Semua Bab Pelayan Cantik Sang Presdir: Bab 61 - Bab 70

Seperti dugaannya, tiga wanita penghuni paviliun hijau berang ketika Calvin mengantarkan surat pemutusan kontrak. Mereka tak terima diputus begitu saja. Meskipun ada kompensasi lumayan besar yang Max tawarkan, mereka menolaknya. Terlebih Irene dan Carol yang paling vokal di sini. Sementara Santy hanya diam. "Sudah jarang datang, sekarang mau mutusin kami begitu saja," sungut Irene. Bibir merah cabenya sampai meleyat-leyot kesal. "Kalian akan dapat kompensasi. Tidak diputusin begitu saja. Please, jangan bikin saya sulit. Ini perintah Tuan Max langsung."Irene melengos. Wajahnya yang cantik cemberut. Daripada kompensasi lebih baik dia mendapat jatah bulanan seperti biasa. "Sebenarnya, apa yang membuat Max memutuskan kami? Apa dia tidak pernah berpikir kalau ini tidak adil untuk kami?" tanya Carol yang jujur merasa rugi jika Max menendangnya. "Di bagian mana yang tidak adil? Bahkan kalian tidak melakukan apa-apa Tuan Max masih membiayai kehidupan hedon kalian." Calvin benar-benar tid

Suhu tidak sampai di bawah 7 derajat, tapi hawanya terasa dingin. Serena memasukkan dua tangan ke saku mantel ketika angin dingin berembus. Beruntung kakinya terbungkus boot tinggi, bukan heels sok cantik yang sering dia pakai di kantor Max. Hidup di wilayah Kerajaan Inggris ini Serena lebih sering mengenak sepatu yang membungkus seluruh kakinya. Karena bahkan di saat musim panas pun suhu rata-ratanya hanya mencapai 18 derajat. "Dreame comes true bukan ini?" celetuk Jeff saat mereka berdua menyusuri jalan lembab di sepanjang Sungai Cam. Hujan deras mengguyur semalam menyebabkan beberapa ruas jalan masih tampak basah. "Apanya?" sahut Serena terkekeh. Tangannya sesekali menyelipkan anak rambutnya yang beterbangan. Setelah menunjuk dirinya dan Serena, Jeff lantas menunjuk bangunan menjulang yang berdiri masih berdiri kokoh selama berabad-abad di belakangnya. Bangunan bersejarah dengan atap-atap meruncing itu menjadi latar belakang mereka di pagi ini. "Nostagia di dekat almamater terc

Di sinilah Max sekarang. Sebuah kota kecil di Britania Raya yang berada di sebelah barat Kota Cambridge, St. Neots. Saking bahagianya mendapat kabar keberadaan Serena, Max tidak mengecek lebih dulu sedang musim apa di sana. Hasilnya, begitu keluar dari Heathrow Airport, hujan mengguyur dengan deras. Namun dia memaksa untuk tetap pergi ke lokasi alamat yang informannya sampaikan. Butuh waktu sekitar dua jam dari bandara karena ada kecelakaan lalu lintas yang lumayan menghambat perjalanan. Max tidak mempersiapkan apa pun untuk kepergiannya kali ini. Yang dia ingat hanya paspor dan visa. Seperti tidak punya waktu dan ingin bergegas bertemu dengan Serena dia terbang begitu saja tanpa pendampingan siapa pun. Bahkan dia tidak membawa pakaian ganti. Hanya setelan jas yang melekat di tubuhnya saat ini dan hanya berbekal satu dompet di saku jasnya. Taksi membawanya melaju memasuki kawasan perumahan di sekitar Bishop Road. Kawasan yang didominasi rumah-rumah dengan dinding bata merah. St. Ne

Kamar Serena hangat. Tidak besar tapi Max merasa nyaman. Aroma ciri khas wanita itu bisa Max hidu. Mulai dari selimut dan bantal yang dia pakai. Semua wangi ini milik Serena. Mata abunya yang masih sayu menyapu sekitar ruangan yang masih bisa dijangkau. Ada meja belajar tepat di seberang tempat tidur. Meja belajar yang sepertinya memiliki aktivitas kesibukan padat. Terlihat dari buku dan kertas-kertas yang memenuhi lembaran papan kayu itu. Di sudut lain ada sebuah lemari polos pintu dua, dan tepat di samping lemari itu terdapat sofa panjang berwarna cokelat yang bisa menampung dua orang. Meski sempit, Serena bisa menatanya dengan baik. Hanya membayangkan aktivitas Serena di kamar ini saja sudah membuat sudut bibir Max naik. Tatapan pria itu beralih saat mendengar pintu kamar dibuka. Serena muncul lagi membawa sebuah nampan putih. Dia mengikuti pergerakan wanita itu menaruh nampan di nakas. Aroma khas sup ayam langsung bisa Max cium. "Bisa makan sendiri?" tanya Serena masih tanpa e

Serena berhenti di ujung tangga. Rencananya ke dapur untuk mengisi perut sepertinya harus ditunda. Karena lagi-lagi dia melihat Max ada di sana. Hari ini Serena akan mulai aktivitasnya lagi sebagai mahasiswi pascasarjana. Berangkat pagi ke kampus dan pulang sore, tapi lantaran di rumah ini ada penghuni baru tanpa diundang, mungkin dia akan berencana tinggal di kampus lebih lama lagi. "Selamat pagi, Honey." Sapaan Max saat pria itu melihatnya membuat dahi Serena mengernyit. Honey? Gebrakan apa lagi yang sedang pria itu lakukan setelah semalam bikin confess yang bagi Serena masih tidak masuk akal, konyol, dan sulit dipercaya? "Tadi ada tukang susu datang. Ini susunya sudah aku hangatkan. Berhubung aku tidak pandai masak, aku cuma buat roti selai. Ayo, sarapan dulu." Masih berdiri di ujung tangga, dahi Serena makin mengerut dalam. Pria itu bertingkah seolah dirinya pemilik rumah. Bahkan berani mengacak-acak dapur seenaknya. Serena ingin pergi begitu saja, ketika Max bersuara lagi.