Share

4. Meet Up

Sekali lagi aku menatap bayangan diriku di depan cermin, merapikan sedikit rambutku yang kubiarkan tergerai. Blouse putih berlengan panjang—dengan sedikit gelembung di bagian ujungnya—kupadukan dengan celana panjang warna khaki dan sepatu hak rendah berwarna hitam. Sengaja aku memilih outfit yang terkesan formal karena aku menebak Arsya juga pasti akan mengenakan outfit formal mengingat dia akan menemuiku di sela istirahat kerja. Dengan begitu orang-orang akan mengira bahwa kami adalah klien yang akan membicarakan pekerjaan, bukan sepasang pria dan wanita yang bertemu setelah berkenalan di situs kencan online.

Setelah yakin dengan penampilanku, aku bergegas berangkat, khawatir terjebak macet. Di tengah perjalanan, ada pesan masuk dari Arsya. Dia mengatakan mungkin akan sedikit terlambat dari jam pertemuan yang sudah kami sepakati. Aku mengiakan. Tentu saja aku memakluminya karena ini hari kerja. Untuk ke sekian kali, kurapikan lagi pakaian dan rambutku begitu akan memasuki restoran tempat kami bertemu. Arsya yang memilih tempat ini, dia juga sudah memesan meja. Restoran yang dipilih Arsya terletak di satu wilayah perkantoran di Jakarta Selatan. Kantor Arsya sepertinya memang berada tidak jauh dari sini.

Pramusaji menyambutku ketika aku membuka pintu restoran. Aku menyebut reservasi atas nama Arsya, lalu pramusaji itu mengantarku ke sebuah meja yang berada di ujung ruangan, di bagian depan. Dua buah kursi yang berseberangan menemani meja itu. Aku segera duduk setelah mengucapkan terima kasih dan tersenyum kepada pramusaji yang mengantarku tadi.

Aku mengedarkan pandanganku. Restoran ini cukup mewah dengan desain interior bernuansa klasik, meski masih termasuk casual dining. Pengunjung restoran ini—sesuai dugaanku—adalah orang-orang kalangan atas. Setelah memperhatikan penampilan mereka, lalu memperhatikan penampilanku, aku jadi merasa tidak percaya diri. Ah, biarlah. Kubuang pandanganku ke samping sambil menghela napas. Dinding kaca restoran ini membuatku leluasa memandang ke arah jalan. Tampak lalu lintas yang padat di siang yang terik ini.

Pramusaji yang mengantarkan menu membuyarkan lamunanku. Aku memutuskan untuk memesan minuman saja dulu. Selebihnya aku akan pesan ketika Arsya datang nanti. Sepuluh menit berlalu. Apa Arsya akan sangat terlambat? Atau malah dia tidak akan datang? Bibirku mengerucut memikirkan kemungkinan itu. Bukan apa-apa, kalau dia sampai tidak datang berarti dia tidak menghargaiku. Kalau benar dia tidak datang, maka aku tidak akan mau bertemu lagi kalau dia menawarkan pertemuan selanjutnya. Aku bersungut dalam hati.

Seorang pria yang baru saja masuk mengalihkan pandanganku dari jendela kaca. Setelah berbicara sebentar dengan pramusaji, pria itu berjalan—sepertinya—ke arahku. Ia terlihat menolak untuk diantarkan. Apa mungkin itu Arsya? Pria tegap itu mengenakan setelan formal berwarna abu tua. Aku meyakini itu memang dia setelah dia berjalan semakin dekat ke mejaku. Kubuang pandanganku darinya, pura-pura menatap layar ponsel, agar tidak terlalu kelihatan sedang menunggunya.

Jantungku berdegup. Bukan karena Arsya terlihat wah atau bagaimana, namun ini memang selalu terjadi padaku setiap bertemu dengan orang baru. Namun aku juga tak menyangkal bahwa penampilan pria itu dan wajahnya yang tampan memang membuatku sedikit berdebar. Semoga aku tidak canggung saat bicara nanti.

Pria itu tersenyum ketika sudah sampai di mejaku. Masih berdiri, dia mengulurkan tangannya padaku dan menyebut namanya.  Aku berdiri menyambut uluran tangannya, dan ikut menyebut namaku. Perkenalan kami terlihat sangat formal. Baguslah, jadi orang-orang akan berpikir bahwa kami adalah benar-benar klien kerja.

"Sorry for being late.” Arsya membuka percakapan.

"It's okay." Aku tersenyum tipis.

"Sudah pesan?" tanyanya menatapku. Suaranya terdengar lembut namun tegas di telingaku.

"Baru pesan minum. Mau pesan makanan tadi tapi saya menunggu Bapak datang dulu," jawabku canggung.

"Bapak?" Alisnya berkerut. "Tidak perlu terlalu formal, panggil nama saja." Arsya tertawa pelan.

Aku tidak tahu aku tadi memanggilnya dengan sebutan ‘Bapak’ karena aku terlalu canggung atau karena dia memang berpenampilan terlalu formal. Padahal aku sudah tahu usianya dari percakapan kami kemarin. Dia hanya setahun lebih tua dariku. Wajahnya juga masih terlihat muda, sesuai dengan usianya.

"Maaf, mungkin karena penampilan kamu formal banget.” Aku mencoba tertawa. Tawa yang sedikit kupaksakan.

Arsya hanya mengangguk tersenyum, kemudian menoleh pada pramusaji yang kembali datang untuk menawarkan menu. Setelah kami memesan makanan, pramusaji itu berlalu. Arsya mengalihkan tatapannya padaku lagi. Kali ini ia memandangiku cukup lama, seperti sedang menilai penampilanku. Aku jadi merasa sedikit salah tingkah, lantas memalingkan wajah.

"Saya kira kamu adalah seorang gadis yang selalu berpakaian serba hitam," komentar Arsya kemudian.

"Saya suka warna hitam, tapi tentu saja saya tidak selalu berpakaian serba hitam." Aku terdiam sejenak, lalu bertanya penasaran,"Did you expect me to be that kind of girl?"

Ia tersenyum lagi. "No, I didn't. Saya hanya berpikir bahwa kamu adalah tipe wanita seperti itu karena kamu terdengar misterius."

Aku hanya tertawa kecil.

Arsya kembali memandangiku. Kali ini aku menunduk. Aku adalah orang yang kaku dan sering merasa tidak nyaman saat berhadapan dengan orang baru. Ditambah lagi—jujur saja—pria di hadapanku ini terlihat cukup menawan.

"You look good. Better than I thought. Feminine and attractive."

Entah pujiannya itu tulus atau sekadar basa-basi, atau mungkin sedang berusaha merayuku? Aku tak tahu.

"Thanks." Aku tersenyum menatapnya, kemudian mengalihkan pandanganku lagi.

Selanjutnya obrolan kami mengalir sembari menikmati makanan setelah pesanan kami datang. Awalnya aku memang agak canggung berbicara dengannya dan Arsya pun tidak tampak seperti orang yang banyak bicara. Kami membicarakan beberapa hal yang sudah pernah kami bicarakan di aplikasi chat sebelumnya, seperti ingin memastikan bahwa orang yang ditemui memanglah orang yang sama.

"Senang bertemu denganmu, Abelia,” ucap Arsya setelah kami selesai makan.

“Saya juga,” jawabku.

“Apa rencana kita selanjutnya?”

"Maksud kamu?"

"Ya, pertemuan kita selanjutnya.” Arsya tersenyum tipis. “Makan, jalan-jalan, atau belanja mungkin?”

Aku mengerutkan kening. "Should we meet again?"

"Why not?"

"Sebenarnya saya tidak berpikir untuk bertemu denganmu lebih dari sekali. Because after all, still, you're a stranger to me. Tapi—"

“Tapi?”

Aku menggeleng tersenyum, "Bukan apa-apa."

"It's okay, Abelia. Bilang saja kalau ada yang ingin kamu katakan." Arsya mencoba meyakinkanku.

Aku tidak langsung menjawab. Menunduk sebentar, kemudian menghela napas.

"Sebenarnya saya perlu bantuan kamu," ucapku perlahan.

“Bilang saja. Kalau saya bisa, pasti akan saya bantu.”

"Saya sudah cerita padamu tentang keadaan finansial saya saat ini. Jujur saja, saya perlu pekerjaan." Aku merasa lega setelah mengatakannya.

Arsya tidak langsung menjawab, sepertinya dia mencoba menyusun kata-kata.

"Perusahaan saya saat ini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan. Dan saat buka pun kami biasanya melakukan seleksi yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama, jadi tidak akan membantumu,” jelas Arsya.

Aku mengangguk mengerti. “Oh, I see.”

"Sepertinya  beberapa perusahaan milik kolega saya ada yang sedang membuka lowongan, nanti saya kirim ke kamu informasinya."

Kembali aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Arsya menatapku. "Saya bisa saja meminta mereka untuk langsung menerimamu di perusahaan mereka. Tapi saya bukan tipe orang seperti itu. Tidak apa kalau kamu harus melewati proses seleksi?"

"Oh, ya, tentu saja!” sahutku cepat. “Saya juga bukan tipe orang yang mau diterima kerja karena orang dalam.”

"Maaf, saya tidak bermaksud—”

"Tidak apa-apa," selaku mencoba tersenyum.

Arsya balas tersenyum. Kemudian dia memanggil pramusaji untuk meminta bill pesanan.

"Saya harus kembali ke kantor, Abelia.” Ia melirik arlojinya.

“Oke, saya juga ada keperluan lain nanti," jawabku cepat. Aku sebenarnya tidak ada keperluan apa-apa hari ini, tapi tentu saja aku tidak mau terlihat benar-benar seperti pengangguran yang mengenaskan.

"Thanks for today. Saya berharap kita bisa bertemu lain waktu.” Arsya menatapku.

Aku tak menjawab. Kemudian ia menawarkan untuk mengantarku pulang, namun aku menolak dengan alasan bahwa aku bisa pulang sendiri. Ia hanya mengangguk maklum, lalu menemaniku menunggu taksi online yang kupesan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status