Keluar dari aula pesta, aku membawa Ryan menyusuri kawasan pertokoan dan membelikannya es krim.Sambil menikmati es krimnya, Ryan pun berhenti menangis. Aku mengusap kepalanya, rambutnya berwarna cokelat, persis seperti Benedict.“Sayang, bagaimana kalau ibu membawamu keluar negeri?”Ryan mendongak, menatapku dan bertanya pelan, “Bagaimana dengan ayah?”Ternyata memang masih anak-anak, begitu cepat sudah melupakannya. Aku dengan lembut menyeka sisa es krim di sudut bibirnya sambil berkata, “Ayah akan tetap tinggal di sini menjadi bos besar mafia. Ingat, mulai sekarang kamu juga harus memanggilnya bos besar, dia bukan ayahmu lagi.”Ryan menunduk, air mata kembali membasahi matanya. Aku bisa merasakan ketidakrelaannya.Siapapun pasti sulit menerima kenyataan ayahnya sendiri tak menginginkannya lagi. Saat aku masih berpikir apakah harus memohon pada Benedict untuk tetap membiarkan Ryan bersamaku, Ryan sudah menggenggam tanganku dengan tatapan tegar dan berkata, “Ibu, aku ikut denganmu.
Read more