Sheira mengernyit. Justru kini ia kebingungan.
"Kau tahu 'kan? Sebenarnya di dunia ini kita semua sama. Kita adalah manusia yang sama. Tetapi dewa menurunkan mukjizat untuk setiap mahluk. Direwolf, Vampir, Elf ... kau bisa membedakan mereka dari telinga dan gigi-gigi mereka. Manusia setengah penyihir bisa mengendalikan elemen masing-masing seperti api, air, tanah, dan udara. Dan penyihir murni bisa menjadi elemen mereka seutuhnya, seperti yang kita hadapi waktu itu." Ditrian mengangguk kecil. Dia paham kalau hanya soal itu.
"Lalu?"
"Kita beruntung bisa mengalahkan y
Lady Emma adalah wanita Direwolf paruh baya. Ia berasal dari keluarga bangsawan kecil di wilayah barat kerajaan. Ia telah melayani mendiang ratu, ibunda Raja Ditrian. Dari pertama kali menikah, hingga langit memanggilnya saat ia terbaring di ranjang untuk terakhir kali. Sudah bertahun-tahun lamanya, hingga Raja Ditrian menikahi seorang selir. Putri yang buruk rupa. Dayang istana, putri-putri bangsawan yang masih muda banyak mengeluh. Menggerutu. Mereka merasa kehormatannya diinjak karena harus melayani selir buruk rupa. Dari negeri jajahan pula. Lady Emma juga sedih. Tetapi ia hanya ingin melakukan yang terbaik di hari tuanya. Sebagai kepala dayang istana. Pagi ini seperti biasa
"Sebetulnya dia ingin ikut bersama kami ke istana. Namun dokter belum mengijinkan," sambung Duchess Anna. Ditrian agak merasa canggung. Ia melirik Sheira yang diam mendengarkan. "Ah begitu. Bagus kalau Lady Evelina sudah lebih baik," ucapnya berusaha tenang. "Akan menjadi sebuah kehormatan jika kami bisa membalas kebaikan Yang Mulia. Kami akan memberikan apapun," Duke Gidean tersenyum di balik kumisnya yang tebal dan rapi. "Ah itu tidak perlu, Tuan Duke," jawab Ditrian. Ingin sekali ia mengalihkan topik tentang Evelina. "Tidak. Tidak Yang Mulia. Kami benar-benar ingin membalas kebaikan Yang Mulia. Evelina adalah anak kami satu-satunya. Dia adalah nyawa dan harapan dari keluarga
"Aku berada di sini, memang ingin menemui Tuan Duke dan Duchess. Sayangnya Lady Evelina tidak hadir," ucap Putri Sheira dengan tenang dan anggun. Di meja itu, sudah tidak ada lagi yang bisa bicara. "Aku ingin meminta maaf kepada Lady Evelina karena telah memukulnya saat di pesta. Dan pastinya membuat salah paham. Semata-mata kulakukan agar racunnya bisa dimuntahkan secepatnya. Oleh karena itu, aku atas nama pribadi dan keluarga kerajaan, dari lubuk hati yang paling dalam, meminta maaf pada keluarga Duke dan Duchess Monrad, terutama Lady Evelina." Putri Sheira dengan anggun membungkuk sedikit di kursinya. Wajahnya terlihat mengiba dan prihatin, menunjukkan sebuah penyesalan. Duke Gidean telah pasi, namun ia tetap balas membungkuk.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Peter?" Pangeran Alfons kini tengah berada di ruang baca. Ruangan itu disinari beberapa lampu minyak dan lilin. Peter, ajudan kaisar yang tadi membisik ada di sana. Ia berdiri kecut tertunduk. "Bagaimana penyihirku mati? Bagaimana bisa Aken dibunuh?" tanya Pangeran Alfons lagi. Ia masih mengenakan baju yang sama saat makan besar. Baju dari beludru berwarna hitam. Lebih mirip jas panjang yang menutupi hingga belakang lututnya. Ada sulaman-sulaman emas berbentuk sulur-sulur dedaunan di kerah pria itu. Pangeran Alfons menuang segelas air dari teko emas di meja. Peter melirik kesana kemari dengan gugup. Ia menelan ludah.
Detak jam meja yang lembut bisa terdengar jelas di ruang kerja raja. Entah sudah berapa menit. Teh yang dihidangkan pelayan juga pasti dingin. Cahaya yang menyusup dari jendela telah berwarna jingga. Hari sudah mulai sore. Namun Raja Ditrian dan Sir Kedrick belum bicara apapun. Meskipun Raja Ditrian telah meminta Sir Kedrick untuk beristirahat, tetapi di saat seperti ini pun, pria itu bertanggung jawab pada majikannya untuk melapor. Wajah Sir Kedrick tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Pria itu terlihat tak berdaya. Hanya duduk beku. Tatapannya kosong seperti melihat sumur yang tak terhingga dalamnya. Padahal saat perang melawan orang-orang Galdea dulu, dia yang paling gagah berani untuk menerima semua anak panah musuh. Hari
Ditrian berdecak kesal. Ia mengalami hari yang buruk belakangan ini. Tidak butuh dikuliahi atau diteriaki seperti itu. "Jika tidak ada keperluan, pergilah. Kembali ke kamarmu," ucap Ditrian setengah mabuk. Sheira semakin dongkol. Ia berbalik dan menyibak dengan kasar setiap tirai di ruangan itu. Cahaya siang masuk membuat Ditrian menyipit dan menggunakan tangan kanan untuk menghalau sinar ke matanya. Kini ruang kerja raja menjadi terang benderang. Dia menuju ke kursi kerja Ditrian dan menamparnya dengan secepat kilat. Ditrian tak sempat menghindar. Ia terhenyak. Mulutnya menganga dan seluruh kesadarannya pulih. "Hey! Untuk apa kau lakukan itu?!" "Apa kau sudah gila?! Untuk apa k
"Wajah?" tanya Ditrian lirih. Sir George mengangguk pelan. "Lalu salah satu prajurit mulai berteriak-teriak. Dari kabut yang tebal, kami bisa mendengar langkah seseorang di atas rumput liar. Semakin lama, semakin banyak. Lalu kami merasa ada sesuatu yang bergerak di semak-semak. Kami pikir, kami diserang. Kami pun waspada. Lalu ...." Sir George menutupi matanya dan tertunduk takut. Ia mulai mengucap kalimat-kalimat doa pada dewa dengan lirih, dengan tergesa. "Lalu ... apa?" Ditrian dan Sheira menunggu. Perasaan ngeri dan penasaran memenuhi benak keduanya. Setelah Sir George selesai dengan doanya, ia menurunkan tangannya untuk menatap mereka berdua. Ia benar-benar tenang meski dengan wajah yang takut.
"Hantu? Hm. Selama aku hidup, aku tidak pernah melihatnya. Mereka bilang, roh-roh orang yang sudah mati akan bersama para dewa.""Lalu ... bagaimana kau akan menjelaskan cerita Sir George?"Sheira meliriknya. Ia bisa melihat wajah Ditrian yang tegang di kegelapan. Wanita itu terkekeh."Kau takut pada cerita Sir George? Hahaha.""A-aku tidak takut .... Hanya saja ... aku belum bisa menemukan hal logis pada ucapan Sir George."Sheira kembali menatap langit-langit."Kuyakin ini bukan pertama kalinya kau mendengar cerita hantu, bukan?" Ditrian menggeleng. "Lalu kenapa kau takut pada yang ini?"