All Chapters of Kembar Dua: Daddy, Berhenti Mengganggu Mommy!: Chapter 71 - Chapter 80

Kate terkejut oleh ciuman Matt yang tanpa aba-aba. Pria itu tidak memberi jeda bagi otaknya untuk memproses apa pun, hanya rasa hangat bibirnya yang menekan lembut namun tegas.Bukan jenis ciuman yang kasar. Tidak terburu-buru. Hanya sebuah sentuhan tegas, cukup dalam untuk membuat napas Kate tercekat, cukup lembut untuk membuat seluruh pikirannya terhenti total.Jari-jari Matt di punggungnya bergerak perlahan, seolah memastikan bahwa Kate benar-benar ada di sana. Sentuhan yang tidak memaksa, tapi cukup membuatnya kehilangan napas. Kate membeku setengah detik sebelum tubuhnya, tanpa sadar, mendekat pada sumber kehangatan itu.Seolah seseorang menekan tombol pause dalam diri Kate. Waktu tidak bergerak.Hanya bibir Matt yang menyentuh miliknya, hanya itu yang ada, hanya itu yang penting.Dunia menyempit menjadi satu titik, tangan Matt di lengannya, jarak yang sudah tidak ada lagi di antara mereka, dan bibir pria itu yang membawa semua ketegangan sejak awal meledak dalam satu momen singk

"Pagi-pagi sekali ke sini?” tanya Kate ketika mereka memasuki ruang tengah.Aroma pancake, telur, dan roti panggang yang memenuhi rumah membuat Matt memejamkan mata sejenak, seolah menikmati kesempatan itu sepenuhnya. “Ingin ikut mengantar si kembar,” jawabnya santai. “Dan aku belum sarapan.”Kate menoleh, menatap Matt sejenak. “Apa di rumahmu tidak ada makanan?” tanyanya heran, meski nada suaranya terdengar lebih seperti gumaman.Matt hanya mengedikkan bahu lebarnya, santai seperti biasa. “Aku belum sempat pulang,” jawabnya jujur, seolah itu hal paling wajar dilakukan seseorang di pagi-pagi begini.Kate sempat membuka mulut, tapi tidak ada pertanyaan lain yang keluar. Ia tatap Matt, setelan pakaiannya rapi seolah baru keluar dari tempat laundry, tetapi sisa kelelahan terlihat di wajahnya. Kate mengangguk kecil. Karena entah kenapa, menyadari itu membuat desir aneh di dadanya.Apakah kasihan karena pria itu belum sarapan?Entahlah.“Kau memang sengaja, 'kan?” Kate akhirnya bertanya, s

Apartemen kecil itu mulai tenang menjelang malam. Si kembar sudah selesai mandi dan kini terlelap di dalam kamar kecil setelah drama biskuit yang membuat seluruh ruang tamu seperti arena tawar-menawar antara dua manusia mungil dan dua orang dewasa yang hampir menyerah.Matt yang mengajukan diri untuk mengantar anak-anak tidur. Setelah yakin kedua anak itu terlelap, Matt keluar dari kamar itu pelan-pelan, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ia bahkan menahan napas selama dua detik karena ia tahu, salah satu dari si kembar bisa bangun hanya karena sentuhan angin.Begitu pintu tertutup rapat, ia mengembuskan napas lega dan melangkah hendak menghampiri Kate yang masih sibuk di dapur..Satu langkah pelan.Dua langkah.Langkah ketiga... “KRAK!”Kakinya menginjak sesuatu yang keras dan kecil. Belum sempat ia bereaksi, mainan plastik itu bergulir di bawah telapak kakinya.“BRUK!”Matt terpeleset secara dramatis dan jatuh terduduk dengan suara cukup keras. Ia meringis

Hari ini Matt menandai sesuatu dalam kepalanya, semacam hari bersejarah versi pribadinya. Bukan karena hal besar, bukan karena pencapaian apa pun. Tapi karena ia merasa beruntung, sangat beruntung. Untuk pertama kalinya sejak ia mengenal Jello, ia melihat anak itu tertawa lepas.Angelo, si bocah laki-laki yang selama ini ia ketahui begitu hemat senyum. Anak yang bahkan ketika diminta pun sulit sekali menunjukkan giginya, selalu menunduk, selalu menjaga jarak.Tapi sekarang? Tanpa iming-iming mainan mahal, tanpa bujukan berlebihan, tawa itu muncul begitu saja. Bulat, jujur, dan menawan.“Apa kau senang, jagoan?”Angelo memgangguk, senyumnya masih bertahan di bibirnya.Senyum lebar nan tulus itu. Ya Tuhan, rasanya seperti cahaya kecil yang menembus ruangan steril rumah sakit. Senyum yang membuat dada Matt menghangat tanpa permisi.Meskipun tawa dan senyum itu terbit karena carousel yang tadi dinaikinya, Matt tetap merasa menang.Tak sia-sia ia melunturkan gengsi untuk menaiki kuda yang

Matt menatap hangat kedua bocah yang tertidur lelap setelah seharian penuh bermain. Tubuh kecil mereka bergerak naik-turun perlahan, napasnya teratur, wajahnya damai. Pemandangan yang selalu membuat dadanya terasa penuh.Pandangannya kemudian terlepas dari kedua bocah itu, kini menelusuri setiap sudut ruangan kecil itu ruang yang bahkan tidak layak disebut kamar, setidanya bagi Matt kasur berukuran 160x200 itu sangat kecil, dia menyadari itu sejak awal melihatnya.Lalu sebuah lemari mungil dengan permukaan yang mulai kusam, serta jendela kecil yang membiarkan cahaya sore masuk setengah hati. Matt sudah terlalu sering keluar masuk tempat ini entah hanya untuk sekadar menemani si kembar atau mengantar mereka tidur menggantikan Kate yang sibuk di dapur seperti sekarang.Dan setiap kali ia berdiri menatap ruangan tersebut seperti ini, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya.Ruangan ini, terlalu kecil. Terlalu sempit bahkan bagi satu orang saja, apalagi untuk tiga manusia yang teru