Semua Bab Kembar Dua: Daddy, Berhenti Mengganggu Mommy!: Bab 41 - Bab 50

Saat Kate tenggelam dalam pekerjaannya, denting suara lift menarik perhatian. Kepalanya terangkat. Namun kedua alisnya bertaut di tengah tepat saat seseorang keluar dari pintu persegi tersebut.Matt, gagah dan tegap seperti biasa, melangkah keluar dari lift. Kate mengingat jadwal Nick hari ini, dan Matt sama sekali tidak ada dalam jadwal pertemuan bersama sang atasan. Kate berdiri handak menyapa sekaligus bertanya, namun sosok yang muncul di belakangnya membuat Kate tertegun.Seorang wanita.Tentu saja.Kate mendengkus kecil.Tidak heran.Setelah aktivitas panas mereka di sofa, bukan berarti Matt benar-benar miliknya. Kate tersentak oleh pemikirannya sendiri. Apa yang barus aja dia pikirkan?Kate berdiri tegak di tempatnya kala Matt dan seorang wanita, tidak bukan wanita, dia masih gadis. Wajah polos tanpa riasan bisa ia kenali dari jarak dekat. Masih gadis dan mungkin baru berusia antara delapan atau sembilan belas tahun.Kate menatap Matt dengan mata membeliak. Bisa-bisanya Matt den

Senyum manis milik Angel yang hanya ia bayangkan dalam kepalanya beberapa menit yang lalu, kini tertampang nyata di depannya.Matt yakin betul ia pernah berikrar bahwa dirinya sendiri ia tak akan pernah jatuh hati pada siapapun sejak terakhir kali dirinya dikecewakan.Belajar dari pengalaman, perasaan seperti itu hanya akan membuat dirinya menjadi seorang pengecut dan dungu.Namun kenyataan berkata lain. Perasaan itu kembali datang, jauh lebih kuat dibanding saat ia merasakannya saat masih remaja. Dan yang lebih parah, bukan hanya pada satu orang, tapi dua sekaligus.Hari ini Matt baru pulang dari luar kota setelah melakukan perjalanan bisnis selama lima hari. Bukan apartemen ataupun kantor yang menjadi tujuan utamanya, melainkan tempat penitipan anak. Menuntaskan rasa rindu yang menumpuk di dadanya pada dua bocah itu."Hai," sapa Matt pada kedua anak kembar yang bermain rumput di depan taman penitipan anak."Hai, om es klim." Meskipun dipanggil dengan panggilan asing itu, Matt tetap m

"Kau marah?” tanya Matt perlahan, berdiri di dapur Kate. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara ketel yang berbunyi.Kate tidak menoleh. Ia sibuk mematikan kompor. Mengangkat ketel dan menuangkan air panas ke dalam dua gelas kopi.“Marah untuk apa?” balasnya datar.“Karena aku tidak menghubungimu selama lima hari ini… mungkin.” Tebakan Matt terdengar hati-hati, namun justru membuat Kate mendengkus keras.“Siapa aku sehingga harus marah gara-gara hal itu?” Nada Kate ringan, tetapi terlalu tajam untuk disebut santai.Dan Matt tahu.Ia tahu persis itu adalah Kate yang marah.Lima hari lalu, Matt menyeretnya ke kantor Nick untuk makan siang—membuat Kate cemberut sepanjang jalan, tapi tetap mengikutinya.Mereka makan, berbicara seadanya… lalu berpisah.Setelah itu, Matt menghilang.Tak muncul.Tak menghubungi.Seolah makan siang itu hanya sekadar angin lewat.Kate mengangkat wajah, menatap Matt tajam.“Kau sudah selesai urusanmu di luar kota. Bagus. Kenapa kau datang kemari?”Matt menelan lu

Dari dapur sempit itu, senyum kecil terbit di wajah Kate saat ia mendengar celotehan dan tawa riuh yang pecah dari ruang tengah.Lampu rumah memantulkan cahaya hangat, menciptakan suasana tenang setelah hujan sore yang baru reda. Di dapur yang tak begitu luas, Kate berdiri di depan kompor, aroma mentega dan daging panggang memenuhi udara.“No, Uncle, No, stop!” suara Angel melengking, disusul tawa ngakak Angelo yang membuat suasana rumah makin riuh.Lalu terdengar suara pria dewasa mengaung pura-pura galak, “Kalian pikir bisa kabur dari monster lapar, hah?”Alan baru sampai beberapa jam lalu. Muncul tiba-tiba di depan pintu, dengan ransel dipunggung, wajah lelah tapi tersenyum lega.“Besok ulang tahun mereka. Bagaimana mungkin aku tak pulang, Kate,” katanya saat Kate bertanya heran karena setahunya, Alan sangat sibuk.Sekarang, Kate memindahkan potongan daging ke piring, menaruhnya hati-hati seolah tiap gerakannya bisa menutupi debar halus di dadanya. Kate menoleh, mendengar suara la

Di dalam ruang kerja, yang jaraknya berkilo-kilo meter dari apartemen tua Kate, rahang Matt tampak mengeras. Satu pesan yang dikirim Kate beberapa menit lalu masih membuatnya kesal. “Jangan ke sini dulu, Alan pulang.” Matt mengernyit, menahan rasa frustrasinya. “Memang kenapa jika laki-laki itu pulang? Dan apa? Pulang?” gumamnya sambil menghembuskan napas berat, sadar bahwa satu kalimat sederhana itu mengandung makna lebih dari yang ia ingin akui. Ada rasa cemburu yang tak ingin ia akui, campur aduk dengan kekhawatiran, tentang pria itu, tentang Kate, dan tentang posisi dirinya di tengah kehidupan mereka yang kini mulai kompleks. Ketukan di pintu membuatnya semakin menggeram. Pintu terbuka, dan Jeremy masuk dengan langkah cepat tapi tanpa menyadari ketegangan yang sedang menyelimuti bosnya. “Sebaiknya kita turun ke bawah, Pak. Rapat sebentar lagi dimulai,” kata Jeremy, nada suaranya sopan seperri biasa, dan ia tidak tahu bahwa Matt sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.