All Chapters of Mencuri Calon Suami Adikku: Chapter 21 - Chapter 30

Suri menyeret kursi terberat yang ada di kamarnya sampai ke belakang pintu, lalu memakainya untuk mengganjal handle agar tidak bisa diturunkan. Itu adalah satu-satunya cara ia bisa mengunci pintu kamarnya.Dulu pintu itu normal, tapi setelah Suri memakainya untuk melarikan diri—Suri lari dan mengunci pintu saat Mark berusaha mencambuknya, mereka membongkar slot penguncinya, agar Suri tidak bisa lagi bersembunyi di dalam kamar.Pintu kamar Suri bisa ditutup, tapi siapa saja bisa masuk tanpa permisi. Maka Suri memakai kursi itu kalau memerlukan privasi lebih—saat tidak ingin Luna masuk ke kamarnya dengan tiba-tiba.Suri membongkar laci yang ada di samping ranjang, membongkar semua isinya—tumpukan pakaian dalam, sampai terlihat dasar dari kayu. Tapi Suri masih meraih, karena dasar dari kayu itu masih bisa diangkat. “Halo… lama tidak bertemu.” Suri tersenyum dan meraih ponsel yang ada di sana. Ada beberapa benda lagi yang ia sembunyikan disana—benda-benda yang terlarang untuk dimilikinya

“A—aku tt–tidak akan men—dekati kacang.” Suri berusaha meyakinkan dengan alasan kalau dirinya juga akan mati kalau mendekati apapun mengandung kacang.Suri perlu memakai masker berlembar-lembar saat mengoleskan minyak almond itu, dan selalu membungkus botol minyak itu dengan plastik berlapis—agar tidak tumpah, selama berada di dalam kopernya.Kesulitan yang terbayar karena rencananya berhasil, tapi ada orang tajam lain yang rupanya curiga—Lottie memang lebih tajam dari Luna maupun Mark sekalipun.“Aku ingatkan kalau kau bisa hidup sampai hari ini adalah karena kebaikanku. Jangan macam-macam,” desis Lottie sambil meletakkan cangkir, dan mulai mengunyah coklat truffle yang menjadi pilihan cemilan teman tehnya hari ini.Wajahnya sangat tenang, bahkan terlihat anggun saat mengancam.“Ak–ku mengerti.” Suri mengangguk lalu meninggalkannya. Lottie bisa curiga, tapi tidak punya bukti untuk menuduh langsung. Bekas gatal di tangan Suri tidak cukup untuk menjadi bukti, karena memang mudah sekali

Suri terpaksa harus menabrak rutinitas yang telah dibangunnya selama beberapa minggu kemarin karena harus bertanya hal penting—ia mengirim pesan pada Leland sebelum pukul lima. Kalau tidak sangat penting untuk rencana yang cukup besar, Suri tidak akan melakukannya.[Hai, kau akan datang jam berapa? Luna sudah akan berangkat. Kau tidak akan bisa bertemu dengannya]Suri sampai membaca ulang pesan itu sebelum mengirim karena benar-benar ingin mengesankan kalau pesan itu untuk kepentingan Luna, alih-alih mencari info tentang jam kedatangan Leland dengan detail.“Kau yang bermasalah!” desis Suri, kesal. Kerepotan itu bersumber dari Leland sebenarnya.Kalau Leland normal saja dan menyebut kedatangannya kepada Luna seperti biasa, tentu kerepotan bertanya itu tidak diperlukan. Suri akan tahu persis jam berapa Leland datang karena Luna pasti sudah mengumumkannya pada seluruh penghuni rumah. Tapi saat jam keberangkatan mereka hanya tersisa setengah jam; dan Luna hanya sibuk menyiapkan koper, i

“Tidak bisa seperti itu Luna.” Lottie yang baru keluar langsung ikut menyela, dengan lembut.“Tapi, Mom… ini…”“Aku sudah sengatur penerbangan juga acara di Paris. Kita tidak bisa memundurkan apapun.” Lottie sudah membuat janji dengan butik maksudnya.“Anda benar.” Leland tersenyum dan membungkuk sekilas kepada Lottie sebagai sapaan. Lega mendapat bantuan tanpa harus berusaha.“Yang penting kita sudah bertemu dan aku tahu kau baik-baik saja.” Leland kembali menatap Luna. “Oke..” Luna juga tersenyum puas, karena baru saja mendengar Leland ingin memperdulikan keadaannya.“Kau masuklah. Bereskan barang-barang Luna.” Lottie menyuruh Suri masuk dengan lembut, saat melihat mata Leland beberapa kali melirik ke arahnya.Suri kali ini tidak berani melawan. Perintah Lottie mungkin lembut tapi kalau tidak dituruti akibatnya lebih mengerikan.“Saya belum pernah melihatnya sebelum ini.” Leland berkomentar sambil menatap punggung Suri yang berjalan dengan kepala menunduk memasuki rumah.“Ah… dia sa

Suri nyaris saja mendesah—dan itu hanya dari sentuhan tangan Leland.“Does it hurt?” (Apakah sakit?)Pertanyaan bodoh—karena tentu saja sakit, dan Suri bahkan sudah hampir lupa apa yang membuat Leland menanyakannya. Suri lupa kalau pipi yang disentuh Leland itu baru saja ditampar oleh Luna tidak sampai setengah jam lalu.Suri mengangguk pelan, tampak muram, tapi sebenarnya sedang mengumpulkan nalarnya lagi. “A–akan hilang. Ti–tidak akan lama. Biasanya bb--begitu.”Suri ingin mengeluhkan kalau tamparan itu adalah hal normal yang biasa terjadi, bahkan bisa lebih sering dari makan.“Kau punya obat atau apa untuk itu? Memarnya terlihat.” Alasan Leland menyentuhnya karena memang bekas tamparan itu terlihat sangat merah.Suri mengangguk, lalu membuka laci di sebelah ranjang, mengambil tube salep pereda inflamasi yang memang selalu disediakan. Quinn tidak pelit memberinya obat, bahkan kualitas obat yang mereka berikan selalu yang terbaik—jauh lebih baik dari makanan. Mereka ingin Suri hidup,