Artan melepaskan kasar cekalan tangannya pada wanita yang di jadikannya sebagai alat bantu untuk dirinya tersebut. Merasa puas karena kali ini kencan butanya gagal lagi.
Plaaakkk.
Lagi, satu tamparan melayang mendarat mulus ke pipi Artan. Pria itu menatap tak percaya pada wanita yang dengan berani menampar dirinya.
"Kurang ajar!" geram wanita itu marah.
Setelah puas menampar Artan, wanita itu segera melangkah pergi meninggalkan Artan yang terdiam bagai patung di tempatnya. Sedangkan tatapan para pengunjung lainnya semakin heboh tatkala melihat Artan yang di tampar sebanyak dua kali oleh wanita yang berbeda.
Tak sedikit banyaknya pemikiran negatif muncul di benak mereka. Sebagian berbisik-bisik membicarakan Artan jika ia pria playboy yang suka bermain wanita. Sebagian lagi mengatakan jika Artan ketahuan selingkuh oleh kekasihnya.
"Hari ini aku di tampar dua kali oleh wanita." gumam Artan terkekeh geli bercampur meringis menahan rasa perih di pipi kirinya yang ditampar sebanyak dua kali malam ini.
"Tidak bisa dibiarkan, wanita itu...." Artan tersadar jika wanita yang ia cekal lengannya tadi sudah pergi.
Dengan langkah cepat dan lebar Artan mencari keberadaan wanita itu. Ia cari ke segala arah saat ia sudah sampai di pintu keluar restoran, namun sayangnya Artan tak menemukan wanita itu.
"Sial!" umpat Artan kesal.
Kenapa Artan sangat marah atas perginya wanita itu, sedangkan saat ia di tampar Suzan saja rasanya tak semarah ini.
"Menggelikan," gumam Artan tersenyum kecut.
Artan merubah ekspresinya kembali menjadi dingin seperti biasanya, cukup malam ini saja ia seperti orang bodoh yang rela di tampar dua wanita.
*****
Revalda melempar kuat tas selempangnya ke sofa, wajahnya di tekuk cemberut bercampur emosi yang tak terkira. Reva melangkah mengambil air mineral dari lemari pendingin, ia buka dan menengguk isinya cepat dari dalam botol.
Melihat sikap sahabatnya yang pulang-pulang seperti kerasukan berhasil menarik perhatian Aldi yang sedari tadi duduk diam disitu sambil bermain games di ponselnya.
"Kenapa lo, Re?" tanya Aldi yang masih setia pada gamesnya.
Tak mendengar ada sahutan jawaban dari Reva pun membuat Aldi penasaran, ia pun menoleh ke arah Reva yang kini sudah duduk di kursi yang ada didepannya.
"Ah, shitttt!" maki Aldi karena ternyata ia lupa mem-pause gamesnya sehingga membuatnya kalah.
"Gue kalah!" kata Aldi mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
Reva sama sekali tak menunjukkan reaksi apapun pada Aldi yang semakin sangat penasaran akan perubahan ekspresinya. Seingat Aldi, tadi sahabatnya ini saat ingin pergi menemui klien mereka sangat ceria dan bersemangat. Berbanding terbalik sekali dengan keadaan saat ia pulang.
"Kesel gue Al!" kata Reva semakin cemberut.
"Kesal kenapa? Rencana dengan klien kita tadi gagal?" tanya Aldi antusias.
Reva menggeleng. "Bukan itu, gue bahkan belum ketemu sama kliennya." desah Reva lelah dan ingat jika tujuan ia pergi tadi untuk janji temu dengan klien mereka.
"What? Terus gimana?"
Reva mengendikkan bahunya tanda tak tahu, Aldi menepuk jidatnya melihat Reva.
"Kalau lu belum menemui pak Johan, kenapa pria itu tidak mengubungi ku ya?" tanya Aldi bingung.
Reva semakin pusing dan menggelengkan kepalanya. Ini semua gara-gara pria yang di restoran tadi, membuat ia gagal menemui kliennya. Mungkin saja pak Johan marah dan langsung membatalkan kerjasama mereka tanpa pemberitahuan terlebih dulu.
"Emang lu tadi kemana sampai gak ketemu sama pak Johan?" tanya Aldi semakin heran.
"Gue tadi memang mau ketemu sama pak Johan, beliau mengatakan ingin bertemu di restoran kan?" Aldi mengangguk.
"Gue udah sampai di restoran bahkan gue masuk ke dalam restoran tempat janji temu dengan pak Johan. Gue cari-cari keberadaan beliau ke segala arah, gue ketemu beliau yang melambai-lambaikan tangannya ke arah gue agar mendekat ke mejanya." Reva menjeda sebentar ucapannya untuk mengambil nafas sesaat lalu membuangnya.
"Di pertengahan jalan gue yang sedikit lagi sampai di meja pak Johan, tangan gue di cekal seseorang. Otomatis gue terpekik kaget dong, ketika gue mendongak ternyata yang cekal tangan gue itu seorang pria."
"Terus?" tanya Aldi antusias.
"Dan sangat menyebalkan dan tidak dengan sopannya pria itu mengaku jika gue itu kekasihnya." jelas Reva kembali meringis mengingat hal tadi di restoran.
"Apa? K-kenapa bisa Lo yang jadi korbannya?"
"Bisa aja sih, secara jika melihat kondisi keadaan saat itu cuma gue wanita yang berjalan melewati mejanya."
"Hahaha," Aldi tergelak mendengarnya.
"Kok, Lo ketawa?"
"Lucu," akui Aldi.
"Dih, seharusnya Lo marah karena cowok itu gue jadi gagal nemui pak Johan."
"Jangan bilang kalau Lo pasti langsung pulang dan melupakan tujuan awal lo." tebak Aldi tepat yang malah semakin membuat Reva meringis.
"Ya gue panik, kaget, dan juga malu rasanya. Karena ulah cowok itu kami bertiga jadi pusat perhatian semua pengunjung restoran lainnnya."
"Kami? Maksudmu selain lo, apakah ada orang lain lagi?"
Reva mengangguk. "Satu orang wanita lainnya, pria sinting itu mengatakan jika aku kekasihnya pada wanita cantik itu."
Reva rasanya mau mual menjelaskannya pada Aldi, karena setiap ia mengatakan itu otomatis ia mengingat kembali kejadian tadi.
"Sudah ku duga, kau langsung pergi dan melupakan janji temu dengan pak Johan." Reva mengangguk dengan mimik wajah sedih.
"Dih, gak usah lebay gitu wajahmu Re. Jangan di pikirkan, besok kita hubungi pak Johan, oke." Aldi mengedipkan sebelah matanya.
Reva mengangguk masih dengan raut wajah sedihnya. "Gue lempar sepatu nih muka Lo kalau masih kayak gitu juga." ancam Aldi yang sudah mengambil sebelah sepatunya ancang-ancang untuk melemparkannya ke muka Reva.
Reva nyengir seraya menjulurkan lidahnya. "Oke, kita damai."
Aldi memasang kembali sepatunya yang tadi ia buka. "Bagaimana dengan Windy, Elan, dan Opi? Apakah sukses janji temu mereka dengan klien?"
Aldi menanggapi pertanyaan Reva dengan anggukan. "Sepertinya sukses, terbukti sampai sekarang mereka belum kembali."
"Aku rasa Windy dan Opi serius membimbing klien mereka. Kalau Elan, aku meragukannya. Pasti bocah itu menggoda kliennya, aishh, sudah berapa kali aku bilang padamu Al. Lain kali berikan Elan klien yang berjenis kelamin laki-laki saja, jangan wanita."
Aldi mengendikkan kedua bahunya. "Aku harus bagaimana? Para klien wanita yang meminta untuk di bimbing kami para pria sebagai mak comblang mereka. Ingatlah satu hal Re, kita ini hanya sebatas hubungan antara mak comblang dan klien saja. Kita sama-sama membangun jasa biro jodoh ini, jabatan kita sebagai mak comblang. Tentu saja kita harus mengikuti apa yang menjadi daya tarik dan keinginan dari para klien kita. Jika para wanita menginginkan aku dan Elan, maka dengan senang hati kami menerimanya." kekeh Aldi di akhir kalimatnya.
"Dasar penjilat!"
"Eh, apa yang aku jilat Re?" goda Aldi semakin membuat Reva kesal.
"Entahlah, sebaiknya aku pulang saja ke rumah. Semakin lama di dekatmu semakin membuatku kesal dan pusing."
"Hahahaha," pecah sudah tawa Aldi melihat reaksi Reva.
Reva mengambil tasnya di sofa yang tadi ia lempar kuat, melangkah menuju pintu kemudian keluar tanpa mau repot-repot berpamitan pada Aldi yang masih menertawainya.
Keluarga Reva tak menyangka jika hari ini bakal bertemu dengan calon besannya, kedua orang tua Artan memaksa anaknya itu untuk membawa mereka bertemu dengan orang tua Reva.Artan tersenyum geli melihat sang mama yang awalnya ogah-ogahan dengan hubungan ia dan Reva. Tapi, kini mamanya itulah yang malah terlihat sangat antusias menyambut hubungan mereka. Bahkan kini mama Artan sudah ngebet dan tak sabar menunggu hari pernikahan mereka tiba."Halooo calon besan," sapaan hangat mama Artan pada orang tua Reva, sedangkan papa Artan sendiri hanya menyunggingkan senyumannya menyapa kedua orang tua Reva.Mama Artan mendekat dan memberikan kecupan di kedua pipi ibu Reva sembari memeluknya. Sungguh perlakuan manis yang dapat menghangat hati calon besannya."Putraku sudah menceritakan semuanya, mengenai perjalanan kisah cintanya dengan Reva. Jadi, kapan kita menentukan hari pernikahan mereka?" kata mama Reva tersenyum mengedipkan mata sebagai kode.
Artan dengan santai merangkul pundak Reva yang kini semakin gemetaran dan mencengkeram erat kemeja putih milik Artan yang melekat di tubuhnya. Kedua orang tua Artan mendelik menyaksikan anak dan wanita yang di akui sebagai kekasih putranya."Artan, apa yang kamu katakan? K—kekasih?" tanya mama Artan tergugu dengan ucapan anaknya tadi."Mama, papa, ayo masuklah terlebih dahulu. Aku akan menjelaskan semuanya pada kalian berdua." ucap Artan lembut."Tidak!" penolakan tegas mamanya. "Kami berdua tidak sudi masuk jika wanita jalang penghangat ranjang kamu masih disini.""Dia bukan jalang mama!" sentak Artan dengan suara yang mulai meninggi. "Dia kekasihku, namanya Revalda.""You lie! Kami tidak percaya dengan ucapanmu." mama Artan semakin murka, kembali menatap sengit ke arah Reva dari bawah sampai ke atas."Lihatlah dia, apakah pantas untuk disebut sebagai wanita baik-baik. Penampilannya sungguh memprihatinkan, dan sangat di sayangka
Setelah sampai di kota, Artan menyuruh Johan untuk mengantarkan dan mengurusi segala keperluan keluarga Reva selama tinggal disini. Johan mengangguk patuh dan mengantarkan keluarga Reva ke villa milik Artan.Sementara untuk Reva, Artan meminta izin pada kedua orang tua Reva agar mengizinkan putrinya untuk tinggal bersamanya dan berjanji tidak akan berbuat macam-macam sampai tiba hari pernikahan mereka. Orang tua Reva tersenyum mengangguk dan mengizinkan, mereka percaya pada Artan sepenuhnya."Selamat datang di apartemenku!" jerit Artan ketika sampai di apartemennya, membuka pintu dan mempersilakan Reva masuk dengan hormat.Reva tersenyum geli melihat tingkah kekasihnya, cukup tercengang melihat apartemen Artan yang indah. Reva berjalan sambil matanya tetap terus memperhatikan setiap sudut apartemen Artan."Kau suka?" tanya Artan sambil mendekap memeluk tubuh Reva dari belakang.Reva merasakan nyaman dan hangat dengan lekukan Artan
Reva dan Artan sudah memutuskan untuk kembali ke kota siang ini juga, sudah cukup berlama-lama Artan bersantai-santai seperti seorang pengangguran yang tak ada kerjaan. Banyak segala tanggung jawab Artan yang tertunda selama ia di kampung Reva, kini ia mau tak mau dengan berat hati harus kembali ke kota untuk mengurusi bisnisnya yang hampir nyaris ia tinggalkan. Dan selama itu pula Artan menyerahkan segala urusan kantornya pada Miko, sepupunya.Kemarin Miko mengubunginya dan ngomel-ngomel karena Artan yang lupa diri, berjanji mengatakan pada Miko jika ia menyerahkan segala semua urusan tanggung jawab perusahaannya pada Miko selama seminggu. Tapi, ini jauh dari kata menepati janji yang Artan ucapkan.Miko juga punya perusahaan sendiri yang harus pria itu pikirkan dan kelola. Artan berdoa semoga saja masalah ini tak sampai ke telinga kedua orang tuanya.Tadi, Reva awalnya sempat menolak untuk kembali ke kota dan menyuruh Artan pulang ke kota bersama Johan se
"Heh, kalian berdua di tanya juga kok malah saling pandang senyum-senyum. Menyebalkan!" gerutu Aldy merasa kesal, pasalnya baik Artan maupun Reva tak ada yang menjawab dengan pasti pertanyaannya.Reva terkikik, "kenapa memangnya Al? Kau terlihat sangat penasaran sekali.""Oh, ya jelas aku sangat penasaran sekali. Aku penasaran, gimana sih gaya orang pacaran yang awal pertemuannya di awali dengan pertengkaran dan kebencian?" goda Aldy yang langsung membuat wajah Reva dan Artan merah padam.Ya, siapa yang tidak tahu mengenai hubungan Reva dan Artan sebelumnya. Dan, siapa juga yang tidak tahu bagaimana interaksi yang terjalin di antara keduanya yang sering kerap kali beradu mulut.Aldy saja masih ingat dengan jelas di ingatannya, merasa geli dan lucu jika sekarang kedua orang tersebut menjadi sepasang kekasih.Apakah mereka bisa rukun? Atau malah semakin adu mulut terus?Artan melangkah mendekati Reva, merangkul pundak wanita
Setelah kepergian Niken yang akhirnya mau di antarkan oleh Aldy dan Deva. Kedua pria itu kembali pada sore hari hampir menjelang malam dengan keadaan yang sangat lelah.Reva mengambilkan air untuk adik dan temannya tersebut, keduanya bersandar lelah di kursi ruang tamu."Capek?" tanya Reva yang di angguki lemah keduanya."Siapa suruh untuk berbuat usil mengerjai orang lain." kata Reva mengomeli kedua pria itu yang tampak sekarat karena kelelahan.Aldy menatap tajam Reva, "tapi kalau tidak kerena keusilan aku, Johan dan Deva. Maka selamanya kalian berdua tak akan pernah mau saling mengungkapkan perasaan kalian masing-masing. Iya, kan?" sindir Aldy.Reva berdeham dan membuang pandangannya ke arah lain. Merasa malu atas sindiran Aldy namun ia juga merasa berterima kasih pada ketiga pria itu yang berhasil membuat ia dan Artan saling menyatakan cinta."Ah ya, dimana pria itu?" tanya Aldy celingukan mencari seseorang."Siapa?" Reva ik