Share

Bab 3

Author: Vero Margaretha
Keluar dari aula pesta, aku membawa Ryan menyusuri kawasan pertokoan dan membelikannya es krim.

Sambil menikmati es krimnya, Ryan pun berhenti menangis. Aku mengusap kepalanya, rambutnya berwarna cokelat, persis seperti Benedict.

“Sayang, bagaimana kalau ibu membawamu keluar negeri?”

Ryan mendongak, menatapku dan bertanya pelan,

“Bagaimana dengan ayah?”

Ternyata memang masih anak-anak, begitu cepat sudah melupakannya. Aku dengan lembut menyeka sisa es krim di sudut bibirnya sambil berkata,

“Ayah akan tetap tinggal di sini menjadi bos besar mafia. Ingat, mulai sekarang kamu juga harus memanggilnya bos besar, dia bukan ayahmu lagi.”

Ryan menunduk, air mata kembali membasahi matanya. Aku bisa merasakan ketidakrelaannya.

Siapapun pasti sulit menerima kenyataan ayahnya sendiri tak menginginkannya lagi. Saat aku masih berpikir apakah harus memohon pada Benedict untuk tetap membiarkan Ryan bersamaku, Ryan sudah menggenggam tanganku dengan tatapan tegar dan berkata,

“Ibu, aku ikut denganmu. Tapi, aku mau merayakan ulang tahunku sekali lagi bersama ayah, boleh?”

Aku tak tega mematahkan hatinya. Aku pun memeluknya erat dan mengangguk.

“Boleh.”

Tanggal 23 desember adalah hari ulang tahun Ryan.

Dua hari sebelumnya, aku sudah mengingatkan Benedict. Aku bilang dia tak perlu menyiapkan apapun, hanya perlu pulang dan menemani Ryan.

Meski hubunganku dengan Benedict sebagai suami istri sudah berakhir, aku tetap ingin Ryan bahagia.

Di hari ulang tahunnya, Ryan bangun lebih pagi dari biasanya dan memakai setelan kecilnya, lalu berdiri di tepi jendela menatap ke arah gerbang.

“Ibu, ayah bakal datang merayakan ulang tahunku, ‘kan?”

Tanya Ryan dengan sedikit gugup.

“Tentu saja.”

Aku merapikan kerah bajunya, meski hatiku sama tegangnya dengan dia. Aku sudah mengirim lima pesan mengingatkan Benedict, tapi belum ada balasan.

Kue krim di meja sudah mulai meleleh. Ryan menunduk, membuka bungkus lilin, lalu menancapkannya satu per satu ke atas kue. Totalnya enam batang.

“Ayah nggak datang, ‘kan?”

Beberapa saat terdiam, Ryan seakan mengerti dan bergumam sendiri. Melihat ekspresiku yang penuh rasa bersalah, dia malah mencoba menghiburku,

“Nggak apa-apa, aku juga senang ada ibu yang merayakan ulang tahunku. Bos besar pasti sibuk sekali. Kita jangan mengganggunya.”

Itu pertama kalinya Ryan memanggil Benedict dengan sebutan bos besar. Begitu hormat, tapi juga terasa jauh.

Seolah dalam sekejap, dia menjadi dewasa dan menerima kenyataan bahwa dirinya tidak disukai ayahnya. Tapi, matanya yang memerah tetap mengungkapkan kesedihannya.

Bagaimanapun juga, dia masih anak berusia enam tahun.

Melihat anakku menahan perasaan dan berusaha terlihat kuat, amarahku langsung menyala, membakar dadaku sampai terasa sesak.

Aku mengambil ponsel dan hendak menelepon Benedict, ingin meminta penjelasan.

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk.

Isi Pesan dari Benedict, [Datang ke rumah tua Keluarga Liander.]

Aku menunjukkan ponsel itu pada Ryan.

“Lihat, ayah masih ingat ulang tahunmu.”

Ryan tersenyum ceria dan langsung menarik tanganku untuk pergi.

Sepanjang jalan, dia terus membicarakan kira-kira kejutan apa yang akan disiapkan ayah. Dia berkali-kali merapikan bajunya sambil berkata,

“Ayah adalah bos besar mafia terhebat di Wilayah Noesa dan aku anaknya. Aku nggak boleh mempermalukan ayah.”

Tak lama kemudian, mobil tiba di rumah tua. Tapi, senyumanku langsung membeku.

Di depan mataku terbentang karpet merah dan bunga mawar dari gerbang sampai ke dalam rumah.

Ini jelas bukan dekorasi pesta ulang tahun anak-anak.

Ryan tentu tidak menyadarinya. Dia membuka pintu dengan gembira dan berlari masuk.

Aku langsung mengejarnya dan jantungku berdetak kencang, berharap ini bukan seperti yang kubayangkan.

Ada menara sampanye setinggi belasan tingkat dan kue krim tiga tingkat di halaman pesta. Ryan melihat Benedict berdiri di samping kue dan matanya langsung bersinar.

“Ayah!”

Ryan berlari dengan penuh semangat dan masuk ke pelukan Benedict. Tapi, Benedict malah tampak heran, menepis Ryan dan bertanya,

“Kok kalian ke sini?”

Hatiku seolah terjatuh.

“Bukannya hari ini pesta pertunangan bos besar dan Diana? Kudengar Keluarga Liander dan Lowi hadir semuanya. Kok tiba-tiba muncul anak sebesar ini? Bukannya ini mempermalukan reputasi dua keluarga?”

Bisik-bisik orang di sekitar langsung menyelimuti kami. Wajah Benedict memuram, lalu dia memundurkan dua langkah dan menatap Ryan dengan tegas.

“Kamu panggil aku apa?”

Ryan terdiam, takut dengan nada Benedict yang penuh tekanan. Air matanya sudah menggenang, tapi tak berani dijatuhkan. Benedict pernah mengajarinya, seorang lelaki di dunia mafia tidak boleh menangis.

Beberapa saat kemudian, dengan suara bergetar, Ryan berkata,

“Bos besar.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meninggalkan Bos Mafia Bersama Anakku   Bab 8

    Di hadapan tatapan terkejut Benedict, aku melanjutkan, “Benedict, kamu membuatku merasa muak.”Benedict yang malu sekaligus marah, langsung melangkah mendekat. Tapi, kakakku langsung mendorongnya hingga terhuyung beberapa langkah. Benedict berteriak, “Aku bahkan sudah minta maaf! Apa lagi yang kamu mau?!”“Kamu nggak seperti ini dulu… padahal kamu….”Dia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi aku tahu maksudnya.Aku berjalan mendekat. Melihat aku semakin dekat, muncul senyuman tipis di wajah Benedict. Namun, aku langsung menamparnya.Melihat ekspresinya yang tak percaya, aku malah tersenyum.“Kamu kira hanya dengan minta maaf, aku akan memaafkanmu dan ikut pulang bersamamu?”“Aku memang sangat mencintaimu dulu, sampai rela pergi keluar negeri demi dirimu dan melahirkan anakmu. Bertahan dari penghinaan keluargamu terhadapku, bahkan menahan sakit hati melihatmu berkali-kali masuk ke kamar Diana.”“Tapi Benedict, kamu harus tahu… cinta itu bisa habis. Kamu terus melukaiku, tapi masih berha

  • Meninggalkan Bos Mafia Bersama Anakku   Bab 7

    Lingkungan yang familiar membuat aku dan anakku jauh lebih rileks.Sepanjang jalan, ada beberapa orang yang mengenal kami. Mereka semua menyapaku dengan senyuman ramah. Di mata mereka, aku adalah putri bungsu Keluarga Marilin yang paling disayang, bukan tunangan Benedict.Mobil kakak sudah terparkir di depan sejak tadi. Dia bilang akan langsung membawa kami pulang ke rumah, karena keluarga sudah menyiapkan jamuan makan malam.Begitu mendengar kata jamuan, Ryan langsung sedikit tegang dan bersembunyi di pelukanku. Aku menepuk pelan punggungnya untuk menenangkan. Aku tahu apa yang dia takuti.Dulu, setiap jamuan makan di Keluarga Liander, mereka selalu bersikap keras pada kami berdua. Ryan berbuat salah sedikit saja, bahkan sekadar pisaunya tak sengaja menyentuh piring saat memotong steak dan mengeluarkan suara, dirinya sudah dimarahi panjang lebar.Sementara aku harus berdiri di samping para pelayan, menunggu mereka selesai makan, barulah aku bisa ke dapur untuk makan sendiri.Mengingat

  • Meninggalkan Bos Mafia Bersama Anakku   Bab 6

    Bersandar di sandaran kursi, Benedict membuka pesan-pesan aku dan dia.Setengah tahun belakangan, percakapan kami bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan aku hanya mengirimkan selamat pagi, selamat malam atau jangan lupa istirahat.Benedict jarang membalas. Kalaupun membalas, biasanya dia hanya membalas satu kata singkat, [Iya.]Sejak Benedict sering masuk ke kamar Diana, pesan di antara kami semakin jarang.Bahkan sebulan terakhir, aku tak lagi mengucapkan selamat pagi padanya.Benedict terus menggulir layar ponsel. Tiba-tiba, keningnya berkerut dan tubuhnya menegak. Dia melihat pesan-pesan terbaru, hanya beberapa hari yang lalu.Pesan itu adalah permintaanku yang menyuruhnya pulang menghadiri pesta ulang tahun Ryan.Waktu itu dia sibuk mengurus acara pertunangannya dengan Diana, sampai benar-benar lupa bahwa hari itu hari ulang tahun anaknya sendiri.Dia mengira kedatangan kami yang mendadak waktu itu hanya untuk mempermalukannya dan bayangan Ryan yang berlutut memanggilnya bos besar k

  • Meninggalkan Bos Mafia Bersama Anakku   Bab 5

    [Kalau memang ini pilihanmu, aku akan mengabulkannya untukmu. Aku dan Ryan akan pergi. Semoga kamu bisa bahagia.]Di saat yang sama, Benedict yang tengah mengenakan setelan pengantin sambil menunggu first look merasakan ponselnya bergetar. Entah kenapa, hatinya juga bergetar aneh.Saat melihat pesan di layar, dia langsung melempar buket bunga yang tadinya mau diberikan pada Diana dan berlari keluar.Begitu tirai terbuka, Diana melangkah keluar dengan gaun pengantin khususnya. Dia membayangkan tatapan Benedict saat melihatnya, tapi yang dia dapat hanyalah panggung kosong.Benedict langsung melompat ke sebuah mobil sport, melaju menuju bandara.Sambil terus menginjak pedal gas dan menyalip mobil demi mobil yang menghalangi. Dia menekan nomor teleponku berulang kali.Suara operator di ponselnya membuatnya semakin gelisah, tangannya sampai tak lepas dari klakson.“Kenapa banyak sekali orangnya?!”Di percobaan kelima nyaris menabrak pejalan kaki, akhirnya Benedict memukul setir dengan kasar

  • Meninggalkan Bos Mafia Bersama Anakku   Bab 4

    Mendengar panggilan Ryan, raut wajah Benedict sedikit melunak dan bisik-bisik di sekitar pun mereda.Ryan menatap kue besar di sampingnya, lalu berkata, “Bos besar, ini pesta ulang tahun yang disiapkan untukku? Bolehkah aku memotong kue bersamamu?”Ryan sudah lama menantikan acara ulang tahun hari ini. Dalam hatinya, asalkan bisa bersama Benedict, meski tak lagi memanggilnya ayah pun tak masalah.Namun tiba-tiba, seorang wanita bergaun merah dengan dandanan mencolok melangkah ke samping Benedict. Dia melingkarkan lengannya di lengan pria itu, sambil berkata, “Nggak boleh, ya.”“Sayang, ini pesta pertunangan tertutup, sepertinya orang luar nggak diundang, ‘kan?”Dia sama sekali tak melihat Ryan dan hanya bicara pada Benedict.Aku langsung paham. Semua ini adalah rencana Diana. Dia yang mengirim pesan, memancing kami datang ke sini. Hanya untuk mempermalukan kami di depan umum dan memaksa Benedict mengakui bahwa kami hanyalah orang luar.Bukan hanya Diana yang menatap Benedict, aku pu

  • Meninggalkan Bos Mafia Bersama Anakku   Bab 3

    Keluar dari aula pesta, aku membawa Ryan menyusuri kawasan pertokoan dan membelikannya es krim.Sambil menikmati es krimnya, Ryan pun berhenti menangis. Aku mengusap kepalanya, rambutnya berwarna cokelat, persis seperti Benedict.“Sayang, bagaimana kalau ibu membawamu keluar negeri?”Ryan mendongak, menatapku dan bertanya pelan, “Bagaimana dengan ayah?”Ternyata memang masih anak-anak, begitu cepat sudah melupakannya. Aku dengan lembut menyeka sisa es krim di sudut bibirnya sambil berkata, “Ayah akan tetap tinggal di sini menjadi bos besar mafia. Ingat, mulai sekarang kamu juga harus memanggilnya bos besar, dia bukan ayahmu lagi.”Ryan menunduk, air mata kembali membasahi matanya. Aku bisa merasakan ketidakrelaannya.Siapapun pasti sulit menerima kenyataan ayahnya sendiri tak menginginkannya lagi. Saat aku masih berpikir apakah harus memohon pada Benedict untuk tetap membiarkan Ryan bersamaku, Ryan sudah menggenggam tanganku dengan tatapan tegar dan berkata, “Ibu, aku ikut denganmu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status