Semua Bab Pelayan Cantik Sang Presdir: Bab 111 - Bab 120

"Ben, kenapa Max tidak menjemputku langsung?" Sudah setengah perjalanan Serena memendam tanya. Ke mana Ben, supir pribadi Max ini akan membawanya? Pagi tadi Max sempat berucap akan membawa Serena ke suatu tempat. Lalu ketika pria itu menyuruhnya siap-siap melalui pesan, Serena segera bergegas. Namun yang dia temui di depan mansion bukan Max, melainkan supir pria itu. "Tuan masih ada sedikit urusan. Anda diminta menunggunya di tempatnya langsung," sahut supir berwajah kaku itu. Meski kaku masih ada sisa gurat tampan pada garis wajahnya. Beberapa kali Lety menyebut supir duda itu dengan wajah malu-malu. Entah ada hubungan apa mereka berdua. Dari arahnya, Serena tahu jalan yang Ben ambil. Ini jalan menuju kantor perusahaan. Namun sebelum sampai ke gedung jangkung milik Evans Group, Ben membelokkan kemudi ke arah lain. Tatap Serena langsung melihat tower kembar di depannya. Itu adalah tower yang sama dengan lokasi penthouse yang Max beri padanya waktu itu. "Kita mau ke sini, Ben?" tan

Serena mengerjap. Tidak menyangka dengan jawaban pria itu. Tapi anehnya dia mendadak ragu. Padahal pertanyaan itu yang sering dia lontarkan ketika sedang ditelan gairah. Mendapati wajah serius Max, Serena mendadak takut. Dan tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Namun sepertinya dia tidak bisa melarikan diri. Terlebih ketika Max membalik posisi menjadi di atasnya. Serena sukses terperangkap dalam rengkuhan hangat pria itu. Max menindihnya, dan keduanya kembali berciuman hebat. Suhu ruangan dalam sekejap meningkat ketika kulit keduanya saling bergesekan. Air conditoner yang menyala pada suhu rendah seperti tidak berfungsi. Hawa panas merayap siap membakar keduanya yang makin intens saling menghimpit. Napas Serena memburu saat Max melepas pagutannya. Pria itu menanggalkan kemeja dengan gerakan tak sabar, dan melemparnya sembarang sebelum menunduk lagi. Serena refleks mendongak saat Max menyasar lehernya. Dia meremas bahu pria itu untuk setiap gigitan yang Max layangkan. Dari leh

"Uhmm." Kelopak mata Serena masih tertutup. Badannya ingin istirahat lebih lama lagi. Tapi di bagian bawah perut seperti ada yang mengusiknya. Awalnya dia tidak begitu terganggu, tapi lama-lama sesuatu yang bergerak di bawah sana membuatnya melenguh dan merintih. Perlahan kelopak matanya terbuka, masih terasa berat. Samar-samar dia melihat kepala seseorang berada di antara kedua pahanya yang terbuka. Itu kepala Max Evans. Dia tampak sedang mencumbu milik Serena di bawah sana. "M-Max, apa yang kamu lakukan?" tanya Serena, tapi secara bersamaan sekujur tubuhnya menggelinjang meningkahi sensasi sapuan lidah Max Evans pada area intinya. Dia mendesah hebat. Pria itu ternyata belum cukup puas semalam. Inti Serena bahkan masih terasa sakit akibat ulah lelaki itu, tapi pagi ini kepalanya sudah dibuat pusing. Entah ini pukul berapa yang jelas langit kota belum begitu terang. Matahari belum terbit, tapi Max sudah membuat Serena kembali mendesah. Serena melebarkan paha ketika lidah Max

Pukul setengah lima sore ketika Serena baru selesai zoom dengan profésornya. Dia bergegas menuju rak buku setelah itu karena sebentar lagi perpustakaan nasional akan segera tutup. Sudah ada beberapa buku yang dia dapat atas bantuan pustakawan. Dia perlu beberapa lagi untuk keperluan jurnalnya. "Maaf, Kak. Sebentar lagi perpus akan tutup. Dimohon lebih cepat ya," teguran salah seorang petugas perpus mengalihkan perhatian Serena. "Oh, iya. Sebentar lagi.""Mungkin kakaknya besok bisa ke sini lagi."Kepala Serena berputar ke sekeliling. Sudah sepi. Satu per satu pengunjung sudah pulang. Sepertinya memang cuma dia yang masih bertahan. "Uhm, oke," sahut Serena tersenyum. Dia memutuskan kembali ke meja untuk membereskan barang bawaannya. Dia membawa buku yang dipinjam kepada petugas untuk diinput. Bertepatan dengan itu ponselnya bergetar. Nama Max terpampang di layarnya. Agak susah payah karena saking banyaknya bawaan, Serena menjepit ponselnya di antara bahu dan telinga. "Ya, Max?"

Saat dua tangan pria itu mendekat Serena menjerit sejadinya-jadinya. Dia bergerak mundur dengan ketakutan luar biasa, tapi dua bajiangan itu malah tertawa seolah menikmati ketakutannya. Di tengah rasa panik dan takut, kepala Serena tidak berhenti berpikir. Dia mencari akal untuk melarikan diri lagi. Namun seperti buntu, dia tidak bisa berpikir apa pun. Ruang pengap dan gelap ini benar-benar mengisolasinya. Serena kembali menjerit ketika salah satu lelaki itu berhasil merobek lengan bajunya. "Pergi kalian! Pergi!" teriaknya. Ujung matanya mulai basah. Dalam keadaan seperti ini dia berharap pada siapa? Dia hanya terus memohon dalam hati agar Tuhan mau memberinya pertolongan. Di ambang rasa putus asa, Serena dikejutkan dengan pintu yang didobrak dari luar. Dia mengangkat wajah dan melihat beberapa orang merangsek masuk. Serena pikir mereka teman-teman dua orang yang akan merundungnya itu, tapi... "Siapa kalian?!" teriak pria bertato di depan Serena yang sudah bertelanjang dada. Tanp