Semua Bab Pelayan Cantik Sang Presdir: Bab 71 - Bab 80

Pagi ini Serena kembali dikejutkan dengan keberadaan Max di ruang makan. Pria itu duduk, mengembangkan senyum dan melambaikan tangan begitu melihat Serena muncul. Kejadian semalam ternyata tidak cukup membuatnya kapok. Alih-alih menghampiri, Serena bersikap tidak peduli dan lurus jalan menuju pintu keluar. "Serena, tunggu!" Mengambil sebuah tas kain yang sudah dia siapkan sebelumnya, Max mengejar langkah Serena. "Aku antar." Namun kaki Max ngerem mendadak kala Serena tiba-tiba berhenti lalu berbalik padanya. Wanita itu masih dengan tampang kecutnya melotot. "Nggak usah!" "Sekalian aku mau beli sesuatu," sahut Max ramah. Biarlah kali ini dia menjadi manusia tidak tahu malu. Hanya pada gadis itu tidak pada yang lain. Dengan tatapan menyelidik Serena berujar lagi. "Bukannya kamu bilang tidak punya uang?" "Sekarang punya!" Dengan bangga Max menunjukkan beberapa lembar uang. "Aku kemarin menjual setelan jas mahalku. Dan membeli beberapa pakaian murah." Alis Serena mengerut. Di

"Jadi kamu mencariku?" tanya Max tersenyum kecil. Tangis Serena sudah reda. Wanita itu juga sudah tampak lebih tenang. Hanya wajahnya yang memerah dan matanya yang sembab efek menangis seperti anak ayam kehilangan induknya. Bahkan saat ini Serena tidak berani menatap Max lantaran malu. Dia agak menyesal dengan tindakan impulsifnya ketika menemukan pria itu di rumah. Kenapa harus menangis? Kepala Serena mengangguk pelan. Saat ini dirinya masih meringkuk di pelukan pria itu. Namun kali ini keduanya sudah duduk di atas sofa. Wanita itu menenggelamkan wajah ke dada Max, tidak peduli kaus pria itu sudah basah karena air matanya. "Kamu mencemaskan aku?" Kembali Max memancing dengan pertanyaan yang sukses membuat Serena tambah malu . Apa pria itu tidak bisa diam saja? Dengan gemas, jari Serena mencubit keras perut pria itu. "Astaga, sakiiiit!" "Syukurin! Makanya diam," kecam wanita itu dengan suara sengau. Tapi Max malah terkekeh seolah ada yang lucu dari perkataannya. Serena akan mel

"Sepertinya kita masak terlalu banyak." Selain pizza dan pasta, Serena tergiur membuat garlic bread dan juga macaroni schotel. Dan sekarang semua menu itu tersaji penuh di meja makan yang luasnya tak seberapa itu. "Kalau Pauline di sini kita bisa makan rame-rame," kesah Serena menatap sedih makanan yang dia buat itu. "Benar-benar aneh, kenapa dia tiba-tiba menginap di College ya?" Max berdeham pelan. Wajahnya sedikit gugup, tapi dia tetap memasang senyum. "Mungkin dia memang benar-benar sibuk. Lebih baik kita jangan mengganggunya. Aku bisa kok menghabiskan ini semua. Kalau pun tidak habis ini masih bisa disimpan."Serena cuma bisa mengangguk. Raut sedihnya dalam sekejap berubah menjadi ceria ketika Max mulai memotong pizza dengan roller cutter. Wanita itu menerima dengan senang hati saat satu potong roti segitiga teracung ke depannya. Lelehan mozzarella dan aroma daging yang dipanggang bersama irisan bawang bombay begitu menggoda. Serena sengaja memberi ekstra keju agar lebih melty

Langit Cambridge mendung ketika Serena baru saja keluar dari perpustakaan untuk mencari referensi jurnal terkait penelitiannya. Menjauhi perpus, Serena memutar langkahnya menuju kantin Sidgwick Site. Kantin yang paling dekat dengan lokasi fakultasnya. Rencananya dia akan makan siang di sana sebelum kembali ke gedung pusat penelitian. Biasanya kantin di jam istirahat makan siang akan dipadati mahasiswa dan para staf universitas. Serena memilih sedikit telat agar bisa mendapat meja. Tapi belum sempat mencari meja seseorang yang sangat dia kenal melambaikan tangan. Dia Pauline, yang sudah satu minggu lebih tidak pulang ke rumah. Pauline tidak sendiri, seorang pria menemaninya. Serena langsung mendekat ketika wanita berambut pirang itu memberinya kode untuk bergabung bersama mereka. "Apa ini tidak masalah?" tanya Serena melirik pria di samping Pauline. Dia tidak ingin mengganggu kegiatan mereka. Itu aturan tidak tertulis di sini. Tidak boleh mengganggu pasangan yang sedang kasmaran. "

Alih-alih menjawab Serena terdiam. Awal-awal kemunculan pria itu dia memang menginginkan Max segera pergi. Beberapa bulan tanpa melihat pria itu cukup membuat hidup Serena tenang. Meski sesekali rasa rindu datang. Setidaknya dia masih bisa mengendalikan diri. Mentok-mentoknya juga paling air matanya meleleh, tapi tidak sederas saat Max menyakitinya.Tapi sekarang dia menyadari perasaannya mulai goyah lagi. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang selalu dia hindari sering bermunculan di benaknya. Haruskah Serena membuka hati kembali untuk pria itu? Apa keputusannya tepat seandainya dia memberi Max kesempatan? Tanpa sadar Serena meremas tangannya. Dia belum merespons apa pun, sementara pria itu seperti tengah menunggunya mengucapkan sesuatu. Serena menatap Max sekali lagi, mencoba mencari sesuatu di iris abunya. Iris abu itu tidak seterang biasanya. Seperti kehilangan harapan, tapi di saat yang sama Serena juga melihat ketulusan di sana. Serena makin resah. Logikanya menginginkan Max menja