Enjoy reading! 😋
🌶️🌶️🌶️🌶️🌶️
Artan tetap fokus pada pekerjaan dan layar laptopnya, sama sekali tak mempedulikan sosok penganggu yang terus menertawainya. Entah apa yang membuat pria itu merasa lucu ketika melihat wajah Artan yang dingin.
"Sudah selesai tertawanya?" tanya Artan yang lama-lama merasa risih juga. Pasalnya, sahabatnya itu dari tadi tak kunjung berhenti tertawa, takutnya jika di biarkan tiba-tiba menjadi gila.
Johan berdeham menetralkan suaranya yang serak karena terlalu banyak tertawa hari ini. "Sudah, pak Artan." jawabnya setelah selesai berhenti tertawa.
"Bagus, sekarang kembalilah ke ruanganmu." titah Artan yang tak ingin di ganggu.
"Kenapa kau terlalu serius kali sih bos, ayolah sekali ini saja pikirkan mengenai pasanganmu—" ucapan Johan terhenti saat sebelah tangan Artan terangkat memberi isyarat padanya untuk berhenti bicara.
"Tolong jangan sekarang Jo, nanti saja kita bahas. Kau tidak lihat aku masih sibuk, jangan sampai ku lemparkan laptop ini padamu." ancam Artan menakut-nakuti Johan. Tapi itu bukan hanya sekadar ancaman, selama ini Artan memang tak pernah main-main atas ucapannya. kecuali tingkahnya saat kencan buta maka ia akan sedikit bermain-main dengan wanita yang menjadi teman kencannya.
"Baiklah, aku keluar. Tapi, janji ya habis ini kita akan membahasnya?"
"Hhh, keluar atau aku akan benar-benar melemparnya Jo!" teriak Artan yang langsung membuat Johan lari terbirit-birit ketakutan mendengar teriakan Artan.
Artan tersenyum geli melihatnya seraya kembali fokus pada berkas-berkas dan layar laptopnya. Hampir cukup memakan waktu lama bagi Artan untuk menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk. Hingga tanpa sadar ternyata Artan nyaris melupakan jam istirahat sekaligus jam makan siangnya.
Sialnya Johan tak mengingatkannya hari ini, bisanya pria itu yang akan mengingatkan Artan untuk istirahat dan mengajaknya untuk makan siang bersama.
Artan segera membereskan semua yang ada di meja kerjanya sampai rapi. Setelah semuanya rapi dan tampak nyaman di pandangan Artan, barulah pria itu bisa pergi meninggalkan ruangannya dengan perasaan tenang.
Setelah di luar Artan menutup pintu ruangannya dari luar, begitu berbalik badan Artan di kejutkan dengan sosok Johan yang mengaggetinya.
"Astaga! Kau ingin membuatku jantungan dan mati muda ya!" kesal Artan pada sahabatnya ini yang memang selalu usil.
"Muda?" Johan menyipitkan matanya. "Lajang berusia 30 tahun, apakah itu masih pantas di sebut muda?"
"Masih dong, pake banget malah." jawab Artan enteng.
"Idihhh, kok mual dengarnya, ya." Artan terkekeh.
"Muntahkan saja kalau begitu, daripada perutmu terus bergejolak menahan rasa kekaguman pada diriku." Artan menepuk pelan bahu sahabatnya itu.
"Ya, ya, ya. Kau benar sekali bos, itu pilihan yang terbaik. Tapi, sayangnya aku belum makan siang."
"Kau belum makan siang?" Johan menggeleng.
"Kenapa tidak mengingatkanku jika ini sudah hampir lewat jam makan siang Jo?"
"Aku pikir kau masih tidak ingin di ganggu, melihat betapa seriusnya kau bekerja. Siapa yang akan berani menganggu jika kau dalam mode seperti itu?" dengus Johan kesal.
"Aissh, sudahlah, jangan berdebat. Itu tidak akan membuat perut kenyang, sebaiknya kita cari makan siang." ajak Artan berjalan terlebih dahulu, dan Johan mengekor berjalan di belakang Artan.
*****
Artan dan Johan memilih makan siang mereka di sebuah cafe yang memang menjadi tempat favorit mereka berdua. Keduanya tampak sangat lahap menyantap makanan di piring mereka masing-masing. Mungkin karena rasa lapar yang terasa sangat makanya membuat mereka makan dengan lahap dan tak bersisa.
"Kenyang," ungkap Johan bersyukur seraya mengelus-elus perutnya yang tak buncit sama sekali.
Artan mengangguk membenarkan jika ia pun juga merasa kenyang. "Ayo kembali ke kantor," ajaknya seraya bangkit berdiri.
"Sekarang?"
"Tidak, tahun depan." kesal Artan atas pertanyaan konyol Johan.
"Aihh, kelamaan dong bos." goda Johan.
Artan tak peduli, ia merapikan jasnya dan seperti biasa Artan berjalan lebih dulu ke arah parkiran. Sementara Johan membayarkan bill pesanan yang mereka makan tadi, setelahnya baru ia menyusul Artan.
"Kau yang bawa mobilnya." Artan melempar kunci mobilnya yang langsung di tangkap Johan.
Keduanya masuk bersamaan. Johan menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.
"Bagaimana soal rencanaku?" tanya Johan membuka suaranya.
"Rencana yang mana?" jawab Artan yang kini tampak fokus pada layar ponselnya.
"Soal jasa biro jodoh."
Gerakan jemari Artan yang bermain games di ponselnya terhenti. "Mak comblang maksudmu?"
Johan mengangguk semangat. "Apa kau mau menyewa jasa Mak comblang sebagai perantara untuk menemukan pasanganmu?"
"Hhh, ternyata kau masih saja percaya dengan hal yang begituan." dengkus Artan tak habis pikir dengan jalan pemikiran sahabatnya itu. Dari dulu Johan selalu mengusulkan padanya untuk mencari pasangan lewat jasa Mak comblang-comblangan.
"Tentu saja aku percaya, aku mendapatkan Felly juga dari jasa Mak comblang."
"Terus?" sahut Artan singkat.
"Ya, kau juga harus mencobanya. Siapa tahu keberuntunganmu kan. Hei bro, ayolah, para Mak comblang itu hebat-hebat. Di jamin puas deh dengan kerja mereka."
"Oh ya? Woww!" ungkap Artan takjub. "Memang bagaimana cara mereka bekerja mencari jodoh untuk klien-kliennya?"
"Mereka para Mak comblang bisanya mencarikan kriteria pasangan untuk kliennya sesuai dari permintaan kliennya itu sendiri."
"Semisalnya, aku ingin wanita yang cantik, mandiri dan seksi. Begitu?"
"Betul!" Johan membenarkan ucapan Artan. "Mereka akan mencari dengan sangat teliti kriteria itu, nah, jadi setelah mereka mendapatkan kandidat yang tepat untuk di jodohkan dengan kliennya. Barulah mereka mulai melakukan yang namanya pertemuan antara si klien dan si kandidat itu." Artan manggut-manggut mengerti dengan penjelasan Johan.
"Sampai sini paham?" Artan mengangguk.
"Aku masih ada pertanyaan lagi."
"Sok, silakan, monggo." titah Johan tersenyum geli.
"Lalu, bagaimana jika aku tetap tidak tertarik pada wanita pilihan mereka. Maksudku, bagaimana jika seandainya kencan itu batal?"
"Maka mereka akan mencari kandidat baru lagi. Ya, sesuai dengan permintaan kliennya juga, mau di carikan lagi atau berhenti."
"Ooh, begitu." Artan tampak berpikir ulang seraya mengelus-elus dagunya yang di tumbuhi bulu-bulu halus.
"Berapa bayaran menyewa Mak comblang?" tanya Artan yang langsung membuat kedua mata Johan berbinar bahagia.
Akhirnya! Pria itu mau juga. Sorak batin Johan senang.
"Soal bayaran nanti kita bicarakan ya. Yang jelas, kau mau kan, Artan?" tanya Johan memastikan.
"Ya, baiklah. Aku rasa tidak ada salahnya kan untuk mencoba?"
"Ya, kau benar. Nah, gini baru namanya sahabatku." puji Johan gembira dengan keputusan Artan.
"Jangan lebay, sebaiknya kau urus saja soal Mak comblang itu lebih cepat."
"Siappp boss." kekeh Johan seraya menggerakkan tangan kirinya membentuk hormat pada Artan.
"Lihat jalan, jangan banyak tingkah!" titah Artan lagi yang ngerih melihat tingkah Johan saat menyetir mobil.
Reva meminta Aldi untuk menemaninya menemui kliennya yang bernama Johan. Sudah sepuluh menit mereka sampai dan duduk menunggu di cafe yang menjadi tempat janji temu kali ini.Johan yang baru sampai di cafe terlihat celingak-celinguk mencari keberadaan Mak comblang untuk Artan. Tersenyum saat menemukan Mak comblang tersebut, Artan melambaikan tangannya pada Aldi dan Reva seraya berjalan mendekat ke meja mereka."Maaf, lama menunggu." kata Johan merasa tak enak."Ah, tidak apa-apa pak Johan. Kami juga baru sampai." sahut Aldi tersenyum.Johan duduk di kursi yang menghadap ke arah Aldi, sedangkan kursi yang menghadap ke arah Reva kosong.Aldi menoleh ke arah Reva, kemudian terlihat ia membisikkan sesuatu di telinga Reva. Reva awalnya menggelengkan kepalanya pada Aldi, lalu ia melihat ke arah Johan yang menatap mereka dengan tersenyum. Akhirn
"Kau!" kaget Reva spontan menunjuk ke arah Artan yang juga kaget saat melihatnya.Wajah Reva mengeras menahan amarah yang ingin meledak-ledak saat melihat wajah pria yang tempo hari memanfaatkannya. Reva menoleh ke arah Johan yang ekspresinya tak bisa di tebak."Apa maksudnya semua ini pak Johan?" tanya Reva marah. "Coba jelaskan padaku, kenapa pria ini ada disini?!"Suara Reva yang nyaring nyaris mengalihkan perhatian seluruh pengunjung cafe lainnya. Reva tak peduli jika kali ini ia menjadi pusat perhatian kembali seperti tempo hari."Nona Reva, tenang dulu." kata Johan berusaha menenangkan suasana."Tidak!" tolak Reva seraya mengambil tasnya yang ada di meja."Aku membatalkan semuanya, pak Johan bisa mencari Mak comblang lainnya untuk mencari pasangan pria ini!" kata Reva menolak kerjasama Johan sembari kembali menunjuk ke arah Artan."Permisi," pamit Reva dan
"A—apa yang mau kau lakukan?!" tanya Reva was-was seraya melangkah mundur ke belakang saat melihat Artan yang melangkah maju mendekatinya sembari membuka kancing kemeja putihnya satu persatu.Artan tersenyum sinis memperhatikan gerak-gerik si Mak comblang ini yang ketakutan."Berhenti!" cegah Reva semakin kalut saat kemeja putih itu telah terlepas dari tubuh Artan.Kini, pria itu bertelanjang dada di hadapan Reva yang sekarang dapat melihat jelas bagian atas tubuh Artan yangnaked."Kenapa?" tanya Artan enteng. "Kau takut nona, Mak comblang?" Reva mendengkus sebal mendengar panggilan Artan padanya."Apa yang kau inginkan sebenarnya?" tanya Reva langsung dan tak ingin berbasa-basi lagi. Kelamaan bersama Artan membuatnya ingin muntah dengan segala tingkah polanya."Memperkosamu.""Eh!" Reva berjengit kaget. "Kau gila!""Ya, aku gila, d
Reva tampak sibuk mencarikan kandidat wanita sebagai calon pasangan Artan, ia membagikan informasi mengenai seorang pria tampan yang ingin mencari pasangan lewat website dan situs seluruh jejaringan media sosial miliknya dan media sosial milik akun resmi jasa Mak comblang mereka.Tak lupa juga Reva memasukkan foto Artan agar semakin meningkatkan minat para wanita yang ingin menjadi kandidat. Terbukti hal itu memang benar, baru sepuluh menit Reva membagikan informasi itu. Sekarang banyaknya yang wanita yang berminat sebagai calon pasangan Artan Narendra.Reva mendengkus kesal melihatnya. Wanita-wanita ini begitu heboh dan ricuh berbondong-bondong untuk menjadi calon pasangan pria songong plus sakit jiwa itu.Tidak bisakah mereka tak hanya melihat dari wajah saja? Hmm, apa yang terjadi jika mereka sudah melihat langsung sosok yang sedang mereka kagumi saat ini? Seketika Reva tertawa jahat, hahaha.Reva melir
"Dimana wanitanya?" bisik Artan di telinga Reva.Saat ini mereka berdua tengah di cafe yang menjadi tempat janjian bertemu atau tempat kencan Artan dengan salah satu wanita yang menjadi kandidat pertama."Mungkin sebentar lagi dia sampai," sahut Reva yang masih fokus pada layar ponselnya.Artan mendengkus sebal, berapa lama lagi mereka harus menunggu si wanita ini? Sudah cukup lama mereka menunggu, inilah hal yang paling di benci Artan. Satu kata ini yang sangat membosankan, Artan benar-benar sangat benci yang namanya menunggu.Biasanya di kantor ia yang di tunggu-tunggu para bawahannya, dan sekarang untuk hal seperti ini harus ia sendiri yang menunggu.Awas saja kalau wanitanya jelek ataupun tak sesuai kriteria idamanku. Akan ku telan hidup-hidup nih Mak comblang.batin Artan mengomel."Sebentar ya," pamit Reva bangkit berdiri namun tangannya di cekal Artan.
Reva mengumpati layar ponselnya yang menyala, saat ini Johan tengah menghubunginya karena Artan yang meminta. Perasaan Reva mengatakan tak enak hingga ia ragu-ragu untuk mengangkat panggilan telepon dari Johan."Hallo?" sapa Reva akhirnya mengangkat juga panggilan Johan setelah ia berpikir panjang."..........""Apa? K—kenapa bisa pak Jo?" kaget Reva setelah mendengar ucapan Johan di seberang telepon.".............""B—baik, saya akan segera kesana." kata Reva seraya mematikan sambungan telepon."Shittt!" umpat Reva segera bangkit berdiri merapikan pakaian dan penampilannya.Aldi yang sejak tadi duduk di sofa sembari bermain gamesnya pun menoleh ke arah Reva yang tampak panik dan bersiap pergi kembali."Kenapa lo Re? Mau pergi lagi?" tanya Aldi yang langsung di angguki Reva."Iya, gue ada janji temu sama pria
"A—apa pak? Bapak bercanda ya nyuruh saya duduk disitu?" kata Reva berusaha tenang menanggapi Artan yang gila."Siapa yang bilang aku bercanda? Aku serius, dan kemarilah." lagi, Artan menepuk kedua pahanya.Dia gila atau apa? Menyuruhku untuk duduk diatas pangkuannya, benar-benar stress! Pria sakit jiwa!dengkus Reva dalam hatinya."Haha, bapak bisa aja. Itu namanya tindakan tidak sopan pak Artan." kekeh Reva berusaha tetap bersikap manis di depan Artan."Oh, kamu mau aku yang kesitu ya? Baik." Artan bangkit berdiri dari duduknya."Eh, bu—bukan gitu pak." Reva gelagapan melihat reaksi Artan yang kini berjalan mendekatinya. Reva menegakkan badannya dan lebih memilih berdiri. Ia melangkah mundur ke belakang."Lalu, bagaimana maksudmu sekarang ini? Aku menyuruhmu untuk duduk disitu tapi kau tidak mau, dan sekarang aku yang ingin duduk disini kau juga
"Hoaamm," Reva kembali menguap.Terhitung ini sudah yang ketiga kalinya wanita itu menguap karena rasa bosan dan kantuk yang melanda. Bayangkan, hampir sudah tiga jam lamanya Reva duduk di sofa memperhatikan Artan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.Rasanya Reva serba salah dibuat Artan, ia ingin pulang tetapi pria itu melarangnya. Artan menyuruhnya untuk menunggu sampai dirinya selesai pada pekerjaannya. Alhasil, Reva mati kebosanan menunggu Artan sampai selesai."Berapa jam lagi aku harus menunggumu, pak?" tanya Reva dengan mata berair menahan kantuk.Artan menghentikan fokus pada laptopnya, ia melirik ke arah Reva seraya sedikit membetulkan letak kacamatanya yang tampak miring."Kau bertanya sampai kapan menungguku selesai?" Reva mengangguk."Kalau begitu jawabanku, masih lama." kata Artan tersenyum dan kembali fokus pada pekerjaannya."Huaaaa!!!" jerit Reva frustasi. "Kalau begitu biarkan aku pulang wahai bapak Artan Nare