Semua Bab Pelayan Cantik Sang Presdir: Bab 81 - Bab 90

Serena terkapar di atas sofa sesampainya di rumah. Dia dan Max baru saja pulang dari supermarket, membeli isi kulkas yang sudah kosong. Matanya terpejam, hanya berkeliling tempat sayur dan buah sudah selelah ini. Sangat berbeda dengan pria yang kini sedang sibuk di dapur itu. Seperti tidak punya rasa lelah. Sikap Max Evans selama di sini benar-benar berbeda dari yang sering Serena lihat. Siapa yang tahu kalau sebenarnya pria itu memiliki bakat memasak? Meski masih taraf menu sederhana. Yang Serena suka pria itu mau belajar, hanya untuk membuatnya senang. Belum lagi pekerjaan lain yang sama sekali tidak terpikirkan Serena bisa Max lakukan. Pria itu biasa duduk tenang, memerintah, marah karena hal sepele, seenaknya sendiri, dan suka mengatur. Tapi di sini, Serena seperti melihat Max dalam versi lain. Semua pekerjaan yang biasa pelayan lakukan, dia bisa kerjakan tanpa beban. "Mau makan apa hari ini, Honey?" tanya pria itu sembari sibuk mengeluarkan berbagai macam sayuran dari dalam

Makin lama sentuhan itu terasa makin intens. Max membuatnya kehilangan akal. Serena terus merintih, kadang mengerang meningkahi perbuatan lelaki itu. Dua kakinya menegang. Dua tangannya meremas kuat sprei di bawahnya. Bawah perutnya makin berdenyut kencang seperti ada sesuatu yang akan meledak di sana. "To-long, berhenti." Serena melempar kepala ke samping. Tangannya berpindah meremas rambut Max ketika merasakan sedikit lagi dirinya akan pecah. Mengabaikan permohonan Serena, Max kian mempercepat gerakan jarinya, menyentuh inti wanita itu yang sudah sangat basah. Sesekali dia menggeram dan dengan gemas memelintir puncak dada Serena yang kemerahan. Dia tahu Serena akan mendapat klimaksnya sebentar lagi. Max menyukai cara Serena mendesah, menyukai bagaimana wajah cantik itu memerah karena dirinya. Dia juga menyukai saat Serena tidak berdaya menahan hasratnya. "Aku akan berhenti sekarang," bisik Max seraya menyeringai kecil. Mendengar itu mata Serena yang terpejam kontan terbuka, sec

Terdengar mudah. Tapi Serena merasa berat menjawabnya. Jujur Serena lebih nyaman tinggal di sini, daripada di negara tempatnya dilahirkan. Tapi dia juga tidak mungkin melakukan hubungan jarak jauh terus dengan Max. Dia juga tidak mungkin membiarkan Max atau dirinya sendiri bolak-balik antara Cambridge dan negaranya. Itu membuang lumayan banyak uang dan tenaga. "Sebenarnya setelah penelitian selasai aku ditawari mengajar di sana," aku Serena akhirnya. Dia merasa tidak perlu menutupi semuanya dari Max. Meskipun tahu kabar ini bisa membuat mood pria itu buruk. "Kamu menerima tawaran itu?" tanya Max. Nadanya terdengar harap-harap cemas. Serena yakin pria itu akan kecewa jika dia menjawab bahwa dirinya sudah menerima tawaran itu sejak awal. "Masih aku pertimbangkan," sahut Serena tanpa berani menatap mata abu itu. Tapi dari ujung matanya dia bisa melihat Max bernapas lega. "Kalau kamu berencana mengajar, aku akan mengaturnya. Tapi tidak di sini. Kamu bisa mengajar di salah satu pergur

Serena menggenggam erat-erat tangan Max seolah tak ingin melepasnya. Baru kali ini dia merasa berat berpisah dengan lelaki itu. Dulu juga berat, tapi tekadnya pergi lebih kuat. Sementara sekarang perasaannya lain. Serena tahu Max memiliki rasa yang sama dengannya. Dan cinta keduanya sedang rimbun-rimbunnya. Di sisi lain Serena juga takut perasaan Max akan berubah lagi. Semalam pikiran buruk terus melintas hingga dia kesulitan tidur, bahkan ketika Max memeluknya matanya masih terjaga. Entah kapan dirinya tertidur, saat terbangun dia menyadari harus berpisah dari Max, lagi. "Serena, janji padaku kamu tidak akan menerima bantuan apa pun lagi dari Jeff," ucap Max ketika dirinya dalam perjalan ke Luton. Max memutuskan menggunakan jet pribadi melalui Luton Airport yang jaraknya tidak terlalu jauh dibandingkan London dari St. Neots. Serena yang ada di pelukannya mengangguk. "Kamu juga harus janji bersikap baik padanya." Permintaan yang sulit. Sudah lama sekali hubungan pertemanan m

Liburan akhir term musim semi Serena memutuskan kembali ke Cambridge, menyewa salah satu kamar di sebuah college yang jaraknya tidak jauh dari universitas, dan menolak flat yang Max belikan. Terlalu berlebihan menurut Serena. Dia tidak butuh tempat luas untuk dirinya seorang. Di College-nya saat ini dia hanya butuh jalan kaki sampai di Sidgwick Avenue. Dia juga mengambil pekerjaan freelance selama liburan untuk mengisi waktu. Yang paling dia tunggu-tunggu jelas komunikasinya dengan Max. Sudah menjadi agenda rutin hariannya. Meskipun kadang pesannya tidak bisa langsung dibalas mengingat perbedaan waktu yang lumayan panjang. Max akan selalu tercantum di jurnal hariannya. Beberapa mahasiswa memilih pulang ke kampung halaman saat musim liburan. Beberapa yang lain seperti dirinya tetap di Cambridge dan mencari pekerjaan paruh waktu untuk menghasilkan uang. "Pukul berapa sekarang di sana?" Serena tengah menikmati sore di The Backs—area taman di belakang perguruan tinggi yang berbatasan