Di meja makan, aku memperhatikan Abiyasa sekali lagi. Dia masih seperti dulu, menunduk, sibuk dengan pikirannya sendiri, dan kadang menatap layar ponsel. Aku ingin sekali bertanya, "Abi, kalau aku pergi, apa kamu akan mencariku?" Tapi suaraku hanya mengendap di dada, tak pernah keluar. Sebab aku tahu jawabannya mungkin akan lebih menyakitkan daripada diamku. Malam sebelum aku menulis surat, aku berdiri lama di depan cermin kamar. Wajahku pucat, mataku bengkak, tapi aku juga melihat perempuan yang lebih tegar daripada dulu. Perempuan yang akhirnya berani memilih dirinya sendiri, meski berarti harus meninggalkan orang yang dulu begitu ia perjuangkan. Barulah saat itulah aku menyalakan lampu meja rias, meraih pena, dan menuliskan surat terakhir untuk Abiyasa. Tanganku gemetar, air mata menetes di atas kertas, tapi aku terus menulis, karena inilah satu-satunya cara untuk pergi dengan sisa harga diri yang kumiliki. Abiyasa, Aku tak bisa lagi menunggu sebuah jawaban yang tak pernah data
Terakhir Diperbarui : 2025-09-13 Baca selengkapnya