Semua Bab PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI PERDANA MENTERI: Bab 21 - Bab 30

Hari setelah kejadian mengerikan itu berubah menjadi lebih damai, Ayahnya beberapa kali kembali ke Kediaman hanya untuk kembali lagi ke Istana karena urusan mendesak yang tiada hentinya. Terutama karena barusan saja ada sebuah bencana banjir di Kota Jiangzhou sehingga mengharuskan Ayahnya untuk pergi sendiri ke sana. Qing Lan mendengar bahwa banjir yang melanda Kota Jiangzhou sudah terjadi sekitar satu minggu lalu tetapi berusaha untuk ditutupi oleh pemerintah setempat dan ditangani secara asal asalan. Sekarang, karena kondisi lingkungan yang tidak baik telah menyebabkan kondisi warga di Jiangzhou menjadi parah dan wabah menyebar dengan cepat. Hal ini pada akhirnya tidak bisa disembunyikan lagi , terutama ketika ada seorang sarjana Jiangzhou yang melaporkan hal ini melalui Akademi Kekaisaran dan memohon bantuan dari Kaisar. Kaisar langsung merasa marah dengan kejadian ini tetapi masalah hukuman masih harus dipinggirkan terlebih dahulu karena hal yang paling penting adalah mengurus

Perasaan dingin yang asing merayapi punggungnya tetapi pada saat yang sama, perasaan antusias terasa meluap dari dalam hatinya. Langkahnya tiba tiba terhenti kala melihat pria tua itu tiba tiba membuka matanya dan menatap lurus padanya, Qing Lan tiba tiba mundur beberapa langkah dan ketakutan memenuhi hatinya. Tatapan yang dingin dan tajam tampak seperti yang diberikan oleh orang yang sudah mati, tatapan yang putus asa dan tidak tersentuh oleh kefanaan membuat Qing Lan merasa sangat takut. “Maaf telah mengganggu Tuan, aku akan segera pergi. “ Ucap Qing Lan dengan buru buru. Qing Lan berbalik sementara pria tua itu berdiri dengan tenang lalu berkata, “Tunggu dulu! Karena sudah bertemu maka berarti berjodoh, biarkan aku meramal untuk Nona. “ Balas pria tua itu. Entah sihir apa yang digunakannya, Qing Lan menuruti pria tua itu dan berbalik lalu menatap pria tua itu dengan tatapan bingung. “Ulurkan tangan Nona dan aku akan melihat garis tangan Nona. “Ucap Pria tua itu. Qing Lan men

Seorang pria muda lainnya mendekati Wen Xing lalu menunduk untuk memberi hormat kepada Wen Xing, pada saat yang sama melirik kaki Qing Lan yang berdiri di belakang Wen Xing. “Jenderal… ini.. “Pemuda itu tampaknya adalah bawahan Wen Xing dan ingin menyampaikan informasi. “Katakan saja! “ Perintah Wen Xing dengan acuh tak acuh. “Baik, di jarak sepuluh kilometer dikatakan bahwa rombongan Adipati Li datang kemari untuk berdoa juga. Apakah kita harus menghindar atau tetap di sini? “ Tanya pemuda itu dengan ragu ragu. Sementara Qing Lan yang mendengar nama ini tanpa ragu ragu langsung menggigil, ribuan ingatan buruk menerpa otaknya seperti gelombang lautan. Perasaan takut langsung memenuhi jiwanya dan rasa sakit yang dingin menusuk tulangnya dengan tajam. Qing Lan tanpa sadar meremas pakaiannya sendiri, dia berpikir bahwa dirinya sudah cukup tenang untuk menghadapi Li Xuan di kehidupan ini. Ternyata… mendengar namanya saja sudah berhasil membuat Qing Lan merasa ketakutan.“Kenapa harus

Qing Lan juga menyadari keresahan yang dirasakan oleh Neneknya ini dan merasa bahwa keberuntungan berpihak pada dirinya, jika tidak maka neneknya tidak akan merasakan keraguan pada Li Xuan. Sudah di bilang bahwa di dunia ini, satu satunya hal yang paling dipedulikan oleh neneknya bahkan melebihi nyawanya sendiri adalah harga diri dan martabat kediaman perdana menteri yang diperoleh dengan susah payah oleh mendiang kakeknya. Sekarang, Li Xuan datang dan mengacaukan semuanya, bahkan tidak repot repot untuk menerapkan sopan santun dasar. Maka biarkan saja bagaimana Nyonya Besar berpendapat terhadap hal ini. “Qing Lan mengucapkan selamat tinggal kepada Adipati Li. “ Ucap Qing Lan dengan sopan lalu melihat punggung Li Xuan menjauh. Nyonya Besar masih berdiri di sana dengan tatapan rumit, entah apa yang sedang dipikirkan oleh Nyonya Besar pada saat ini. “Nenek… apakah nenek baik baik saja? “Tanya Qing Lan berpura pura khawatir. “Nenek baik baik saja… hanya saja sikap tadi benar benar

“Waktu makan untuk Nyonya Besar dan Nona Sulung sudah habis, sudah waktunya bagi kalian untuk melanjutkan aktivitas lain. “Ucap biksu yang membimbing mereka. Dengan begitu makanan mereka diambil dan dibersihkan, sisa makanan yang tidak habis, tidak di buang secara percuma melainkan diberikan kepada hewan hewan yang dipelihara oleh Kuil tersebut seperti anjing terlantar dan hewan lainnya. Kegiatan mereka selanjutnya adalah menyalin kitab kebajikan, Qing Lan dengan anggun duduk di sana lalu menulis dengan tenang tanpa adanya gangguan dari urusan fana lainnya. Selain Nyonya Besar dan Qing Lan, ada juga beberapa biksu muda yang belajar dengan serius dengan duduk di meja kayu yang sudah usang. Nyonya Besar duduk di seberang Qing Lan sementara di tengah tengah mereka ada sebuah jalan tempat kepala biarawan untuk memantau hasil pekerjaan mereka. Berbeda dengan Nyonya Besar yang setiap tahun datang kemari tetapi tampaknya masih belum kunjung terbiasa bahkan beberapa kali masih merasa tid