"Aku berciuman dengan Lady Evelina," ucap Ditrian parau. Ia meremas rambut hitamnya sambil tertunduk lesu.
"Bukankah itu hal yang bagus?" tanya Everon. Ia melihat Ditrian tiba-tiba setengah berlari menuju ruang serba guna. Grand Duke Everon pun menyusulnya. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres hingga Raja Ditrian bersikap seperti itu.
Pria ini terlihat sangat gusar tadi. Kini ia duduk dengan memegangi kepalanya.
"Tidak! Ada yang melihat kami!" sergahnya.
"Siapa?"
"Entahlah. Yang jelas tamu dari salah satu bangsawan. Apa yang akan mereka pikirkan tentangku?!"
Everon hanya menepuk bahu tegang Ditrian. Ia menyeringai dan mendengkus geli dengan gelagat sepupunya itu. Beberapa saat kemudian ia mulai bicara.
"Tenang saja kawan. Tidak akan ada rumor buruk tentangmu. Sepertinya seluruh pergaulan atas telah merestuimu dengan Evelina. Justru ini adalah hal bagus!"
"Tapi ... bagaimana dengan Putri Sheira? Aku baru saja menikahi seorang selir. Lalu aku ketahuan berciuman dengan putri Duke!" bantah Ditrian sembari mendongak. Wajah tampan sepupunya itu panik.
Everon berdecak, lalu menggeleng. "Aku tidak menyangka kau masih memikirkan selir bodohmu itu."
xxx
Di sudut ini. Tidak ada seorang pun yang dengan sengaja memperhatikannya. Kalau pun iya, mereka hanya lewat untuk mencibir.
"Lihat itu! Astaga! Wajahnya benar-benar seperti kuda!" desis salah satu tamu bangsawan. Lalu ia dan temannya itu berlalu begitu saja.
Kira-kira begitu bisikan para tamu. Mereka berbisik dengan keras agar ia bisa dengar.
Namun Putri Sheira dengan anggun meminum anggurnya. Ia terlihat begitu nyaman.
'Akhirnya aku bisa merasa hidup kembali.'
"Hey! Apa kau lihat tadi! Raja Ditrian berdansa dengan Lady Evelina!" seru seorang pria bangsawan yang agak tua.
Siapa yang tidak melihat? Semua sorakan tertuju pada mereka saat itu terjadi. Sheira juga menonton mereka dari jauh sambil meminum anggurnya. Dari awal berdansa hingga selesai. Lalu entah kemana keduanya. Ia tak peduli.
Setelah itu ia kembali memperhatikan tamu-tamu bangsawan Direwolf ini. Ia melihat telinga-telinga mereka senada dengan warna rambut di kepala. Sambil mengunyah pastri yang manis, ia berdiri santai.
Berharap tidak ada seorang pun yang melihat atau mengusiknya. Yah, beberapa cibiran tidak apa-apa sih.
Lebih suka yang seperti ini.
Lalu sekelompok gadis muda terlihat menggosip seru. Gaun-gaun mereka tidak kalah mewah. Mungkin dibuat dengan sutera atau satin. Banyak bordiran dan renda-renda hingga terlihat sangat ramai. Sudah seperti hiasan kue ulang tahun. Seperti kue-kue ulang tahun sedang berjalan berbondong-bondong di tengah ruang pesta.
"Aku benar-benar melihatnya! Evelina berciuman dengan Yang Mulia Raja!"
Hampir saja ia tersedak. Buru-buru mengambil segelas air di meja dan menenggak tandas. Dia tidak ingin dan tidak mau tahu. Tapi dengan volume suara gadis-gadis itu, dia tidak bisa pura-pura tuli.
"Mereka memang cocok! Semoga Evelina bisa menjadi ratu kita!" seru gadis yang lain.
"Hey ... pelankan suaramu!" tegur salah satu gadis yang lehernya paling panjang. "Kau tidak lihat?" ia menyenggol bahu temannya tadi, lalu menggedik melirik ke arah Putri Sheira. Mereka menutupi wajah dengan kipas-kipas yang mereka bawa di tangan kanan. Namun mata mereka memicing sinis pada Sheira.
"Biarkan saja! Biar dia dengar!" ucap yang gemuk. "Perempuan macam itu mana pantas dengan raja kita. Aku harap Evelina benar-benar jadi ratu! Supaya dia bisa menyingkirkan si wajah kuda itu!" si gemuk itu menatap Putri Sheira dengan jijik.
Putri Sheira berusaha keras menahan tawa. 'Ah ... lucu sekali orang-orang ini.'
Tak disangka, primadona pesta pun datang.
Lady Evelina yang paling cantik di antara gadis-gadis itu. Dengan gaun zamrudnya yang menjuntai, menyapa teman-temannya, termasuk yang gemuk tadi.
"Maafkan atas kelancangan saya, Lady. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda berdua." Sepertinya itu gadis yang tadi melihatnya berciuman dengan raja.
"Tidak apa-apa Lady. Aku tahu itu bukan kesengajaan," ia masih tersenyum ramah. "Oh!" tiba-tiba Evelina melihat Putri Sheira tengah sendiri di sudut.
Mata mereka bertemu. Tentu saja karena sedari tadi Sheira memperhatikan gadis-gadis itu.
"Permisi sebentar," lalu Evelina melangkah perlahan dan penuh martabat ke arah Sheira.
'Hah ... ini dia .... Datanglah kekasih Ditrian.' Putri Sheira memutar bola matanya.
Ia lalu membungkuk hormat. "Tuan Putri ...." salamnya.
"Lady Evelina, kita bertemu lagi. Apa Anda menikmati pestanya?" seutas senyum ia berikan untuk gadis itu.
"Tentu saja, Tuan Putri."
"Saya melihat Lady dan Yang Mulia Raja berdansa tadi. Sepertinya Anda sangat menikmatinya."
Evelina mengulum singkat bibirnya dengan gugup. Namun ia berhasil menyembunyikan kegugupan itu.
"Aku ... ingin memberitahu sesuatu pada Tuan Putri."
"Ada apa Lady?" Putri Sheira masih anggun. Lalu putri Duke Monrad itu melangkah mendekat. Ia memastikan tak ada orang yang terlalu dekat di sekitar mereka.
"Aku ... sangat mencintai Yang Mulia sejak dulu," ucap Evelina lirih. Agak takut. "Dan sepertinya Yang Mulia juga tertarik padaku."
"Lalu?" Sheira datar. Dalam pikirannya, tentu hal semacam ini tak akan bikin dia kaget.
"Mungkin ... kami ... ditakdirkan bersama. Oleh karena itu ... meskipun Putri adalah selir Yang Mulia, aku ingin agar Tuan Putri tidak menghalangi cinta kami berdua." Tatapan Evelina terlihat tajam dan sungguh-sungguh.
Sheira merasa geli. Ia ingin tertawa lepas. Tetapi hanya seutas senyum yang tercipta di bibirnya.
"Kalau aku menghalangi, apa yang akan kau lakukan?" godanya. Mudah sekali membuat gadis itu berapi. Evelina meremas tangannya.
"Aku akan membuat Yang Mulia jatuh ke pelukanku bagaimana pun caranya. Bahkan jika aku harus menyingkirkanmu."
Akhirnya Sheira tak bisa menahan. Ia terkekeh.
"Haha ... menyingkirkanku ya? Lady ... sebelum kau mencium suamiku, atau berangan-angan membuatnya jatuh ke pelukanmu. Aku sudah menghabiskan satu malam dengannya. Dan ...," Sheira mengangkat tangan kanannya, memamerkan cincin pernikahan berwarna emas. "Akulah istrinya, bukan kau."
xxx
"Sudah jelek! Dia juga jahat! Selir raja memang keterlaluan!" ucap salah satu bangsawan tua.
Ditrian baru saja keluar dari ruang serba guna. Mendengar obrolan itu, ia bertatapan dengan Everon.
"Tunggu di sini," ucap Everon pelan.
Saling paham, Everon agak menjauh dari Ditrian dan mendekati gerombolan bangsawan itu. Ia mengobrol sejenak. Wajah pria tua itu terlihat tidak nyaman.
Everon pun kembali menuju ke tempat Ditrian berdiri. Ditrian telah memasang wajah penasaran.
"Kenapa?"
"Selirmu membuat Evelina menangis," ia berdecak. "Baru muncul malah membuat masalah! Ditrian, kau harus bisa mengendalikan selirmu! Kalau kau biarkan dia liar begitu, apa yang akan orang pikirkan?!"
Ditrian terlihat bingung dan gusar. "Aku akan bicara padanya nanti."
Setelah itu, Everon mencari-cari Evelina dan menenangkannya. Hingga acara puncak pun tiba. Acara bersulang pesta kemenangan. Everon telah kembali bersama Evelina yang sudah terlihat lebih baik, selesai menangis.
Semua orang sudah berkumpul. Termasuk Raja Ditrian, Grand Duke Everon dan Lady Evelina. Mereka semua memegang gelas anggur merah di tangan.
Grand Duke Everon mengambil sebuah botol anggur yang disediakan pelayan. Ia menuangkan cairan marun itu ke gelasnya, gelas Raja Ditrian, dan milik Lady Evelina.
"Mari kita bersulang atas kemenangan kerajaan dan kekaisaran!" seru Grand Duke Everon. "Semoga kerajaan kita diberkati oleh para dewa!"
Raja Ditrian mengangkat gelasnya. "Semoga arwah prajurit dan ksatria selalu bersama dewa!"
"Ya!" seru para tamu.
"Hidup Raja Ditrian!" Everon mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
"Hidup Raja Ditrian! Hidup Raja Ditrian!" seluruh tamu yang hadir bersulang dan meneriakkan namanya.
Mereka pun mulai meminum anggurnya.
Tiba-tiba ...
"Aaakh!"
Belum sempat Ditrian meminumnya, seseorang memukul gelasnya hingga jatuh dan pecah. Begitu pula milik Everon dan Evelina. Gadis itu baru meminum seteguk.
"Hey! Apa-apaan ini?!" pekik Everon.
Pecahan kaca berserakan di lantai. Marmer yang tadinya mengkilap telah kotor dibasahi oleh genangan dan percikan anggur merah.
Raja Ditrian, Grand Duke Everon, Lady Evelina dan pasang-pasang mata para tamu melihat ke arah yang sama. Putri Sheira dengan wajah kuda yang memuakkan.
Wanita yang buruk rupa itu terengah-engah. Tak ada yang melihatnya berlari ke arah mereka tadi. Tidak sempat dihentikan. Ini adalah hal paling memalukan yang pernah Ditrian alami.
"Aaakkh!" Evelina menjerit. Hanya sepersekian detik hingga tangan wanita itu menjambak rambutnya. Sheira memukuli tengkuknya berkali-kali.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Raja Ditrian pada Sheira. Ditrian menariknya dengan kasar menjauh dari Evelina. Semua orang di sana melihat. Raja murka.
Sheira masih ingin berusaha meraih Evelina. Tetapi ditahan dan didorong oleh Ditrian. Evelina yang mencicit menahan sakit bersembunyi di balik punggung sang raja.
"Pengawal! Bawa Putri Sheira ke kamarnya!"
Derap langkah para pengawal berbaju zirah menghampiri si wanita kuda.
"Ti-tidak!" serunya. Dengan paksa para pengawal merampas lengannya dan menyeret tubuhnya keluar dari aula pesta.
Adegan itu begitu dramatis. Putri Sheira meronta-ronta dan berteriak-teriak minta dilepas. Sementara semua orang merasa iba pada Lady Evelina. Entah mengapa, Raja Ditrian terlihat begitu gagah di mata Evelina. Pria itu berusaha melindunginya!
Gerutuan suara para tamu pun kembali terdengar. Mengeluhkan selir raja yang gila.
Grand Duke Everon menengahi. Ia menarik nafas dan mencoba menenangkan para tamu. Termasuk Evelina yang terlihat trauma.
"Haha ... itu hanya kecelakaan kecil saja. Mari kita lanjutkan acara kita!" ucapnya canggung. Pada akhirnya mereka semua menuruti atmosfir Everon.
"Lady ... Anda tidak apa-apa?" tanya Raja Ditrian. Ia memegang bahu Lady Evelina dengan khawatir. Evelina terlihat sedikit takut. Tapi ia mengangguk dan tersenyum karena itu membuat Ditrian perhatian padanya.
Pelayan yang lain memberikan gelas yang baru untuk mereka bertiga. Belum sempat anggur dituang ....
"Lady Evelina!" seru Ditrian. Tubuh gadis itu tiba-tiba terjatuh. Ditrian berhasil menangkap dan memeluknya. Dia pingsan.
Matanya terpejam. Lehernya perlahan berwarna biru.
"Dia keracunan!"
"Evelina! Evelina!" Duke Gidean von Monrad yang gemuk tergopoh. Ia langsung jatuh berlutut dan meraih Evelina dari pelukan Ditrian. "Panggil dokter!" perintah Ditrian. "Yang Mulia! Apa yang terjadi dengan putriku?!" tatap Duke Gidean pilu, ia mulai menangis. Wajah pria gemuk itu histeris, panik. Ia terisak dan wajahnya jadi basah air mata. Ia memanggil nama Evelina berkali-kali. Sesekali menggoyahkan putrinya agar bangun. Grand Duke Everon berusaha menenangkannya. Tak lama, beberapa dokter istana datang. Ditrian bangkit dan membiarkan dokter-dokter itu mengambil alih. Mereka menyentuh nadi dan leher Lady Evelina. Wajah Ditrian memucat. Seorang tamu, putri Duke pula! Keracunan di pestanya. Bahkan ia juga hampir meminum anggur yang sama. Dia merasakan sebuah keanehan. Seharusnya, bagi dirinya seorang Direwolf akan sangat mudah untuk mencium racun di anggur itu. Bahkan bisa dibilang, Ditrian sudah pernah membaui segala macam racun di benua ini.
"Sial!" umpatnya. Panik. Ia berdecak lalu memegangi dahinya. Sudah tak terkejut lagi, kini ia terlihat kesal. "Kau ini siapa?" tanya Ditrian lagi. Wanita itu kini menatapnya. "Aku ... Sheira!" Ditrian terpaku di sana. Baru pertama kali ia melihat wanita yang secantik ini seumur hidupnya. Wajahnya sangat unik. Hidungnya tinggi, pipinya merona seperti mawar. Bibirnya tipis mempesona. Seperti berasal dari negara lain. "Pasti Magi penyamaranku terlepas karena aku menggunakan Magi yang lain. Ah sial!" gerutunya. Ditrian tak mengerti apapun yang wanita itu ucapkan. Mata pria itu memicing. Ia lalu mengacungkan pedangnya lagi pada orang asing ini.
Baru saja Ditrian mendapatkan laporan kepala pengawal istana. Tidak ada tamu bangsawan yang terluka. Mereka bisa dievakuasi tepat waktu. Pagi itu ruang kerjanya sibuk. Dipenuhi beberapa dokumen dan laporan soal kejadian kemarin. Termasuk daftar benda yang terbakar dan perkiraan perawatan ruang pesta. Mungkin tidak akan bisa dipakai untuk acara selama beberapa minggu. "Yang Mulia. Lady Emma ingin bertemu dengan Anda," ucap pengawal. "Biarkan dia masuk," Ditrian duduk di kursi kerjanya. Dia hanya tidur sebentar semalam. Bekas kebakaran ruang pesta sedang diurus dan beberapa pegawai istana juga mondar-mandir ke ruangannya. Lady Emma masuk ke ruangan dengan terengah. Ia terlihat begitu tergesa. Wajahnya pucat dan panik. "Yang Mulia, m
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?" lirih Ditrian. Mata emas pria itu masih menggerayangi tubuh moleknya. Mencuri-curi pandang? Mungkin bisa dibilang begitu. Sheira mengernyit. Justru kini ia kebingungan. "Kau tahu 'kan? Sebenarnya di dunia ini kita semua sama. Kita adalah manusia yang sama. Tetapi dewa menurunkan mukjizat untuk setiap mahluk. Direwolf, Vampir, Elf ... kau bisa membedakan mereka dari telinga dan gigi-gigi mereka. Manusia setengah penyihir bisa mengendalikan elemen masing-masing seperti api, air, tanah, dan udara. Dan penyihir murni bisa menjadi elemen mereka seutuhnya, seperti yang kita hadapi waktu itu." Ditrian mengangguk kecil. Dia paham kalau hanya soal itu. "Lalu?" "Kita beruntung bisa mengalahkan y
Lady Emma adalah wanita Direwolf paruh baya. Ia berasal dari keluarga bangsawan kecil di wilayah barat kerajaan. Ia telah melayani mendiang ratu, ibunda Raja Ditrian. Dari pertama kali menikah, hingga langit memanggilnya saat ia terbaring di ranjang untuk terakhir kali. Sudah bertahun-tahun lamanya, hingga Raja Ditrian menikahi seorang selir. Putri yang buruk rupa. Dayang istana, putri-putri bangsawan yang masih muda banyak mengeluh. Menggerutu. Mereka merasa kehormatannya diinjak karena harus melayani selir buruk rupa. Dari negeri jajahan pula. Lady Emma juga sedih. Tetapi ia hanya ingin melakukan yang terbaik di hari tuanya. Sebagai kepala dayang istana. Pagi ini seperti biasa
"Sebetulnya dia ingin ikut bersama kami ke istana. Namun dokter belum mengijinkan," sambung Duchess Anna. Ditrian agak merasa canggung. Ia melirik Sheira yang diam mendengarkan. "Ah begitu. Bagus kalau Lady Evelina sudah lebih baik," ucapnya berusaha tenang. "Akan menjadi sebuah kehormatan jika kami bisa membalas kebaikan Yang Mulia. Kami akan memberikan apapun," Duke Gidean tersenyum di balik kumisnya yang tebal dan rapi. "Ah itu tidak perlu, Tuan Duke," jawab Ditrian. Ingin sekali ia mengalihkan topik tentang Evelina. "Tidak. Tidak Yang Mulia. Kami benar-benar ingin membalas kebaikan Yang Mulia. Evelina adalah anak kami satu-satunya. Dia adalah nyawa dan harapan dari keluarga
"Aku berada di sini, memang ingin menemui Tuan Duke dan Duchess. Sayangnya Lady Evelina tidak hadir," ucap Putri Sheira dengan tenang dan anggun. Di meja itu, sudah tidak ada lagi yang bisa bicara. "Aku ingin meminta maaf kepada Lady Evelina karena telah memukulnya saat di pesta. Dan pastinya membuat salah paham. Semata-mata kulakukan agar racunnya bisa dimuntahkan secepatnya. Oleh karena itu, aku atas nama pribadi dan keluarga kerajaan, dari lubuk hati yang paling dalam, meminta maaf pada keluarga Duke dan Duchess Monrad, terutama Lady Evelina." Putri Sheira dengan anggun membungkuk sedikit di kursinya. Wajahnya terlihat mengiba dan prihatin, menunjukkan sebuah penyesalan. Duke Gidean telah pasi, namun ia tetap balas membungkuk.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Peter?" Pangeran Alfons kini tengah berada di ruang baca. Ruangan itu disinari beberapa lampu minyak dan lilin. Peter, ajudan kaisar yang tadi membisik ada di sana. Ia berdiri kecut tertunduk. "Bagaimana penyihirku mati? Bagaimana bisa Aken dibunuh?" tanya Pangeran Alfons lagi. Ia masih mengenakan baju yang sama saat makan besar. Baju dari beludru berwarna hitam. Lebih mirip jas panjang yang menutupi hingga belakang lututnya. Ada sulaman-sulaman emas berbentuk sulur-sulur dedaunan di kerah pria itu. Pangeran Alfons menuang segelas air dari teko emas di meja. Peter melirik kesana kemari dengan gugup. Ia menelan ludah.