LOGINEdwina mencintai pria yang tidak mencintainya. Abiyasa, suami dingin tanpa pelukan, tanpa kata manis hanya kewajiban yang tertulis di atas kertas, tapi Edwina tetap tinggal, menunggu, dan berharap. Akankah musim dingin di hati Abiyasa luluh oleh hangatnya cinta yang tulus? Karena kadang, cinta paling menyakitkan adalah cinta yang tak pernah diminta balasannya.
View MoreKalau aku harus jujur mungkin pernikahan ini hanya akan jadi satu kalimat dalam hidupnya. Satu kalimat yang tak penting yang mungkin tak akan dia ulang dalam cerita apa pun, kecuali kalau ditanya di depan publik.
Namaku Edwina Camila Ardijaya, tapi sejak dua bulan lalu, nama itu berubah. Sekarang orang memanggilku Nyonya Dirgantara dan pria yang kupanggil suami adalah Abiyasa Dirgantara, laki-laki yang bahkan tak pernah benar-benar menatap mataku selama lebih dari lima detik. "Jangan tunggu aku makan malam!" katanya datar tanpa melihat ke arahku. Jemarinya sibuk mengancingkan jas Armani hitamnya dan suaranya sedingin AC ruangan ini yang selalu disetel di suhu paling rendah. Aku berdiri beberapa langkah dari meja makan. Sup krim ayam yang kubuat tadi pagi sekarang sudah mulai mendingin sama seperti hatiku. "Ada rapat malam ini?" tanyaku berusaha terdengar biasa saja. Dia hanya mengangguk tanpa menjawab, lalu mengambil ponsel dan dompetnya dari meja konsol dekat pintu. Bibirku membentuk senyum tipis. Senyum yang sudah terlatih sejak aku sadar, bahwa setiap harapanku padanya akan jatuh seperti daun di musim gugur. "Kalau begitu, hati-hati di jalan, Mas!" ucapku pelan. Langkahnya terhenti untuk sepersekian detik, aku kira dia akan berkata sesuatu, tapi tidak. Dia hanya membuka pintu dan keluar begitu saja tanpa pamit, tanpa menoleh, dan tanpa cinta. Setiap malam terasa sama, sepi, sunyi, dan terlalu banyak ruang kosong di antara tempat tidur kami yang terlalu besar. Aku berbaring di sisi kanan tempat tidur seperti biasa. Lampu tidur menyala redup. Di sisi kirinya, bantal itu masih rapi dan masih dingin belum tersentuh pemiliknya. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri. Apa aku bodoh, karena mencintai seseorang yang bahkan tak mau melihatku sebagai istri? Tapi cinta tidak mengenal logika, bukan? Cinta menyeretku masuk ke rumah ini, ke dalam ikatan tanpa kehangatan, ke dalam pernikahan di mana "Selamat pagi" terdengar seperti formalitas, dan "Aku pulang" tak pernah diucapkan. Yang kutahu, aku mencintainya sejak sebelum kami menikah. Sejak pertama kali aku melihatnya di acara keluarga besar setahun yang lalu. Dengan jas abu-abu dan ekspresi tak terbaca, dia berdiri seperti patung hidup, diam, memikat, tapi tak tersentuh. Sejak itu, aku tahu aku sudah jatuh cinta dan ketika ayah menyampaikan kabar bahwa keluarga Dirgantara ingin menjodohkanku dengan Abiyasa, aku sempat berpikir mungkin ini takdir, tapi ternyata bukan. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat kudengar suara mobil memasuki garasi. Jantungku berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. Langkah kaki berat menaiki tangga, lalu berhenti di depan pintu kamar. Pintu dibuka perlahan. Abiyasa masuk masih dalam jas yang sama, wajahnya lelah, tapi dinginnya tak berubah. Ia hanya menatapku sekilas, lalu masuk ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun. Aku memejamkan mata, berpura-pura tidur, karena kadang pura-pura tidur lebih mudah daripada menanggung heningnya kenyataan. Beberapa menit kemudian, ranjang bergetar sedikit saat dia berbaring. Di sisi paling jauh dariku, punggungnya menghadapku seperti biasa dan mungkin akan selalu seperti itu, tapi malam ini aku berbisik hanya dalam hati, seperti doa yang tak pernah didengar. "Mas Abiyasa, aku tidak butuh balasan sekarang, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai seseorang yang ada bukan hanya sebagai istri dari perjanjian." Dan di tengah keheningan yang begitu menusuk, aku tetap mencintainya secara diam-diam begitu dalam dan menyakitkan. *** Pagi datang seperti biasa datar, tenang, dan tanpa pelukan hangat. Saat aku membuka mata, sisi ranjang sebelah kiri sudah kosong masih sedikit hangat, tandanya dia baru saja bangun, tapi seperti biasa tanpa mengucapkan apa pun padaku. Tidak ada "Selamat pagi", tidak ada "Bagaimana tidurmu?", bahkan tidak ada isyarat kecil bahwa aku ada di dunia yang sama dengannya. Aku menarik napas pelan, menatap langit-langit kamar. Hari ini ulang tahun pernikahan kami yang kedua bulan. Aku tidak berharap dia ingat. Kakiku melangkah pelan ke kamar mandi dan ketika berdiri di depan cermin, aku sempat terdiam. Siapa perempuan yang kulihat di sana? Rambutku yang ikal panjang kusisir perlahan. Mata coklatku terlihat sayu, seperti tidak tidur semalaman. Bibirku pucat dan ada rona lelah yang tidak bisa ditutupi bedak apa pun. Aku masih Edwina, tapi ada bagian dari diriku yang perlahan menghilang sejak hari pertama aku menjadi Nyonya Dirgantara. Dulu aku berpikir bahwa menjadi istri dari seorang pria seperti Mas Abiyasa adalah mimpi, tapi sekarang aku sadar mungkin aku sedang tertidur dalam mimpi buruk yang terlalu sunyi untuk dibangunkan. Di meja makan hanya ada satu piring roti panggang yang tidak disentuh. "Mas?" panggilku dari ambang pintu ruang kerja. Dia duduk di balik meja besarnya dengan jas sudah rapi serta dasi hitamnya, wajahnya tak menunjukkan ekspresi. Tangannya menggulirkan dokumen-dokumen, seolah tidak mendengarku. Aku mendekat, ragu. "Mas, aku buatkan sarapan. Sebelum ke kantor mungkin...." "Aku tidak lapar," potongnya tanpa menatapku, lalu dengan nada lebih dingin, "Kamu tidak perlu repot-repot menyiapkan sarapan. Aku tidak pernah memintanya." Aku menggigit bibir bawahku. "Aku tahu, tapi aku hanya ingin...." "Tidak semua hal yang kamu inginkan harus kamu lakukan, Winnie." Nada itu bukan marah, tapi tajam seperti kaca dingin dan bisa melukai tanpa perlu teriak. Aku hanya berdiri kaku di tempatku, lalu mengangguk pelan. "Baik, Mas." Dia bangkit, mengambil jasnya, menyampirkan ke bahu, dan berjalan melewatiku. Tidak ada sentuhan, bahkan tidak ada napas yang bersisian. Hari itu, aku hanya duduk di taman belakang, di bangku batu tempat kami dulu entah sekali, dua bulan lalu pernah duduk bersama, karena diminta wartawan untuk foto pasangan. Saat itu, senyumnya palsu, tapi aku tetap mengingatnya. Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Cherry: Win, kamu yakin masih kuat? Kamu bisa ke apartemenku kapan aja, you know that, right? Aku tersenyum kecil. Cherry, sahabatku sejak kuliah, selalu jadi tempat pelarian setiap kali aku lelah berpura-pura bahagia. Pesan lain masuk. Cherry : Dia nggak berubah juga? Sama sekali? Aku menatap layar itu cukup lama sebelum membalas. Aku: Tidak, tapi anehnya, aku masih mencintainya. Cherry membalas dengan emoji patah hati dan aku tahu, dia tak pernah setuju aku menikah dengannya sejak awal, tapi siapa yang bisa memilih hati? Aku mencintainya dan aku hanya ingin dia melihatku, bukan sebagai pengganggu, bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai seseorang yang mencintainya tanpa syarat. Sore harinya, aku memberanikan diri menyiapkan makan malam. Kali ini menu kesukaannya, nasi Jepang dengan ayam panggang madu, salad hijau, dan teh hangat kesukaannya yang dia suka minum diam-diam saat lelah. Meja makan sudah tertata rapi. Lilin kecil menyala hanya tidak terlalu terang, karena aku tahu dia tidak suka keramaian, bahkan di rumahnya sendiri. Jam tujuh lewat lima menit, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Jam delapan lewat sepuluh masih tidak ada pesan. Jam sembilan, makanan mulai dingin dan hatiku pun begitu. Aku duduk di kursiku sendiri, memandang lilin yang perlahan meleleh, seperti waktuku, perasaanku yang mulai menetes bukan karena habis, tapi karena terlalu penuh, lalu kulihat lagi perempuan di cermin buffet makan itu. Matanya coklat sama sepertiku. Bibirnya mencoba tersenyum, tapi gagal dan aku sadar, perempuan itu mulai lelah.Beberapa hari setelah pameran itu, aku menerima pesan singkat dari sekretaris Abiyasa.Nona Edwina, Pak Abiyasa ingin mengatur pertemuan lanjutan di kantor Dirgantara Group besok pukul 10 pagi untuk membahas proyek heritage Bandung.Aku menatap layar ponsel lama sekali dan jantungku tiba-tiba berdetak begitu keras seakan tubuhku menolak sekaligus menantikan hal yang sama. Nama Abiyasa terasa begitu asing dan akrab di saat bersamaan seperti lagu lama, tapi diam-diam masih kuhafal setiap nadanya.Aku menatap jendela apartemenku yang sekarang mulai diterpa mentari pagi. Aku mengembuskan napas panjang, lalu membalas pesan itu dengan tangan bergetar.Baik. Saya akan datang.***Kantor Dirgantara Group berdiri megah dengan dinding kaca tinggi yang memantulkan cahaya matahari. Saat aku melangkah masuk ke lobi utama, aroma kopi dan kayu mahoni langsung memenuhi udara terasa hangat, berkelas, dan tenang seperti dulu.Asisten resepsionis mengantarkanku ke lantai atas dan ketika pintu lift terbu
Mataku terpejam, tapi napasku terasa berat. "Dia nggak ingat aku," bisikku dan suaraku nyaris tak terdengar.Cherry menatapku dengan tatapan lembut. "Iya, Winnie, tapi mungkin itu lebih baik untuk kalian berdua."Aku tidak menjawab hanya terdiam. "Benarkah itu yang terbaik untuk kami," pikirku.Aku mengira, aku sudah kehilangan semuanya, cinta, suami, masa lalu, tapi ternyata yang paling menyakitkan juga ketika orang itu masih hidup, tapi tidak lagi mengenalmu.Tiga tahun telah berlalu. Jakarta tidak seindah Paris, tapi aku mulai belajar untuk berdamai. Studio desainku berkembang dengan sangat pesat. Aku mulai menata hidupku seperti menata ruang dan kembali menyusun ulang kepingan yang berantakan, memberi jarak pada yang harus dilepaskan, dan menambahkan cahaya di tempat yang dulu gelap. Hingga suatu sore di bulan Mei, sebuah undangan datang melalui email.Jakarta Architectural Vision 2030. Kolaborasi Desain dan Properti Masa DepanAku diundang sebagai salah satu pembicara dan hampir
Ibuku masuk dan menggenggam tanganku, sesaat ibuku menoleh pada Mama Retha, tapi tidak mengatakan apa pun. Mama Retha keluar dari ruangan. "Sayang, semua sudah siap. Aruna sudah menunggumu." Aku menatapnya. "Iya, Bu," jawabku lirih berusaha terdengar yakin meskipun hatiku terasa sedih di setiap langkah. Aula pernikahan di Château Clairvoix berkilau oleh pantulan sinar matahari yang menembus jendela. Aruna berdiri di ujung lorong dengan tuxedo putih dan senyum yang menenangkan yang seharusnya bisa membuatku tenang. Aku melangkah perlahan, setiap langkahku terasa begitu berat seolah ada tangan tak terlihat yang menarikku kembali ke masa lalu ke dalam pelukan seseorang yang sekarang terbaring koma ribuan kilometer dari sini. Ketika Aruna menggenggam tanganku di depan altar, aku menatapnya dalam diam.Tatapan lembutnya membuat hatiku bergetar. Suara di sekitar aula tenggelam di antara gemuruh detak jantungku sendiri. "Apakah kamu, Edwina Laurent Ardiwijaya, bersedia menerima Aruna M
Aku terpaku di tempat. Mama Retha, wanita yang dulu dengan tegas menentang hubunganku dengan Abiyasa sekarang berdiri di hadapanku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Ruangan mendadak terasa sempit. Ibu dan aku saling berpandangan bingung, tapi sebelum ada yang sempat berbicara, Mama Retha melangkah maju."Bisakah kita bicara berdua, Winnie?" suaranya lembut, tapi tak bisa kutolak.Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan."Ibu, tolong beri kami waktu sebentar."Kami saling pandang, lalu ibu keluar tanpa bertanya. Begitu pintu tertutup, aku menarik napas panjang. "Kenapa Mama ada di sini?" tanyaku hati-hati berusaha menahan getar suaraku.Mama Retha menatapku lama sebelum menjawab, "Aku tahu kamu akan menikah dengan Aruna."Aku mengerutkan kening. "Dari mana Ibu tahu?""Dari Abiyasa," jawabnya perlahan. "Dia tahu dari unggahan dari temanmu, Cherry, di media sosial. Dari sanalah aku tahu dan aku memutuskan harus menemuimu sendiri di sini. Mama sengaja pergi ke Paris mencarimu."Aku han
Tawa masih menggantung di udara ketika Elodie tiba-tiba berhenti mengaduk adonan rotinya. Ia menatapku dengan raut sedikit ragu seolah mencari waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu."Ah, Madame Edwina," katanya pelan sambil meletakkan sendok kayu di meja. "Aku hampir lupa menyampaikan sesuatu."Aku menatapnya. "Tentang apa?"Elodie menatapku dan Aruna bergantian sebelum akhirnya berkata dengan hati-hati, "Tadi pagi sebelum matahari terbit Monsieur Abiyasa sudah berpamitan dengan kami. Ia berangkat ke bandara. Katanya ia harus kembali ke Indonesia lebih awal dari jadwal, karena urusan pekerjaan mendadak."Cangkir di tanganku nyaris terlepas."Pulang?" suaraku nyaris tidak terdengar.Elodie mengangguk perlahan. "Iya. Ia bahkan menolak sarapan hanya meninggalkan pesan singkat bahwa ia berterima kasih untuk semua kebaikanmu selama di sini."Aku terdiam. Suara tawa yang tadi memenuhi dapur sekarang berganti hening yang kaku dan hanya bunyi jam di dinding yang terdengar berdetak pelan.
Langkah Aruna cepat, namun aku bisa melihat bagaimana bahunya sedikit bergetar. Mungkin karena dingin atau mungkin karena sesuatu yang lebih menyakitkan daripada hujan itu sendiri.Aku ingin memanggilnya, tapi suaraku lenyap di antara suara air yang menghantam tanah.Aku hanya berdiri di sana, membiarkan hujan membasahi wajahku, dan mencampur air mata yang entah sejak kapan mulai jatuh.Saat Aruna menghilang di balik kabut tipis taman Château Clairvoix, aku akhirnya berbalik pergi, melangkah pelan menuju kastil yang sekarang terasa lebih sunyi dari sebelumnya.Malam itu tidak ada yang makan malam bersama. Elodie mengetuk pintu kamarku beberapa kali, menanyakan apakah aku baik-baik saja, tapi aku hanya menjawab singkat, "Aku ingin sendiri."Malam pun berlalu tanpa suara hanya diisi oleh detak jarum jam dan suara hujan yang masih turun tanpa henti di luar jendela.***Keesokan paginya aku baru saja selesai menyisir rambut ketika terdengar ketukan pelan di pintu. Suara itu suara yang aku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments