Ruang makan keluarga itu begitu mewah. Meja panjang berlapis taplak putih, lampu gantung kristal memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Hidangan beraneka rupa tersaji rapi—sup hangat, ayam panggang, salad segar, dan wangi nasi gurih yang mengepul. Suasana seharusnya nyaman, penuh kebersamaan. Namun bagi Celina, duduk di kursi di samping Rian, justru terasa seperti duduk di kursi pesakitan. Di seberangnya, Bram duduk dengan sikap tenang, sesekali menyesap anggur merah dalam gelasnya. Pandangannya tampak biasa bagi orang lain, tapi bagi Celina, tatapan itu menekan, menusuk, dan menyiksa. Celina ikut tersenyum, walau hatinya tercekat. Kata-kata sederhana itu justru menambah luka. Kalau saja mereka tahu… kalau saja Rian tahu… Bram meletakkan gelasnya, suaranya berat dan tegas. “Pernikahan itu bukan sekadar cinta, tapi tanggung jawab. Celina, apakah kamu benar-benar siap mendampingi Rian? Dunia bisnis keras, dan anakku ini butuh istri yang kuat.” Pertanyaan itu menampar Celin
Last Updated : 2025-09-05 Read more