan tanah di sekitar Mahesa bergetar pelan seiring datangnya sesuatu yang mengerikan dari langit.Kepakan sayap terdengar semakin mendekat—dalam, kasar, dan disertai bau daging terbakar yang menyengat hidung. Suara-suara binatang hutan menghilang, tertelan keheningan yang menekan. Kabut perlahan menyelimuti pondok Nyai Armilati yang kini tak lagi terlihat.Mahesa berdiri, meski lututnya gemetar. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang pendek. Mata kanannya menatap gelap. Angin menampar wajahnya, dan kabut terasa seperti tangan dingin yang mencoba mencengkram lehernya.“Mahesa Basundara, ujian pertamamu dimulai!”Suara itu menggema dari balik pepohonan, berat, laki-laki, namun tidak menyerang. Hanya mengawasi.“Aku adalah Su. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak akan menolongmu. Tapi aku akan menyaksikan… apakah kau layak hidup atau dikubur malam ini.”Mahesa menggertakkan gigi. Tanpa peringatan—BOOM!Sosok besar menghan
Cahaya temaram dari obor tua menyala redup di sudut-sudut pondok kayu itu. Asap dupa membumbung tinggi ke langit-langit jerami, memenuhi ruangan dengan aroma kayu gaharu dan rempah tajam yang membuat tubuh terasa menggigil.Mahesa melangkah masuk pelan, tongkatnya mengetuk lantai kayu tua. Meski ia buta, tubuhnya tahu bahwa tempat ini berbeda. Setiap langkah seolah melewati waktu. Setiap aroma membawa kenangan yang tak dikenalnya.Di tengah ruangan, duduk seorang perempuan tua berjubah hitam dan syal merah melilit lehernya. Wajahnya keriput, namun matanya bersinar tajam seperti api yang belum padam. Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan, namun menyentuh hati seperti palu godam menghantam tembok.“Selamat datang, Mahesa Basundara,” ucapnya.“Nyai Armilati?” tanya Mahesa pelan.“Sudah terlalu lama aku menunggumu. Dan sekarang kau tiba, dengan tubuh terbakar, mata buta, dan jiwa yang terkoyak.”Ki Cipto berdiri di belakang Mahesa, menunduk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan.“Aku m
Mahesa berjalan sambil menggenggam tongkat kayu pemberian Ki Cipto. Meskipun matanya masih gelap, setiap ayunan tongkat dan bisikan tanah di bawah kakinya menjadi panduan untuk bertahan hidup. Ki Cipto tetap berada di sampingnya, membimbing dalam diam, kadang menahan napas setiap kali Mahesa nyaris tersandung akar atau tergelincir ke tebing curam."Berapa jauh lagi menuju kaki Bukit Pawitra?" tanya Mahesa saat matahari mulai naik ke atas kepala.“Empat hari perjalanan, kalau kita tak berhenti,” jawab Ki Cipto. “Tapi kita tak bisa menempuhnya tanpa istirahat. Tubuhmu belum pulih. Dan kita tak tahu apa saja yang menunggu di depan.”Mahesa mengangguk. Dia tahu Ki Cipto benar. Tapi waktu bukanlah sekutu. Semakin lama ia berjalan tanpa penglihatan dan kekuatan, semakin besar kemungkinan Elang Hitam menemukan jejaknya.Setelah melewati lembah kecil dan hutan basah, mereka tiba di dataran lapang. Pepohonan terbuka, menyisakan pemandangan langit yang pekat—bukan karena awan, melainkan kabut h
Dunia Mahesa kini gelap, bukan karena malam, tetapi karena penglihatannya telah lenyap. Namun, dalam kegelapan itu, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih penting dari cahaya: suara. Setiap desir angin, tiap gemerisik dedaunan, dan detakan napas—semua itu kini menjadi peta barunya untuk memahami dunia.Ki Cipto berjalan pelan di depan, sesekali membimbing Mahesa dengan tongkat kayu. Lembah Sarip berada jauh di belakang mereka, namun bayangan kematian di tempat itu masih mengikuti setiap langkah.“Kau merasakannya?” tanya Ki Cipto, tiba-tiba berhenti.Mahesa menajamkan pendengaran. Udara di sekelilingnya membeku, seperti aliran energi tak kasat mata menyapu permukaan kulitnya.“Ya… ada sesuatu yang mengawasi kita dari kejauhan.”Ki Cipto mengangguk. “Kau sudah mulai terbiasa. Tapi ini baru permulaan.”Mereka berhenti di pelataran batu berbentuk lingkaran yang tersembunyi di antara dua tebing curam. Di tengahnya terdapat susunan batu menyerupai altar. Ki Cipto duduk bersila, menarik napa
Gelap.Tak ada cahaya. Tak ada suara. Hanya dingin yang perlahan merayap ke sumsum tulang.Mahesa tak tahu apakah ia telah mati, atau hanya terjebak dalam ruang di antara hidup dan kematian. Tubuhnya melayang, atau mungkin jatuh. Entah. Yang jelas, dia tak merasakan tanah, tak merasakan luka, dan tak merasakan dunia.Kemudian...Bruggggh!Tubuhnya membentur sesuatu. Keras. Penuh duri. Rasa sakit langsung menjalar dari punggung hingga ke kepala. Darah menyembur dari luka terbuka yang belum sempat pulih sejak pertempuran terakhir.Suara sayup angin menyusup dari celah-celah tebing. Aroma tanah basah dan batu hangus memenuhi hidungnya.Dia sadar.Tapi matanya gelap. Bukan karena malam. Tapi karena dunia telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Matanya telah dibutakan oleh kain hitam terkutuk yang membakar retina hingga hancur."Ahh... sial," desahnya.Tangannya meraba tanah di sekelilingnya—batu tajam, akar tua, dan lumut dingin. Udara di sini berat, seperti dipenuhi asap tak ka