LOGIN"Kau hanyalah sebuah upeti dari kaisar!" Sudah 80 tahun Raja Ditrian melajang. Tapi di pernikahan pertamanya, dia harus menikah dengan seorang selir buruk rupa dari negeri jajahan! Mereka saling membenci karena dahulu kerajaan mereka adalah musuh bebuyutan. Di sisi lain, Raja Ditrian tergoda pada seorang putri bangsawan yang cantik, baik hati dan tersohor. Siapakah yang akan dipilihnya? Selir buruk rupa yang menjengkelkan, atau putri bangsawan yang cantik?
View More“Ini hari pertamaku, aku harus bersiap. Aku tidak boleh menyerah demi anak semata wayangku, aku harus bisa membiayai pengobatannya!”
Baru saja kakinya hendak melangkah menuju lift, suasana langsung hening ketika seorang pria berwajah tegas memasuki lobi.
Postur tubuhnya tegap, langkahnya mantap, dan sorot matanya dingin namun memikat. Semua karyawan menunduk memberi salam.
Itu adalah Jonathan, CEO muda yang terkenal karismatik sekaligus ditakuti oleh para kalangan pengusaha yang bahkan sudah lama berkecimpung di dunia bisnis.
Jonathan bersama asistennya langsung memasuki lift sambil membawa aura dominannya, sementara Gea masih tercengang karena kharisma pria muda itu.
“Permisi,” sapa seseorang membuat Gea kaget.
“Gea, kan?” wanita itu tersenyum “Mari ikut saya.”
Gea, wanita itu menarik napas dalam-dalam sebelum menyusul wanita yang menyapanya tadi naik ke lantai atas menggunakan akses lift karyawan.
Setibanya mereka di lantai tiga puluh lima, Gea langsung diarahkan ke meja kerjanya yang terletak di dalam ruangan CEO–yakni Jonathan.
“Kamu duduk saja di situ, nanti bos kami masuk setelah pukul delapan pas.” lanjutnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Gea seorang diri.
Gea menelan ludahnya susah payah dan menatap kepergian wanita itu dengan ragu.
Ia memandangi meja kerjanya yang berdampingan dengan sang CEO, sebelum membawa tubuhnya duduk disana sambil menunggu atasannya itu datang.
Tak lama kemudian, pintu terbuka membuat Gea panik dan cepat-cepat berdiri. “Selamat pagi, Pak …!” mulutnya terbuka lebar, tercengang.
Sosok yang disebut sebagai atasannya itu, adalah pria yang dia temui di lobi tadi. Pria yang dia kira anak CEO dari perusahaan ini ternyata atasannya sendiri.
Jonathan hanya meliriknya sekilas sebelum mendudukan dirinya di kursi kerjanya. Pria itu dengan santai menaikkan kedua kakinya ke atas meja, lalu memejamkan mata sambil melipat tangan di dada.
Gea menatapnya bingung, namun dia tidak mengatakan apa-apa.
Hari pertamanya terasa aneh.
Sejak pagi, ia duduk di meja sekretaris tanpa diberi satu pun pekerjaan.
Jonathan sama sekali tidak menyapa atau memerintahkannya, bahkan saat istirahat makan siang–pria itu tampak dingin dan kaku.
Hingga jam kerja hampir selesai, Gea memberanikan diri membereskan meja, bersiap untuk pulang.
“Pak Jo, saya pamit pulang …!”
Namun suara dingin memotong langkahnya.
“Siapa yang menyuruhmu pulang?”
Gea menoleh kaget. “Bu-bukannya sudah jam pulang, Pak?”
Tatapan Jonathan menusuk tajam. “Tidak ada yang boleh pulang sebelum saya suruh.”
Suaranya sinis, penuh wibawa.
Gea menelan ludah. “Ba-baik, Pak.”
Jonathan meliriknya sekilas, ekspresinya datar. “Sekretaris baru?”
“I-iya, Pak. Nama saya Gealarnya Enjelyn.” Ia menunduk sopan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Tapi Bapak bisa panggil saya Gea saja.”
Jonathan tidak membalas perkenalanan Gea, pria itu malah terfokus ke layar laptopnya sejak tadi tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.
“Aku yang sejak tadi di sini, apa dianggap patung? Mentang-mentang Bos, main seenaknya saja mendiamkan orang begitu., Sopankah begitu walaupun dia yang punya perusahaan?” Gea terus menggerutu dalam hati, merasa kesal dan sakit hati tentu nya.
Bagaimana tidak?
Gea sudah didiamkan selama delapan jam.
Apalagi dirinya tipe orang paling tidak suka didiamkan.
“Kalo bukan karena biaya pengobatan Nina, aku sudah pergi sejak tadi, daripada didiamkan seperti ini.” gerutunya. “Bos macam apa yang memperlakukan sekretarisnya sedingin ini?”
Merasa muak dengan diamnya sang bos, Gea akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Maaf, Pak. Dari tadi saya tidak diberi pekerjaan. Apa yang harus saya lakukan?” Jantungnya berdetak kencang, takut salah bicara. Dia takut kalau ucapan itu malah membuatnya dihukum atau bahkan dipecat.
Jonathan menyandarkan punggung ke kursi, sudut bibirnya terangkat miring. Senyum itu sinis, tapi anehnya justru menambah pesona.
“Kerjaan, ya?”
“I-iya, Pak.”
Jonathan berpikir sejenak, lalu berkata dingin.
“Pesankan saya wanita malam, dan hotel bintang lima. Soal bayaran, kamu ambil uangnya pada asisten saya. Terserah berapa yang diminta wanita malam yang kamu dapatkan, bayar saja.” Jonathan memandang Gea, dari atas ke bawah.
“Aku mau yang bisa tahan lama di ranjang, dan pandai memuaskanku dengan berbagai gaya,” lanjut Jonathan sinis.
Gea tercekat. “Wa-wanita malam … Pak?”
Tatapan Jonathan tak berubah. “Apa sekretarisku tidak mengerti bahasa sederhana?”
Dengan perasaan kacau, Gea hanya bisa mengangguk. “Baik, Pak.”
Tangannya gemetar saat menekan layar ponsel, otaknya berpacu. “Bagaimana caranya? Ke mana aku harus mencari wanita malam?”
“Oh iya, kalau kau bingung, tanya saja ke wanita yang mengantarmu tadi. Bayarannya, atur sendiri dengan dia.” Jonathan kembali menatap laptop. “Sebelum jam 8, kau bisa?”
“Bi-bisa, Pak!” Gea terpaksa melakukan ini, meski tidak pernah ia bayangkan bekerja jadi sekretaris CEO ternyata sekotor ini. “Un-untuk biaya?”
Jonathan menatap Gea kembali, kali ini sorotannya sangat tajam. “Aku bilang sekali lagi, dengar baik-baik! Sebelum jam 7, kau harus dapat wanita malam. Bayarannya, terserah permintaan wanita itu, kau yang atur dengan wanita dari tim PR tadi. Ingat juga ciri-ciri wanita yang aku mau. Sampai kau gagal atau wanitanya tidak sesuai kemauanku, kau dipecat!”
Gleg!
Dipecat di hari pertama bekerja?
Ucapan itu menampilkan kilas balik kondisi putrinya yang sedang dirawat di sebuah klinik.
Kemarin, sesuatu terjadi pada sang anak.
Saat selesai interview, dia sudah membawa jajan ciki kesukaan Nina, anak semata wayangnya.
Pintu kamar dibuka, Gea langsung menghamburkan ciki itu di lantai. Dia melihat Nina duduk lemas di sisi ranjang dengan wajah pucat.
Gea panik.
Hari sudah malam.
Dompetnya kosong, uang belanja kemarin sudah habis.
Bagaimana caranya dia membawa sang anak untuk periksa ke dokter? Ia buru-buru meraih ponselnya di dalam saku celana, mencoba menghubungi Aris, suaminya yang tidak pulang dua hari ini.
Nomor Aris tidak aktif.
Sekuat mungkin, Gea menahan tangis, dia harus menemukan solusi terlebih dahulu sebelum air matanya menetes!
Dengan mata sembab, ia menggendong Nina sebisanya, lalu berlari ke rumah tetangga terdekat. Ia mengetuk pintu keras-keras sambil menangis.
Setelah susah payah mengetuk pintu, akhirnya dia dibukakan.
Tetangga yang keluar adalah Bu Rani, wanita paruh baya yang merupakan ibu RT di daerah tempatnya tinggal, menatap Gea dari ujung kepala sampai kaki.
Gea terisak, memeluk Nina yang semakin lemas dan terisak di pelukannya.
“Bu, saya janji … saya bukan mau nipu. Nina sakit, muntah terus dari tadi. Saya takut ada apa-apa. Tolong … saya janji, saya akan balikin besok.”
Bu Rani menyilangkan tangan di dada, tatapannya sinis dan angkuh.
“Besok? Besok kamu dapat duit dari mana? Suami kamu aja kerjaannya nggak jelas, mabuk tiap malam. Mau ganti pakai apa kamu? Daun?!” celetuknya tajam.
Gea terus memohon dengan satu tangan di depan wajah, sementara tangan yang lain menahan Nina di gendongannya. Rani sempat terdiam, menatap wajah pucat Nina, lalu kembali menatap Gea.
Sebagai sesama ibu, dia tahu, Nina benar-benar sakit dan Gea butuh bantuannya, terlebih Gea menunjukkan berkas kontrak kerja kalau Gea adalah sekretaris baru yang sudah dia tandatangani.
“Gea!”
“Tuli ya, kamu!?”
Bentakan Jonathan kembali membuat Gea sadar kalau dia tidak bisa larut dalam kesedihan itu. Ada tugas yang harus dilakukannya.
Setelah mengangguk paham, Gea turun ke lantai satu, tapi langkahnya terhenti ketika Jonathan kembali memanggilnya.
“Dari interview kemarin, aku tahu kamu butuh uang.” Jonathan menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Gea. “Kamu dapat bonus kalau perempuan itu benar-benar sesuai tipeku.”
“Hotel Viceroy, kamar 1205. Ingat baik-baik!”
Sudah?
Hanya itu yang disampaikan?
Gea kemudian berpaling dan turun kembali ke lantai satu. Dia bertemu wanita yang tadi mengarahkannya naik. Wanita itu sepertinya mantan sekretaris Jonathan.
Dengan ragu-ragu, Gea menatap dan bertanya perihal bagaimana dia mendapat wanita malam untuk Jonathan. Saat ingin menyapa, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Halo, dengan Ibu Gea?” suara perempuan di ujung telepon terdengar ramah. “Anak ibu mengalami mual serius dan harus segera ditangani. Kondisinya semakin memburuk dan wajahnya semakin pucat!”
Ditrian telah menceritakan segalanya. Soal pernikahannya, soal Evelina. Ia membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, di antara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan ramuan sihir pencekik itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah."Apakah bagi Anda ini adalah masalah pribadi, Raja Ditrian?"Ditrian meng
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul rombongan mereka.Sebuah kabar yang mungkin tak diduga oleh Ditrian. Sudah tiga hari ia dan rombongannya meninggalkan istana. Katanya, Evelina von Monrad, Regina istana meninggal bunuh diri meminum racun. Duke Gidean von Monrad wafat karena mengalami sakit jantung. Duchess A
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa. Wajahnya dirias begitu elok. Rambut coklatnya tersanggul menawan dengan sebuah tudung transparan menutupi wajahnya. Ia menggenggam seikat bunga berwarna putih. Dia
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dari Kaisar Alfons. Ia tengah memikirkannya, botol itu yang ada di kotak rahasia berlapis beludru.Botol merah
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-benar bisa berbicara dengan pujaan hatinya, Lady Sheira, begitulah kini panggilannya. Ia telah menjadi seorang Viscountess. Gelar kebangsawanan yang biasanya diberika
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."Hati Evelina diselimuti rasa haru, ia nyaris meneteskan air matanya. Evelina menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku selalu mencintaimu bagaimana pun keadaanya, Ditrian.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments