LOGIN"Sebenarnya, kau ini siapa?"
Mereka berdua telah berada di kamar selir Putri Sheira. Setelah berhasil menyembuhkan Lady Evelina, wanita itu pergi dan bilang akan berada di kamar ini. Sementara Ditrian meminta agar para dokter merawat Evelina. Pria itu pikir, wanita ini akan kabur hilang entah kemana. Namun ia masih mendapatinya di sini, telah lepas dari jubah Ditrian yang mewah itu.
"Aku Sheira. Berapa kali harus kukatakan padamu?"
"Kau bukan dia. Wajahmu berbeda."
Wanita yang mengaku Sheira itu menghela nafas. "Tentu saja. Aku memakai Magi penyamaran sejak dalam pelarian."
Ditrian menatapnya tajam. "Aku benar-benar tidak mengerti sepatah kata pun darimu. Kau ini sebenarnya apa? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Sebentar lagi pagi," ia menatap jendela kamarnya. Langit yang gelap itu berwarna biru khas waktu subuh. "Datanglah ke kamarku malam ini, Ditrian. Aku akan memperlihatkanmu sesuatu."
xxx
Baru saja Ditrian mendapatkan laporan kepala pengawal istana. Tidak ada tamu bangsawan yang terluka. Mereka bisa dievakuasi tepat waktu. Pagi itu ruang kerjanya sibuk. Dipenuhi beberapa dokumen dan laporan soal kejadian kemarin. Termasuk daftar benda yang terbakar dan perkiraan perawatan ruang pesta. Mungkin tidak akan bisa dipakai untuk acara selama beberapa minggu.
"Yang Mulia. Lady Emma ingin bertemu dengan Anda," ucap pengawal.
"Biarkan dia masuk," Ditrian duduk di kursi kerjanya. Dia hanya tidur sebentar semalam. Bekas kebakaran ruang pesta sedang diurus dan beberapa pegawai istana juga mondar-mandir ke ruangannya.
Lady Emma masuk ke ruangan dengan terengah. Ia terlihat begitu tergesa. Wajahnya pucat dan panik.
"Yang Mulia, mohon maaf. Ada yang ingin saya sampaikan pada Yang Mulia. Ini soal Tuan Putri."
"Ada apa dengan Tuan Putri?"
"Beliau ...," Lady Emma sang kepala dayang melirik ke kanan dan kiri. Ada beberapa pegawai istana di sana. Dia tidak yakin harus mengatakannya bagaimana. "Beliau ... telah terlepas dari kutukan. Sepertinya Yang Mulia harus melihatnya sendiri."
'Kutukan? Jadi dia menggunakan alasan itu ya. Siapa kau sebenarnya?'
Ditrian hening sejenak. Ia menarik nafasnya dalam. Tak seperti dugaan Lady Emma, Raja Ditrian terlihat tenang.
"Aku sudah tahu. Layani Tuan Putri seperti biasa. Aku akan menemuinya malam ini. Jadi lakukan saja tugasmu, Lady Emma."
Meski bingung, Lady Emma mematuhi. "Ba-baik ... Yang Mulia."
xxx
Ditrian memenuhi rencananya malam ini. Ia sudah berdiri di pintu tinggi pohon ek yang dicat putih. Kamar selir. Kamar Putri Sheira. Dia tidak pernah peduli pada istana ratu. Yang penting dirawat secukupnya. Hampir tidak pernah juga berkeliaran di area ini.
Namun ... sejak pernikahannya, setiap kali menginjak istana ratu, pikiran Ditrian penuh. Sejak ada wanita itu. Apa yang ada di balik pintu tinggi pohon ek ini, di balik kamar paling ujung lorong ... membuat perasaannya campur aduk. Kali ini ... rasa penasarannya jauh lebih besar. Seharian ia memikirkan siapa sosok wanita misterius itu?
Ia membuka perlahan. Wangi bunga lili menyeruak dari dalam sana.
Wanita asing yang mengaku Sheira itu berdiri di depan jendela besar. Rambut emas bergelombang tergerai bebas di punggungnya. Ia menoleh ke belakang, menatap Ditrian yang berdiri di daun pintu.
Malam ini cahaya perak dari bulan memenuhi kamar. Persis seperti tatapan mata perak misterius wanita itu.
"Kau sudah datang," ucapnya. Ia berbalik dan berjalan ke dekat ranjang. Wanita asing itu duduk manis di bibir kasur. "Masuklah dan tutup pintu itu rapat-rapat."
Ditrian menutupnya, lalu melangkah ke dalam kamar. Ia ikut mendekat padanya, ke dekat ranjang. Nyaris sama seperti saat pertama kali mereka hanya berdua.
Sosok wanita itu begitu sempurna. Begitu elok. Wanita paling cantik yang pernah ia lihat selain mendiang ibundanya. Terlihat lebih jelas malam ini.
Melihatnya bertelanjang kaki dengan paha dan betis yang halus, membuat jantung Ditrian berdebar-debar. Ia mengenakan gaun satin sutra putih yang pendek dan mahal. Bertengger di bahu wanita itu dengan sebuah tali yang kurus saja.
Ia berusaha mendatarkan wajahnya, meskipun begitu terpesona. Aroma bunga lili menguat saat tubuh mereka dekat. Semua itu membuat bulu di seluruh tubuh Ditrian berdiri.
"Apa ada yang mengikutimu?" tanya wanita asing itu. Ditrian menyipitkan matanya.
"Tentu saja tidak," sanggahnya. Pertanyaan yang aneh. "Kau bilang ingin menunjukkan sesuatu padaku."
"Ya. Tapi sebelum itu ...," mata perak perempuan itu melirik, menunjuk di belakang punggungnya. "... perintahkan pengawal bayanganmu untuk pergi."
Ditrian terhenyak. Bagaimana wanita ini tahu? Dia memang menempatkan pengawal tak terlihat untuk mengawasinya. Kalau-kalau wanita ini merencanakan sesuatu.
Tangan kanan pria itu terangkat. Ia menjentikkan jari. Sesosok bayangan hitam jatuh menapak di balkon kamar, di balik jendela. Ia lalu pergi dan raib entah kemana.
"Dan ... buang belati di belakang punggungmu itu."
Ditrian kembali terdiam. Dia juga membawa sebuah belati. Saat ia pertama mengunjungi kamar ini pun ia membawanya. Pria itu merogoh punggung. Ia mengambil belati yang ia jepitkan di antara ikatan tali jubah tidur di punggung, lalu melemparnya ke lantai marmer.
"Apa lagi?" ketusnya.
"Sudah cukup."
Ia mendengkus. "Sekarang, apa yang sebenarnya ingin kau perlihatkan padaku?"
"Aku memberimu kesempatan untuk bertanya lebih dahulu."
Ada banyak. Itu yang memenuhi pikiran Ditrian seharian ini.
"Dimana Sheira? Kau apakan dia?" selidik Ditrian.
"Harus berapa kali kukatakan padamu ... akulah Sheira," jawab wanita itu tenang. "Aku menyamarkan wajahku saat akan ditangkap oleh orang-orang kekaisaran."
"Dan kenapa kau melakukan itu?"
"Hhh ... kupikir ... jika wajahku buruk, mereka hanya akan menjualku sebagai budak. Tapi sepertinya nasibku lebih sial lagi," ia mengeluh.
"Sial? Apa maksudmu? Jadi menikah denganku lebih sial dari pada jadi budak?!" Ditrian mulai jengkel. "Memangnya menurutmu akan lebih baik jika kau menjadi budak?" Ia menukas.
Wanita yang mengaku Sheira itu berkacak pinggang. "Apa kau tahu yang mereka lakukan pada tawanan yang cantik?" Tak ada jawaban yang keluar dari mulut pria Direwolf itu. "Mereka memperkosanya ramai-ramai." Ditrian menelan ludah. "Ya. Akan lebih baik jika aku menjadi budak."
"Alasanmu terdengar bagus. Tapi aku masih tidak percaya. Ucapanmu tidak membuktikan apa-apa," nada bicara pria itu sinis.
"Aku memakai Magi untuk mengubah wajahku."
"Aku tidak pernah mendengar omong kosong itu. Kalau kau memang bisa mengubah wajahmu, tunjukkan padaku dan aku akan percaya."
Wanita itu menggeleng. " Hhh ... Tidak bisa. Aku lupa mantranya. Mantra itu dirapalkan oleh seseorang saat aku dalam pelarian. Lagi pula ... kenapa kau bersikeras untuk melihat wajah buruk rupa itu lagi?"
"Karena ... dengan wajahmu yang sekarang, kau lebih berbahaya," ucapnya tajam. Ya. Jelas. Berbahaya untuk dirinya yang tidak bisa membedakan apakah ia harus terpesona, atau waspada.
Wanita itu hening sejenak. "Jika kau tak percaya, kau bisa mengais puing-puing istana Galdea dan mencari lukisanku. Untuk sekarang, satu-satunya pilihanmu adalah percaya bahwa akulah Sheira. Atau ... kau boleh mencari wajah buruk rupa itu di setiap sudut kekaisaran ini, Yang Mulia, karena aku yakin kau tidak akan menemukannya. Atau ... kau bisa saja membuat alasan bahwa aku terbunuh di malam pesta kemarin. Jadi aku bisa pergi dari istana ini. Bagaimana?" tawarnya.
"Lalu kau akan pergi kemana? Bukankah kau bilang sendiri wanita yang punya wajah sepertimu akan mudah diperkos* oleh lelaki di luar sana? Aku yakin itu alasanmu masih berada di sini. Iya kan?"
Sheira mengulum bibirnya sembari memutar bola mata dengan malas. Ditrian tidak keliru. Lelaki itu menghela nafas. Ya. Dia juga tak punya pilihan lain sementara ini selain percaya bahwa sosok di hadapannya ini adalah Sheira. Selir yang ia nikah.
"Lalu ... kau ini sebenarnya apa? Penyihir? Aku tak pernah melihat yang sepertimu. Dan ... omong kosong apa itu Magi?"
Sheira memiringkan senyumnya. Seolah wanita itu telah menunggu-nunggu pertanyaan ini.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Perlahan wanita itu bangkit dari duduknya.
"A-Apa yang kau lakukan?!" Ditrian mengalihkan pandangannya ke samping.
Wanita yang mengaku Sheira itu telah menanggalkan gaun tidur dan melemparnya ke lantai marmer. Di sudut kamar yang gelap. Entah di mana.
Tubuhnya sudah polos tanpa ada benang sehelai pun. Berkulit putih, dengan bentuk badan yang melekuk indah. Dadanya yang bulat dan menantang, pinggang ramping, serta bagian di antara kedua pahanya.
Ditrian bisa melihat itu semua, namun ia memilih tidak. Matanya jatuh ke lantai marmer dan beberapa perabotan di sana. Ia masih punya martabat. Perlahan tubuh wanita itu melangkah mendekat padanya. Aroma bunga lili menguat. Aroma kesukaan Ditrian mulai sekarang.
Kedua tangan putih Sheira menangkup pada wajah pria itu. Ia merampas paksa tatapan emas Ditrian. Pria itu kini menatap wajah cantiknya begitu dekat. Kedua mata perak Sheira entah bagaimana seperti menghipnotis dirinya. Membuatnya begitu terpesona. Tubuh pria itu membeku.
Ia bisa merasakan jemari kurus yang agak dingin membelai di kulit pipinya.
Ia menikmati setiap inci wajah cantik wanita itu. Semakin jelas sekarang. Pipinya yang mulus dengan bagian yang merona, bentuk wajah yang oval. Dagu mungil menggemaskan ditambah bibir merah muda yang memikat. Mungkin akan terasa manis jika dicium.
Seperti ada magnet yang super kuat di lantai marmer itu, Ditrian tak bisa bergerak. Mungkinkah ini salah satu sihirnya? Tetapi yang ia yakin, bahwa kedua mata perak misterius itu seperti sedang membaca pikiran dalam otak.
"Ditrian ... lihat aku baik-baik."
Wajah Ditrian memerah. Mata mereka bertemu. Tak terasa tubuh mereka tak lagi berjarak. Mata emasnya bertemu dengan Sheira. Pandangan mereka begitu lekat.
Nafasnya tak beraturan. Bau semerbak bunga lili memenuhi hidungnya. Pikiran-pikiran hebat memenuhi kepala. Jantungnya telah menderu dengan luar biasa. Nadinya mendesir kencang. Ia kalap.
Pertama kali di hidupnya setelah puluhan tahun melajang sebagai seorang Direwolf. Ia mendapati seorang wanita tanpa busana berada tepat di depannya.
"Kau bisa melihat-lihat sampai kau puas."
Ditrian menelan ludah. "A-apa maksudmu?"
Sheira melepaskan tangkupannya.
Mata Ditrian kini telah sepenuhnya menatap tubuh telanjang wanita itu. Putih, terlihat halus seperti krim susu. Dadanya bulat dan terlihat menggiurkan, menggantung di sana.
Dia tahu seharusnya tak melakukan ini. Namun, entah mengapa ia menuruti semua perkataan wanita ini.
Ditrian telah menceritakan segalanya. Soal pernikahannya, soal Evelina. Ia membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, di antara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan ramuan sihir pencekik itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah."Apakah bagi Anda ini adalah masalah pribadi, Raja Ditrian?"Ditrian meng
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul rombongan mereka.Sebuah kabar yang mungkin tak diduga oleh Ditrian. Sudah tiga hari ia dan rombongannya meninggalkan istana. Katanya, Evelina von Monrad, Regina istana meninggal bunuh diri meminum racun. Duke Gidean von Monrad wafat karena mengalami sakit jantung. Duchess A
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa. Wajahnya dirias begitu elok. Rambut coklatnya tersanggul menawan dengan sebuah tudung transparan menutupi wajahnya. Ia menggenggam seikat bunga berwarna putih. Dia
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dari Kaisar Alfons. Ia tengah memikirkannya, botol itu yang ada di kotak rahasia berlapis beludru.Botol merah
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-benar bisa berbicara dengan pujaan hatinya, Lady Sheira, begitulah kini panggilannya. Ia telah menjadi seorang Viscountess. Gelar kebangsawanan yang biasanya diberika
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."Hati Evelina diselimuti rasa haru, ia nyaris meneteskan air matanya. Evelina menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku selalu mencintaimu bagaimana pun keadaanya, Ditrian.







