Share

Sang Pendekar
Sang Pendekar
Penulis: CahyaGumilar79

1. Sebuah Kudeta

Di sebuah kerajaan besar terletak di sebelah selatan pegunungan Sanggabuana, terjadi sebuah konflik berkecamuk. Kala itu, istana kerajaan tersebut digemparkan dengan sebuah kudeta yang dilakukan oleh seorang petinggi istana terhadap raja yang berkuasa kala itu.

Senapati Rawinta sudah menghimpun kekuatan selama bertahun-tahun mempengaruhi para prajurit dan para petinggi istana untuk melakukan kudeta terhadap Prabu Sanjaya yang merupakan penguasa resmi kerajaan Kuta Tandingan.

Peristiwa tersebut, menjadi sebuah sejarah yang sangat kelam bagi rakyat di kerajaan tersebut. Sang Raja yang mereka kagumi yang terkenal dengan kebaikan dan kebijaksanaannya terhadap rakyat, harus tewas di tangan sang senapatinya sendiri yang sudah melakukan pengkhianatan.

"Tangkap Prabu Sanjaya dan seret keluar!" seru seorang pria berperawakan tinggi dan bertubuh kekar mengarah kepada para prajurit.

Pria tersebut adalah Sugriwa, seorang prajurit senior di kerajaan tersebut yang secara terang-terangan ikut membelot dan mengkhianati kepercayaan Prabu Sanjaya sebagai penguasa kerajaannya tersebut.

"Sugriwa!" teriak Senapati Rawinta.

"Iya, Gusti Senapati," sahut Sugriwa langsung melangkah menghampiri sang senapati.

"Cari Pangeran Erlangga. Bersama selir-selir sang raja!" titah Senapati Rawinta.

"Baik, Gusti Senapati," jawab Sugriwa bergegas melaksanakan tugas tersebut.

Hampir 70 persen Senapati Rawinta dan wadiya balad yang tunduk kepadanya sudah berhasil menguasai istana tersebut.

Kemudian, Senapati Rawinta memerintahkan beberapa prajurit yang memihak kepadanya agar segera membunuh semua prajurit yang tidak patuh dan masih setia terhadap raja.

"Kumpulkan mereka dan tebas batang leher mereka! Jika bersikeras tidak mau memihak kepada kita!" titah Senapati Rawinta.

Di halaman istana tampak seorang pria paruh baya dengan mengenakan jubah dan mahkota kebesaran sebagai seorang raja, berdiri dengan tubuh menempel ke sebuah batang kayu dengan terbelit ikatan tali yang melingkar di perutnya.

Tampak darah segar mengalir di keningnya hampir menutupi semua bagian wajah pria paruh baya itu. Tubuhnya tampak lemah, seakan-akan sendi-sendi dalam tubuhnya sudah rapuh akibat siksaan dari para prajuritnya sendiri yang sudah berkhianat.

"Ayahanda!" teriak seorang anak kecil duduk di atas batang pohon besar yang rimbun dengan dedaunan.

Anak kecil itu adalah Pangeran Erlangga, dia berhasil lolos dari kepungan para prajurit yang sudah berkhianat.

"Diam, Pangeran! Mereka akan menangkap kita kalau mengetahui keberadaan kita di sini," bisik Landuji mendekap erat tubuh sang pangeran. "Gusti prabu tidak akan bisa tertolong, Pangeran harus tabah dan kuat!" sambung Landuji menasihati.

"Lantas kalau kita diam, siapa yang akan menolong Ayahanda?"

"Aku harap, Pangeran turuti perkataanku! Jika Pangeran nekat turun, kelak yang akan membalaskan dendam ayahandamu siapa?" tutur sang prajurit setia itu, terus memberikan nasihat dan berusaha menguatkan Pangeran Erlangga.

Kekejaman itu, tidak berhenti sampai di situ saja. Senapati Rawinta mengeksekusi para selir sang raja yang sudah berhasil ditangkap, dan juga langsung menggantung sang ratu di halaman istana kerajaan tersebut, dengan disaksikan oleh Erlangga dan Landuji yang bersembunyi di balik batang pohon besar yang tumbuh di dekat tembok istana.

Terasa pilu, sedih, dan emosi. Perasaan itu terus berkecamuk dalam jiwa Erlangga kala itu. Ia tak kuasa melihat kekejaman dari Senapati Rawinta terhadap ibunya dan para selir ayahandanya itu.

"Kejam sekali, Paman Senapati Rawinta," desis Erlangga meluruskan pandangannya ke arah Senapati Rawinta.

"Harus kalian ketahui, mulai hari ini raja kalian adalah aku!" teriak Senapati Rawinta mendaulat dirinya menjadi seorang raja di hadapan para prajurit yang tunduk kepadanya.

"Aku percaya, kelak putraku akan membunuhmu dan akan membuatmu menderita, Senapati!" teriak Prabu Sanjaya masih dalam posisi tubuh terikat di sebatang kayu yang tertancap ke tanah.

Lemah dan tidak berdaya, untuk bergerak pun ia sangat kesulitan. Tali yang melingkar di perutnya terlalu kuat mengikat tubuhnya. Sehingga, sang raja sangat kesulitan untuk melepaskan diri.

Sebatang kayu itu, biasa dijadikan tiang khusus untuk mengeksekusi para pelanggar hukum di kerajaan itu.

"Ayahanda tidak boleh mati, Paman," kata Erlangga. "Aku harus turun untuk menyelamatkan ayahanda," sambungnya sambil berurai air mata.

"Pangeran masih kecil, Pangeran tidak akan sanggup melawan mereka. Aku harap Pangeran turuti apa kataku, kelak aku akan mengajarkan Pangeran ilmu kanuragan, agar Pangeran dapat melakukan balas dendam terhadap Senapati Rawinta dan para pengikutnya!"

Erlangga terdiam menyimak perkataan Landuji. Ia hanya menangis menyaksikan penderitaan yang dialami kedua orang tuanya. Tak hanya membunuh sang ratu saja, Senapati Rawinta pun akhirnya membunuh Prabu Sanjaya dengan cara sangat kejam, menggantungnya kemudian membakar tubuh Prabu Sanjaya dengan kobaran api.

Landuji terus mendekap tubuh sang pangeran. Di saat para pendukung Senapati Rawinta tengah merayakan kemenangan, Landuji memanfaatkan kelengahan mereka, perlahan ia turun dari pohon tersebut dengan menggendong tubuh sang pangeran yang kala itu masih berusia 7 tahun. Landuji langsung membawa lari Pangeran Erlangga.

"Kita tidak boleh lari, Paman. Kita harus menolong mereka yang masih hidup!" Erlangga berontak mencoba melepaskan diri dari dekapan sang pengawal setianya itu.

Namun, Landuji tidak mengindahkan teriakan Erlangga, ia terus berlari menuju ke tengah hutan mencari sebuah tempat untuk dijadikan perlindungan.

Singkat cerita ....

Landuji dan Erlangga sudah tinggal di sebuah gubuk di dekat lembah yang ada di tengah hutan. Setiap harinya, Landuji banyak mengajarkan ilmu bela diri kepada Erlangga. Ia berharap kelak Erlangga akan menjadi seorang pendekar yang tangguh yang dapat melawan kezaliman dan menumpas keangkaramurkaan.

"Paman sudah tua, Paman harap kamu kelak mendatangi sebuah padepokan untuk mengasah ilmu kanuraganmu agar lebih mumpuni lagi!" kata Landuji di sela perbincangannya dengan Erlangga.

"Maksud, Paman?" tanya Erlangga menatap wajah Landuji penuh rasa penasaran.

"Kamu temui Ki Bayu Seta di Padepokan Kumbang Hitam, dan bawa pedang ini sebagai senjata untuk berjaga diri. Ingat, bukan untuk membunuh tanpa sebab!"

Landuji menyerahkan sebilah pedang yang tersimpan dalam selongsongnya. Pedang tersebut ia dapatkan dari kamar Prabu Sanjaya ketika pemberontakan berkecamuk di istana, Landuji hanya bisa menyelamatkan Pangeran Erlangga dan pedang tersebut saja.

"Bukankah ini pedang ayahandaku?"

"Iya, Pangeran. Paman sengaja mengambilnya, karena menurut Paman ini adalah senjata penting untuk dirimu," jawab Landuji.

***

Beberapa bulan setelah itu, Landuji jatuh sakit. Semaksimal mungkin, Erlangga berusaha mengobati ayah angkatnya itu. Namun, Dewata berkata lain. Landuji sudah waktunya meninggalkan Erlangga untuk menghadap Dewata agung di alam Nirwana.

Ia mengembuskan napas terakhir dalam pangkuan Erlangga. Namun, sebelum ia meninggal. Landuji berpesan kepada Erlangga.

"Berikan kedamaian untuk rakyat, dan kelak kau akan menjadi raja seperti ayahandamu!" Demikianlah pesan terakhir Landuji untuk Erlangga.

Setelah kematian Landuji, Pangeran Erlangga mulai berkelana untuk mencari seorang guru yang linuih yang mempunyai kesaktian tinggi sesuai saran Mendiang Landuji.

Landuji semasa hidupnya pernah menyarankan kepada Pangeran Erlangga untuk mendatangi Padepokan Kumbang Hitam yang ada di sebuah bukit di bawah kaki Gunung Sanggabuana.

"Aku harus tiba di Padepokan Kumbang Hitam hari ini," desis Erlangga lirih, sembari mengangkat wajah ke arah puncak bukit tersebut.

Ia sangat berharap bisa sampai di atas bukit tersebut. Meski harus melewati jurang dan menaiki tebing yang sangat tinggi dan terdapat banyak rintangan yang akan menghadangnya.

"Untuk sampai ke Padepokan Kumbang Hitam, aku harus naik ke bukit itu," desisnya lagi meluruskan pandangan ke arah bukit yang ada di hadapannya.

Kemudian ia melangkahkan kedua kakinya menyusuri jalan setapak, dari bagian samping kiri dan kanan jalan tersebut banyak ditumbuhi tanaman liar yang tumbuh secara subur yang sebagian dahannya menjulur ke tengah jalan, sehingga sedikit menutupi jalanan tersebut.

Baru beberapa langkah saja, Erlangga sudah dikejutkan oleh teriakan seorang pria dari arah belakang.

"Tunggu, Anak muda!"

Erlangga menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah belakang. "Kau siapa, Ki Sanak?" tanya Erlangga.

Ia tampak penasaran terus menatap wajah seorang pendekar yang berdiri tegak sambil bertulak pinggang dengan gagahnya.

Pendekar tersebut tampak angkuh dan bersikap sombong di hadapan Erlangga.

"Ternyata Andika masih anak ingusan yang masih bau kencur!" hardik pendekar berjanggut tebal itu. "Seharusnya aku yang bertanya kepadamu," sambungnya membusungkan dada dan membuang ludah di hadapan Erlangga.

"Baiklah kalau itu keinginanmu, silakan!" Erlangga berusaha untuk mengalah dan tidak mau meladeni keangkuhan pendekar itu.

"Tujuanmu hendak ke mana? Kenapa kau berada di tempat ini?" tanya pendekar itu sembari berdiri tegak dengan sorot mata tajam memandang wajah Erlangga.

"Mohon maaf sebelumnya, Ki Sanak. Aku Erlangga, aku jauh dari alas Cidoro sengaja datang ke sini karena aku ingin berjumpa dengan Ki Bayu Seta," jawab Erlangga bersikap ramah dan sopan.

Erlangga tidak membalas semua keangkuhan yang ditunjukkan oleh pendekar tersebut, ia tetap bersikap ramah dan tetap menunjukkan sikap sebagaimana mestinya.

Pendekar itu tertawa lepas. Seakan-akan merasa lucu mendengar ucapan Erlangga. Namun, Erlangga tetap bersikap tenang dan tidak terpancing emosi.

Berkatalah pendekar itu dengan perkataan yang sedikit menyinggung perasaan Erlangga, "Andika tidak akan pernah bisa naik ke sana tanpa seizinku. Bertarunglah denganku!"

Namun, Erlangga tidak mengindahkan perkataan pendekar sombong tersebut, ia hanya diam dan tersenyum ramah. Namun hal itu, disalah artikan oleh pendekar itu. Ia beranggapan diamnya Erlangga itu sebagai tanda menyepelekannya, hingga amarahnya semakin memuncak dan langsung melakukan serangan terhadap Erlangga.

"Bedebah, kau sudah menyepelekan aku! Rasakan ini!" Pendekar itu mulai melancarkan pukulan ke arah wajah Erlangga.

Dengan sigap Erlangga dapat menghindari pukulan tersebut, sehingga tubuh pendekar sombong itu tersungkur akibat terbawa tenaganya sendiri, yang melakukan serangan tidak tepat mengenai sasaran.

"Aku harap Ki Sanak jangan melanjutkan pertarungan ini!" cegah Erlangga bersikap santai. "Kedatanganku ke sini bukan untuk mencari musuh," sambungnya menegaskan.

Namun, pendekar setengah tersebut tetap bersikap sombong dan terus melancarkan serangan kepada Erlangga. Hingga pada akhirnya Erlangga mulai terpancing dan langsung melakukan perlawanan.

Hanya dengan satu pukulan balasan dari Erlangga, pendekar sombong itu sudah terjatuh bermuntahkan darah.

"Maafkan aku, Ki Sanak!" ucap Erlangga melangkah ke arah pendekar tersebut, lalu membantunya untuk bangkit.

'Ternyata aku salah menduga, dia orang baik,' kata pendekar itu dalam hati. Ia tampak menyesali semua tindakannya terhadap Erlangga.

"Maafkan aku, Anak muda. Silakan lanjutkan perjalananmu!" ucapnya sambil meringis kesakitan.

"Tidak, Ki Sanak. Sebelum berangkat aku harus mengobati lukamu dulu!" jawab Erlangga.

Erlangga pamit kepada pendekar itu untuk mencari air dan dedaunan yang bisa dijadikan obat. "Ki Sanak tetap di sini. Aku mau mencari air dan obat-obatan!" kata Erlangga.

Erlangga melangkah menuju ke arah sumber air yang banyak ditumbuhi tanaman obat untuk mengobati luka dalam yang diderita oleh pendekar yang sudah berusaha mencelakainya.

Dengan sikap baik yang ditunjukkan oleh Erlangga, pendekar berjanggut tebal itu merasa takjub dan kagum terhadap Erlangga.

"Dari gaya bicara dan tutur sapanya, pemuda itu seperti berasal dari keluarga bangsawan?" desis pendekar itu bersandar di sebuah pohon besar.

Tidak lama kemudian, Erlangga sudah kembali dengan membawa air dan juga dedaunan yang hendak ia jadikan obat.

"Mohon maaf, Ki Sanak. Aku terlalu lama meninggalkanmu," kata Erlangga langsung duduk di samping pendekar tersebut.

Kemudian Erlangga memberikan air minum kepada pendekar tersebut, dan ia pun langsung mengobati luka memar yang di derita pendekar itu dengan menggunakan dedaunan yang sudah ia haluskan.

"Aku minta maaf karena sudah melukaimu, Ki Sanak," ucap Erlangga tampak menyesali perbuatannya yang sudah mendaratkan pukulan keras kepada pendekar itu.

Tidak ada tabib mana pun yang bisa mengobati luka dalam akibat pukulan tersebut, hanya pemilik pukulan itulah yang mampu mengobatinya. Sehingga menjadi alasan untuk Erlangga tidak meninggalkan pendekar tersebut dalam kondisi seperti itu.

Pendekar itu tersenyum dan bangkit, ia menatap tajam wajah Erlangga sembari mengulurkan tangannya.

"Namaku Anggadita," kata pendekar itu memperkenalkan diri kepada Erlangga.

Erlangga langsung meraih uluran tangan Anggadita. "Aku Erlangga."

Erlangga tampak semringah karena mempunyai kawan baru saat itu.

Ia berharap Anggadita tidak mengulangi perbuatan jahatnya kepada orang lain.

Kedua pendekar berbeda usia itu terus berbincang dan bercerita tentang niat dan maksud mereka berada di tempat tersebut, Anggadita pun bercerita kepada Erlangga bahwa dirinya sudah hampir 31 hari berusaha untuk mendatangi Padepokan Kumbang Hitam. Namun, usahanya selalu gagal karena dalam perjalanan selalu dihadang oleh sekelompok makhluk gaib penguasa alas tersebut. Hingga pada akhirnya ia menyerah dan merasa prustasi dan berusaha menghalangi setiap orang yang hendak mengunjungi Padepokan Kumbang Hitam.

"Hari ini aku tidak akan melanjutkan perjalananku," kata Erlangga lirih.

Anggadita bangkit sembari terus memegangi dadanya dan masih tampak meringis kesakitan.

"Kenapa?" tanya Anggadita meluruskan pandangan ke wajah Erlangga.

Komen (17)
goodnovel comment avatar
Akuna One
perasaan aku baca udah diperbaiki deh,
goodnovel comment avatar
Irma_Asma
novel bagus
goodnovel comment avatar
CahyaGumilar79
pewaris tahta kerajaan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status