Semua Bab Pelayan Cantik Sang Presdir: Bab 101 - Bab 110

"Semua orang tidak menginginkan aku. Ibu meninggalkan aku sendiri dengan seorang ayah yang setiap hari bisanya cuma memaki dan memukul, bahkan dia menjualku. Dan... Tante Helen kalau dia benar-benar ibu kandungku, kenapa dia tidak mencariku? Dia, dia juga tidak menginginkan aku kan?" Napas Serena tersengal-sengal di tengah tangisannya. "Kamu juga dulu menolakku, membiarkan aku pergi tanpa mengatakan apa pun. Semua, semuanya tidak ada yang menginginkanku." Melihat Serena kembali menangis hebat, hati Max ikut merasa perih. Nyeri wanita itu seperti bisa dia rasakan. Dia makin mengeratkan pelukannya. Rasa bersalahnya kembali menggunung. Baru Max sadari ternyata hidup Serena tidak mudah selama ini. Wanita itu menahan perihnya sendirian. Entah berapa banyak luka yang sudah dia terima, termasuk luka yang Max torehkan juga. Max merasa begitu jahat. "Aku, aku sudah jadi anak baik. Aku selalu berusaha membuat mereka bangga dengan selalu menjadi juara kelas. Tapi ternyata itu belum cukup me

Semua pelayan di mansion sudah berbaris rapi menyambut kedatangan Max dan Serena. Di tengah rasa kantuk mereka terpaksa membuka mata lebar-lebar demi sang tuan. Meski Max tidak meminta, tapi kepala pelayan berinisiatif melakukan itu. Ben membukakan pintu mobil untuk Max dengan segera begitu berhenti di depan teras mansion. Dia lantas berdiri menunggu tuannya dan Serena keluar. "Serena sayang, bangun. Kita sudah sampai," ucap Max lembut sembari mengusap pelan pipi wanita itu. Akan tetapi, Serena cuma menggumam tanpa mau membuka mata. Max tidak lagi mendesak wanita itu bangun, dan memutuskan membopong Serena. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Ben dengan sigap bertanya melihat Max sedang berusaha mengangkat tubuh Serena. Tapi supir pribadi itu segera mundur dengan raut keki ketika Max malah memelototinya. "Kasih aku jalan," perintah Max sebelum keluar. Dia membungkuk dan menarik tubuh Serena dengan pelan sebelum membopongnya keluar dari mobil. Jessica segera menghampiri mereka. "S

Serena berjalan ke dapur dengan langkah cepat sembari mencepol rambutnya asal-asalan. Suasana dapur saat ini tampak sibuk. Tiga orang pelayan ada di sana, termasuk Jessica. Lety yang sejak tadi mengekori Serena langsung menyerahkan apron pada wanita itu. "Serena, kamu mau apa?" tanya Jessica saat melihat perempuan itu malah sibuk menyingsingkan lengan baju. "Bantu bibi masak." Wanita paruh baya itu menghela napas. Sebelum pergi, Max berpesan padanya untuk melayani Serena dan tidak boleh membiarkannya terlalu lelah. "Tidak perlu, Nak. Kami di sini sudah cukup untuk sekedar menyiapkan makan siang. Sebaiknya kamu duduk saja. Atau mau ngemil buah dulu?" Jessica mengedikkan dagu ke arah Lety. "Lety, kupas melon dan apel cepat.""Siap, Bi." Dengan patuh Lety menuruti perintah Jessica. Serena yang sudah siap tempur dengan apron bingung sendiri karena tidak boleh menyentuh apa pun di dapur. "Bi, aku sudah janji sama Tuan Max mau layanin dia, termasuk masakin dia selama di sini." "Tapi

Desakan Jeff membuat Max terpaksa menemui pria itu. Tapi tentu saja tanpa sepengetahuan Serena. Jeff datang langsung ke kantornya bersama Helen. Calvin yang menyambut keduanya seperti sengaja berpenampilan lebih menarik dari biasanya. Jika biasanya pria itu menyisir rambutnya ke samping, sekarang dia menyisir rambutnya ke belakang dengan rapi. Kacamata bertengger di hidungnya yang lancip. Max bisa melihat wajah terkejut Helen ketika wanita itu bertemu Calvin. Tapi wanita itu dengan cepat bisa mengusai diri. Dia tersenyum sopan ketika Calvin menyambut kedatangannya. "Apa kabar, Helen?" Meski memasang senyum, tetap saja wanita itu tampak canggung. "Baik," sahut Helen singkat. Tatap biru Calvin bertemu dengan mata cokelat Helen. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Memangkas kecanggungan, Calvin segera mempersilakan mereka duduk. Sikap Calvin tak lepas dari pengawasan Max. Pria itu tersenyum miring melihat sikap asistennya yang seperti orang bodoh. "Maaf, kalau ked

"Sayang, jangan sembunyi lagi. Di sini tidak ada siapa-siapa." Kalimat Max membuat Serena menjauhkan wajah dari leher pria itu. Dia menoleh hati-hati, memperhatikan keadaan sekitar. Saat tidak menemukan siapa pun selain dirinya dan Max, Serena bernapas lega. "Kamu bikin aku malu," gerutunya dengan bibir maju. Kekehan Max membuatnya makin kesal. "Kenapa malu? Semua yang di sini tahu kalau kita bersama." Mata Serena melotot ketika tiba-tiba Max mencium bibirnya. Sekilas, tapi tetap saja ini tempat terbuka yang memungkinkan siapa pun bisa saja lewat. "Waktunya kita main air." Max berjalan mendekati kolam renang, lantas dia ancang-ancang melempar Serena ke dalam air, membuat wanita itu kontan panik. "Max, kamu mau apa?!" teriak Serena saat pria itu mengayunkan tubuhnya. "Mau main air." "Nggak begini juga!" Serena makin panik, dan terus berteriak. Namun Max malah tertawa melihat wajah ketakutan wanita itu. Menghitung mundur dari angka tiga, dan dengan diiringi teriakan Serena, Ma