Pieter menatap Cempaka seperti seseorang yang baru saja diseret ke tepi jurang yang sudah lama ia hindari. Napasnya berat, hampir menyakitkan, sementara tatapan Cempaka begitu tenang… namun menggetarkan. Ia ingin mendekat. Tuhan, ia ingin sekali mendekat. Namun justru itu yang membuat Pieter menahan diri. Ia menelan ludah, lalu bersuara pelan—lebih pelan dari bisikan angin yang menyelinap lewat jendela. “Cempaka… tolong jawab aku dengan jujur. Bukan karena kasihan. Bukan karena kau merasa… kau harus.” Cempaka tidak menunduk. Tidak mundur. Perempuan itu hanya meletakkan kedua tangannya di samping tubuh, seakan mencabut tirai terakhir antara mereka. “Aku tidak pernah kasihan padamu, Pieter,” jawabnya lirih. “Dan aku tidak melakukan ini karena harus. Aku... melakukannya karena ingin.” Pieter memejam mata sejenak. Ada sesuatu yang pecah di dadanya—entah kelegaan, entah ketakutan lain yang lebih dalam.Pria berambut pirang itu membuka mata kembali. “Kalau aku mendekat,” suaranya ser
Last Updated : 2025-11-29 Read more