Semua Bab Waktu adalah Maut: Bab 11 - Bab 20

Arya menemukan Adrian di atap gedung, dia sedang duduk sendirian sambil merokok.Di kakinya berserakan puntung rokok yang tak terhitung jumlahnya. Asap mengepul di sekeliling, membuat bayangan tubuhnya tampak samar seperti seseorang yang siap terbang menjauh dari dunia ini.Arya mengerutkan keningnya, lalu berjalan mendekat dan bertanya, "Kapan sebenarnya kamu mau menikahi Celine? Kabar sudah tersebar, tapi kamu sama sekali nggak menunjukkan tindakan. Apa kamu masih berniat menunda?"Adrian menyipitkan mata, wajahnya tetap dingin, tetapi ada jejak kebingungan di balik matanya.Dia terdiam cukup lama, kemudian menjawab dengan suara serak, "Nanti saja.""Nanti?" seru Arya. Dia berkata dengan wajah muram, "Kamu biarkan Charin pergi, aku nggak berkata apa-apa. Tapi satu-satunya harapan Mira adalah melihatmu berumah tangga dengan bahagia. Kalau kamu masih memikirkan wanita itu, Mira nggak akan bisa pergi dengan tenang. Aku pun nggak akan setuju."Adrian mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ma

Adrian termenung terlalu lama. Saat dia sadar kembali, pasangan muda tadi sudah lama menghilang dari pandangan.Sosok gadis yang barusan memenuhi pikirannya pun perlahan menghilang. Dia menunduk, lalu tertawa.Dia berpikir, mengapa gadis yang dulu ingin dia lindungi, kini berubah menjadi begitu kejam?Wajah Adrian berubah muram. Dia melangkah kembali menuju kantor. Tepat pada saat itu, ponselnya tiba-tiba berdering."Apa ini Pak Adrian? Ada sebuah paket yang harus kamu terima langsung," ucap pria di telepon.Alamat pengiriman tertuju ke rumah keluarga besar. Adrian tidak pernah memesan apa-apa. Meskipun begitu, dia tetap memutuskan untuk pulang dan memeriksanya.Adrian terkejut melihat pengiriman kali ini tampak sangat formal. Dia melihat seorang pria yang membawa baki berdiri di belakang. Di depannya, ada seorang pria berambut putih dengan setelan rapi. Begitu melihat Adrian, pria berambut putih itu segera menghampirinya."Kamu Pak Adrian?" tanya pria tua itu.Adrian mengangguk. Pria

Ponsel itu dibawa ke tempat reparasi. Selama beberapa hari menunggu, tubuh Adrian menjadi makin kurus.Dia masih tetap berangkat kerja seperti biasa, tetap menyelesaikan urusan perusahaan dengan tertib dan profesional, tetapi dia makin pendiam. Tio yang sering bertemu dengannya adalah orang pertama yang menyadari perubahan itu.Di matanya, Adrian seperti kehilangan jiwa. Hanya tersisa raga kosong yang berjalan tanpa arah.Suatu hari, waktu melihat Adrian menatap ke satu tempat dan termenung, Tio akhirnya tidak tahan lagi untuk bertanya, "Pak Adrian, apa belakangan ini kamu sedang ada masalah?"Adrian menatapnya dengan tajam, lalu bertanya, "Apa belakangan ini kamu nggak ada kerjaan?"Tio langsung diam, tidak berani bicara lagi. Namun, dia diam-diam bergumam dalam hati.Apa mungkin Pak Adrian bertengkar dengan Bu Celine?Adrian akhirnya menerima telepon dari bawahan yang memberitahunya bahwa ponsel itu sudah selesai diperbaiki.Meskipun banyak fiturnya yang sudah tidak berfungsi lagi,

Saat itu juga, wajah Adrian berubah menjadi pucat pasi dan seluruh darahnya seolah sudah tersedot keluar. Tubuhnya goyah dan nyaris tidak terkendali."Adrian, kamu sangat membencinya, tapi masih nggak bisa melupakannya? Kamu memang munafik!""Bukannya kamu bekerja sama denganku untuk membuatnya pergi? Sekarang setelah dia pergi, kenapa kamu masih berpura-pura seolah kamu menyesal!"Suara Celine makin melengking dan langsung menarik perhatian suasana bar yang riuh."Diam!"Dengan suara yang keras, Adrian langsung membalikkan meja. Karena terkejut, Celine segera mundur selangkah dengan wajahnya yang pucat pasi.Saat itu, Adrian seperti binatang buas yang terperangkap. Kedua matanya merah, seolah-olah dia hendak merobek tenggorokan siapa pun orang yang ada di depannya.Celine yang terlambat menyadari rasa takut di sekujur tubuhnya, mulai terhuyung mundur beberapa langkah, lalu berbalik dan berlari keluar dari bar.Dahi Adrian mulai berdenyut, kepalanya terasa seperti ditusuk pisau tajam.

Arya merasa bahwa Adrian sudah tidak bisa diselamatkan lagi.Dia menatap Adrian dengan semburat rasa kecewa di matanya. Kemudian, dia berkata dengan suara serak, "Adrian, sikapmu ini nggak masuk akal."Adrian terbaring di tanah dengan tatapan kosong. Semburat cahaya di atas kepalanya membuat kepalanya pusing."Apa kamu rela menyerahkan seluruh Grup Wiratama demi Charin?"Adrian menyahut dengan suara rendah dan serak, "Itu hal yang pantas kuterima. Aku juga punya saham milik Kakak. Aku akan menyerahkannya padamu, termasuk sahamku sendiri. Anggap saja ini sebagai bagian dari penebusan dosaku.""Memangnya ini saja bisa menebus dosamu?" sahut Arya dengan ekspresi nyalang. "Kamu nggak layak jadi adiknya Mira. Kamu sudah mengecewakannya. Cepat pergi! Pergi sana!"Kata-kata terakhir Arya, pada akhirnya dipenuhi dengan teriakan histeris.Adrian berdiri dengan tubuh terhuyung, lalu dia mendorong pintu dengan keras hingga terbuka dan berjalan keluar.Setelah pergi, Adrian bisa menerima apa pun.