Beranda / Fantasi / Sang Pendekar / 2. Sahabat Baru Erlangga

Share

2. Sahabat Baru Erlangga

Penulis: CahyaGumilar79
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-19 22:40:54

Setibanya di gubuk kecil yang berdiri kokoh di tengah belantara hutan, Anggadita mempersilakan Erlangga untuk masuk. Gubuk tersebut merupakan miliknya yang ia bangun sebagai tempat tinggal selama berada di hutan tersebut.

"Ini tempat tinggalmu, Ki?" tanya Erlangga sambil mengamati gubuk itu dengan penuh minat.

"Iya, Pendekar. Mari kita istirahat!" jawab Anggadita, mempersilakan Erlangga untuk duduk di sebuah bebalean yang terbuat dari bambu. Bebalean itu dibuat khusus oleh Anggadita sebagai tempat duduk di gubuknya.

Erlangga dan Anggadita langsung duduk di bebalean, menikmati suasana tenang di dalam gubuk. Erlangga kemudian mengarahkan pandangannya kepada Anggadita yang masih dalam keadaan lemah dan sedikit meringis menahan rasa sakit akibat luka terkena pukulan darinya. 

"Ki Sanak istirahat saja dulu!" kata Erlangga dengan nada yang penuh perhatian. "Aku pastikan esok pagi Ki Sanak sudah pulih, dan aku minta maaf karena sudah membuatmu terluka," sambungnya lirih, sambil memandang Anggadita dengan mata yang penuh permohonan maaf.

Anggadita tersenyum menatap wajah Erlangga, menunjukkan kepercayaan penuh terhadap kemampuan pengobatan yang dimiliki oleh Erlangga. "Aku percaya dengan ilmu pengobatan yang kau miliki," ujar Anggadita dengan suara yang lembut, membuat Erlangga merasa sedikit lebih tenang.

Setelah itu, Anggadita meminta Erlangga untuk memasak singkong yang sudah tersedia di gubuknya sebagai persiapan untuk makan mereka.

"Ya sudah, Ki Sanak istirahat saja. Aku akan memasak air dan juga merebus singkong!" kata Erlangga, bangkit dari tempat duduknya dan langsung mencari kayu bakar di sekitaran gubuk.

Anggadita sedikit merebahkan tubuhnya di atas bebalean, menahan rasa sakit di bagian dadanya yang masih terasa nyeri akibat pukulan Erlangga. Dengan mata yang terpejam, Anggadita berdecak kagum dalam hati, 'Pendekar itu ternyata mempunyai kesaktian tinggi, aku tak kuasa menandingi kesaktiannya.' Anggadita merasa dirinya tidak ada artinya di hadapan Erlangga, ia sadar bahwa Erlangga jauh lebih kuat darinya.

Sementara itu, Erlangga sibuk mencari kayu bakar dan menyiapkan api untuk memasak singkong. Ia melakukannya dengan cekatan, menunjukkan bahwa ia tidak hanya mahir dalam ilmu bela diri, tetapi juga memiliki kemampuan praktis yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Dengan api yang sudah menyala, Erlangga mulai merebus singkong dan memasak air, mempersiapkan makanan sederhana namun lezat untuk mereka berdua.

****

Keesokan harinya, Erlangga sudah melakukan latihan di halaman gubuk, mengolah ilmu kanuragannya dengan gerakan yang cepat dan lincah.

Anggadita yang menyaksikan dari jauh tampak kagum dengan kemampuan Erlangga. "Ilmu bela dirimu hebat, Erlangga," teriak Anggadita yang pagi itu sudah terlihat pulih dari luka yang dideritanya.

Erlangga menghentikan gerakkannya, kemudian meloncat tinggi dan mendarat dengan sempurna di hadapan Anggadita. "Ki Sanak sudah sehat?" tanya Erlangga sambil mengusap peluh di wajahnya dengan menggunakan sehelai kain. 

Anggadita tersenyum dan menjawab lirih pertanyaan Erlangga, "Dari semalam rasa sakit di dalam dadaku ini sudah tidak terasa lagi. Terima kasih, Erlangga."

Erlangga tersenyum dan duduk di sebelah Anggadita. "Syukurlah kalau seperti itu. Nanti siang aku akan melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam," kata Erlangga, memberitahu Anggadita tentang rencana berikutnya.

Anggadita langsung menanggapi dengan serius, "Aku ikut!" pinta Anggadita, meluruskan pandangannya ke arah Erlangga dengan mata yang penuh harapan.

Dengan permintaan itu, Erlangga memandang Anggadita dengan sedikit pertimbangan, memikirkan apakah Anggadita sudah cukup pulih untuk melakukan perjalanan jauh ke Padepokan Kumbang Hitam. Namun, Anggadita tampak yakin dan siap untuk mengikutinya.

Erlangga tersenyum dan menganggukkan kepala tanda setuju dengan permintaan Anggadita untuk ikut bersamanya menuju Padepokan Kumbang Hitam yang terletak di atas bukit tak jauh dari tempat tersebut.

Anggadita tampak bahagia dan merasa senang dengan keputusan Erlangga. "Terima kasih, Erlangga," ucap Anggadita dengan senyum yang lebar.

Sebelum berangkat, kedua pendekar itu melakukan perburuan terlebih dahulu di sekitaran hutan yang tidak jauh dari gubuk. Anggadita melakukan perburuan rusa dengan menggunakan tombak, sebuah senjata yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya. Dengan kemampuan dan pengalamannya, Anggadita dan Erlangga sangat mahir dalam melakukan perburuan. Mereka berhasil mendapatkan dua ekor rusa dalam waktu yang singkat.

"Ayo, kita pulang!" ajak Anggadita sambil menenteng dua ekor rusa berukuran sedang hasil buruannya itu.

"Biarkan aku yang membawa rusa itu!" pinta Erlangga.

Anggadita langsung menyerahkan dua ekor rusa itu kepada Erlangga, kemudian mereka langsung melangkah menuju arah gubuk yang jaraknya tidak jauh dari hutan tempat mereka berburu.

Baru beberapa langkah saja, kedua pendekar itu dikagetkan dengan munculnya seekor harimau buas berukuran besar yang secara tiba-tiba keluar dari semak-semak hutan dan menghadang perjalanan mereka. Anggadita langsung melakukan kuda-kuda bersiap untuk menyerang harimau itu. Namun, Erlangga segera mencegahnya.

"Tahan, Ki Sanak!" seru Erlangga. "Biarkan aku yang menghadapinya!" sambungnya sambil meletakkan dua ekor rusa hasil buruannya di atas tanah di tempat ia berpijak.

Dengan gerakan yang tenang dan percaya diri, Erlangga bersiap untuk menghadapi harimau buas itu. Erlangga sudah paham dalam menghadapi binatang buas di hutan belantara. Sejak kecil, ia sudah terlatih dan bisa beradaptasi dengan berbagai jenis binatang buas yang ada di hutan, termasuk harimau.

Tiba-tiba saja, harimau tersebut mengaum dan terlihat seperti sedang kelaparan, posisi harimau itu berhadapan langsung dengan Erlangga.

"Hati-hati, Erlangga!" teriak Anggadita, tampak khawatir dan cemas melihat Erlangga berhadapan dengan binatang paling ditakuti itu.

Namun, Erlangga tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Entah apa yang sedang dilakukannya saat itu, ia mulai melakukan interaksi dengan harimau tersebut, membuat Anggadita tercengang dan terheran-heran dengan kemampuan Erlangga yang bisa berkomunikasi dengan seekor binatang buas.

"Aku harap kau pergi dan jangan menghadang perjalanan kami!" pinta Erlangga, berbicara dengan tenang di hadapan seekor harimau buas itu.

Erlangga kemudian sedikit merunduk dan meraih seekor rusa yang baru saja ia dapatkan dari hasil buruannya bersama Anggadita. Dengan gerakan yang cepat, Erlangga melemparkan rusa itu ke arah harimau tersebut.

Sontak harimau itu langsung menyambar rusa yang dilemparkan oleh Erlangga dan membawa lari rusa tersebut masuk ke dalam semak belukar. Anggadita menyaksikan adegan itu dengan mata yang terbelalak, takjub dengan kemampuan Erlangga yang bisa menenangkan harimau buas itu hanya dengan melemparkan seekor rusa sebagai mangsa.

"Ya ampun, mengapa rusanya kau berikan kepada harimau itu?" tanya Anggadita, melangkah menghampiri Erlangga dengan rasa penasaran.

"Jatah kita hanya satu untuk hari ini, itu sudah cukup. Jangan melawan kodrat, Dewata akan murka!" ujar Erlangga, meraih satu ekor rusa yang tersisa kemudian melanjutkan perjalanan menuju gubuk tempat tinggal Anggadita.

Anggadita pun langsung berjalan mengikuti langkah Erlangga, sambil memikirkan tentang tindakan Erlangga yang memberikan rusa hasil buruan kepada harimau.

"Kepada binatang saja sudah baik, apalagi kepada manusia," gumam Anggadita, berdecak kagum melihat sikap baik yang ditunjukkan oleh Erlangga.

Setibanya di gubuk, mereka langsung membersihkan rusa tersebut dengan cara disembelih terlebih dahulu, kemudian dicuci bersih dan langsung dipanggang guling di atas bara api di samping gubuk. Setelah rusa tersebut matang, mereka langsung makan bersama, menikmati kelezatan daging rusa hasil buruan mereka.

Anggadita tampak lahap, menikmati empuknya daging rusa itu. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh sebilah pedang milik Erlangga. Anggadita mengamati keindahan bentuk pedang tersebut, dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Aku mengenal pedang ini," desis Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga dengan mata yang penuh tanda tanya.

Mendengar perkataan Anggadita, Erlangga tersenyum kemudian berkata lirih, "Kau tahu siapa pembuat pedang ini?" tanya Erlangga, balas memandang wajah Anggadita dengan mata yang penuh minat.

"Pembuat pedang ini adalah Mpu Surya Wisesa dari kerajaan Randakala, dan pemiliknya adalah Prabu Sanjaya, raja pertama kerajaan Kuta Tandingan." Anggadita, menjawab pertanyaan Erlangga dengan percaya diri. "Tapi kenapa pedang ini bisa berada di tanganmu? Seharusnya, hanya keturunan dari Prabu Sanjaya saja yang bisa memiliki pedang ini?"

Erlangga tersenyum dan meletakkan tangannya di atas pundak Anggadita, memberikan kesan yang hangat dan penuh kepercayaan. "Nanti, Ki Sanak akan tahu sendiri siapa aku ini," jawab Erlangga, kembali melanjutkan makannya dengan santai.

Anggadita tampak penasaran mendengar ucapan Erlangga, dan berbagai pertanyaan mulai bermunculan di dalam benaknya. 'Aku curiga, apakah pemuda ini merupakan keturunan Prabu Sanjaya?' gumam Anggadita dalam hati, mencoba menghubungkan titik-titik yang ada. 'Aku harus mencari tahu, siapakah Erlangga ini,' sambungnya, memutuskan untuk terus memantau Erlangga dan mencari jawaban atas pertanyaannya.

Dengan demikian, Anggadita semakin penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang Erlangga dan pedang yang dibawanya.

Selesai makan, kedua pendekar itu langsung bersiap melakukan perjalanan mereka menuju ke puncak bukit untuk mengunjungi Padepokan Kumbang Hitam. Mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu menemui sang pemimpin padepokan tersebut.

"Ayo, Ki Sanak. Kita berangkat sekarang!" ajak Erlangga, bangkit dari duduknya dengan semangat.

"Baiklah, Pangeran," jawab Anggadita, membuat Erlangga terkejut.

"Pangeran ...?" kata Erlangga, mengangkat alisnya tinggi, tampak heran kenapa Anggadita bisa tahu kalau dirinya itu merupakan seorang pangeran.

Anggadita kemudian bersimpuh di hadapan Erlangga, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat terhadap Erlangga yang ternyata adalah seorang putra mahkota.

"Seperti apa yang aku duga semenjak bertemu denganmu. Kau ternyata pangeran dari kerajaan Kuta Tandingan yang selama ini aku cari," kata Anggadita dengan sikap hormatnya.

Erlangga tersenyum dan menatap wajah Anggadita dengan mata yang penuh kepercayaan. "Ya sudah, sekarang kau sudah tahu siapa aku. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!" pinta Erlangga, berharap Anggadita dapat menjaga rahasia identitasnya.

Dengan permintaan itu, Anggadita menganggukkan kepala, menunjukkan kesediaannya untuk membantu Erlangga. "Aku akan menjaga rahasia Pangeran," kata Anggadita, dengan mata yang penuh kesetiaan.

Erlangga tersenyum, merasa lega karena Anggadita bersedia membantunya. Dengan demikian, mereka berdua siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Irma_Asma
season duanya itu bukan Pewaris Tahta Kerajaan?
goodnovel comment avatar
CahyaGumilar79
season duanya Pewaris Tahta Kerajaan Kak
goodnovel comment avatar
Atus Tamonob
lanjut terus, ceritanya sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sang Pendekar   Maha Patih Akilang (Bab terakhir)

    Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa

  • Sang Pendekar   Serangan Mendadak Dari Pasukan Kerajaan Sirnabaya

    Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D

  • Sang Pendekar   Pergerakan Dari Pasukan Kuta Waluya

    Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda

  • Sang Pendekar   Kumba Sang Pendekar

    Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun

  • Sang Pendekar   Menjelang Perang Di Batas Kerajaan

    Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p

  • Sang Pendekar   Terbentuknya Kadipaten Conada

    Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status