Semua Bab Pelayan Cantik Sang Presdir: Bab 91 - Bab 100

Serena memperhatikan sosok wanita yang duduk di ujung perahu punt dengan posisi membelakangi dirinya. Matanya menyipit, sesekali menelengkan kepala. Wanita yang sedang dia awasi itu mengenakan smoke dress berwarna kuning gading bemotif bunga. Di kepalanya terdapat topi lebar. Ciri khas kebanyakan turis musim semi yang berkunjung di perguruan tinggi tua ini. "Tunggu sampai dia turun dari sana." Serena menoleh pada pria yang berdiri di sebelahnya, yang juga ikut mengawasi wanita di atas perahu punt itu. Dia benar-benar penasaran sekarang. "Dia akan lama di sini?" "Sepertinya begitu. Pamerannya di Prancis sukses dengan gemilang. Dia mengambil jeda liburan sebelum produksi dimulai," terang Jeff sambil tersenyum. Jenis senyum yang terlihat bangga. "Dia seorang desainer?" "Hu-um, tepatnya desainer brand Leuziene sekaligus ownernya." Jeff menyebutkan sebuah brand mendunia yang terkenal dengan produk pakaian wanita itu. Serena tidak bisa menutupi rasa takjubnya seketika. Brand itu juga

Hari-hari Serena makin sibuk. Beberapa seminar perlu dia ikuti untuk menunjang penelitiannya. Bukan hanya itu, dia mulai ditargetkan untuk menerbitkan jurnalnya sebelum tahun kedua berakhir, dan diwajibkan mengisi kelas. Itu cukup menguras otak, energi, dan tenaganya. Sebenarnya Serena bisa lebih bersantai, tapi itu artinya dia akan menunda kelulusannya. Targetnya lulus di tahun ketiga atau maksimal awal tahun ke-empat harus tercapai. Dan kesibukan itu cukup mempengaruhi komunikasinya dengan Max Evans. Pria itu jadi sering terabaikan. Serena yang jarang mengecek ponsel, sering terlambat membalas pesan, atau kadang malah melewati panggilan telepon dari Max. Rutinitas itu terpangkas lantaran tubuh lelah Serena lebih banyak membutuhkan istirahat. Hingga puncaknya ketika kampus sedang disibukkan kegiatan akhir catur wulan, Serena malah tumbang. Dia dilarikan ke klinik fakultas saat tiba-tiba saja jatuh di depan ruang akademik. Yang mengakibat dirinya harus bedrest selama beberapa hari.

"Menikah itu janji suci. Janji setia sampai maut memisahkan." Serena meraih tangan Max yang sudah mau menyusup ke balik sweaternya. Menyatukan dengan tangannya, dan menyelipkan jari-jarinya di sana. "Bukan hanya janji antara kita, tapi juga dengan Tuhan. Jadi sebisa mungkin jangan kita ingkari. Kamu nggak berniat ninggalin aku kan?" "Justru aku ingin menikah denganmu supaya kamu tidak pergi ninggalin aku," sahut Max meremas jemari mereka yang saling bertautan. "Jadi kita ini sebenarnya sama-sama takut ditinggal?" "Sepertinya begitu. Jadi, ayo kita menikah saja." Di sini puncaknya. Saat pria itu mengajak menikah. Serena kembali menoleh dan mendongak. "Kamu lagi melamarku?" tanyanya dengan raut heran. Max mengajaknya menikah seperti mengajak pergi ke warung saja. Max terkekeh. Dia memang belum menyiapkan atau merencanakan apa pun. Tercetus begitu saja karena momennya begitu pas dengan apa yang mereka bahas. "Sebelum aku menyiapkan lamaran yang lebih baik, apa salahnya kamu iyain a

"Kamu yakin kita akan menginap di hotel yang sudah Helen booking?" tanya Max memastikan lagi. Dia sudah bersiap-siap memerintahkan sekretarisnya untuk membooking akomodasi secara daring selama di sana. "Ya, beberapa hari lalu Helen sudah menghubungiku. Dia sendiri yang akan menjemput kita di bandara."Max menyipitkan mata. Masih merasa janggal dengan kedekatan Serena dengan Helen yang menurutnya tiba-tiba. Apa mungkin ini hanya salah satu trik Jeff untuk memikat Serena? "Kamu yakin baru bertemu dengannya sekali?" tanya Max lagi. Terhitung ketiga kalinya dia menanyakan hal sama. "Iya, Sayang. Mau berapa kali kamu tanya, jawabanku tetap sama," sahut Serena, menggelengkan kepala pelan lalu kembali menekuri laptop di pangkuan. "Baru sekali bertemu tapi bisa langsung akrab." Jari tangan Serena menggantung di atas keyboard kala teringat sesuatu. Dia menoleh kepada Max yang duduk di sebelahnya. "Sejak kapan kamu mengenal Jeff?" Ujung mata Max melirik Serena. "Sejak dia masih suka ngo

Bukannya tidak senang berada di samping Serena, menemani wanita itu bertemu Helen dan melihat betapa peduli kakak perempuan Jeff itu pada gadisnya. Max hanya merasa ini terlalu janggal. Banyak pertanyaan yang belum Max temukan jawabannya. Mungkin dia perlu mengonfirmasi hal ini pada Jeffrey. Apa sebenarnya tujuan Helen mendekati Serena? Setiap interaksi dua wanita itu tidak lepas dari pengamatan Max. Dia terus mengawasi gestur dan mimik wajah Helen. Apa hanya perasaan Max, Helen memperlakukan Serena seperti seorang ibu yang memperlakukan anaknya. Bahkan wanita itu memberikan rancangan khususnya secara cuma-cuma pada Serena. Benar-benar aneh. Jeffrey sudah lebih dulu sampai di tempat jamuan makan ketika mereka tiba. Pria itu bersama seorang wanita dengan tulang pipi tinggi yang mengenalkan diri bernama Amara, asisten Helen. Lantas bersama seorang waiter mereka diantar ke room yang sudah Helen reservasi sebelumnya. "Jeff, kamu tidak datang ke fashion show?" tanya Helen membuka perc