LOGIN"Sudah jelek! Dia juga jahat! Selir raja memang keterlaluan!" ucap salah satu bangsawan tua.
Ditrian baru saja keluar dari ruang serba guna. Mendengar obrolan itu, ia bertatapan dengan Everon.
"Tunggu di sini," ucap Everon pelan. Dia sudah seperti detektif ahli yang hendak menyingkap suatu perkara di pesta ini. Perkara yang ditimbulkan oleh selir raja yang baru tentunya. Saling paham, Everon agak menjauh dari Ditrian dan mendekati gerombolan bangsawan itu. Ia mengobrol sejenak. Wajah pria tua itu terlihat tidak nyaman. Entah mereka mengobrol apa.
Everon pun kembali menuju ke tempat Ditrian berdiri. Ditrian telah memasang wajah penasaran.
"Kenapa?"
"Selirmu membuat Evelina menangis," ia berdecak. "Baru muncul malah membuat masalah! Ditrian, kau harus bisa mengendalikan selirmu! Kalau kau biarkan dia liar begitu, apa yang akan orang pikirkan?! Betul kata orang-orang! Tabiatnya buruk sekali!"
Ditrian terlihat bingung dan gusar. "Aku akan bicara padanya nanti."
Setelah itu, Everon mencari-cari Evelina dan menenangkannya. Hingga acara puncak pun tiba. Acara bersulang pesta kemenangan. Everon telah kembali bersama Evelina yang sudah terlihat lebih baik, selesai menangis.
Semua orang sudah berkumpul. Termasuk Raja Ditrian, Grand Duke Everon dan Lady Evelina. Mereka semua memegang gelas anggur merah di tangan. Grand Duke Everon mengambil sebuah botol anggur yang disediakan pelayan. Ia menuangkan cairan marun itu ke gelasnya, gelas Raja Ditrian, dan milik Lady Evelina.
"Mari kita bersulang atas kemenangan kerajaan dan kekaisaran!" seru Grand Duke Everon. "Semoga kerajaan kita diberkati oleh para dewa!"
Raja Ditrian mengangkat gelasnya. "Semoga arwah prajurit dan ksatria selalu bersama dewa!"
"Ya!" seru para tamu.
"Hidup Raja Ditrian!" Everon mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
"Hidup Raja Ditrian! Hidup Raja Ditrian!" seluruh tamu yang hadir bersulang dan meneriakkan namanya.
Mereka pun mulai meminum anggurnya.
Tiba-tiba ...
"Aaakh!"
Belum sempat Ditrian meminumnya, seseorang memukul gelasnya hingga jatuh dan pecah. Begitu pula milik Everon dan Evelina. Gadis itu baru meminum seteguk.
"Hey! Apa-apaan ini?!" pekik Everon.
Pecahan kaca berserakan di lantai. Marmer yang tadinya mengkilap telah kotor dibasahi oleh genangan dan percikan anggur merah.
Raja Ditrian, Grand Duke Everon, Lady Evelina dan pasang-pasang mata para tamu melihat ke arah yang sama. Putri Sheira dengan wajah kuda yang menjijikan. Wanita buruk rupa itu terengah-engah. Tak ada yang melihatnya berlari ke arah mereka tadi. Tidak sempat dihentikan. Ini adalah hal paling memalukan yang pernah Ditrian alami.
"Aaakkh!" Evelina menjerit. Hanya sepersekian detik hingga tangan wanita itu menjambak rambutnya. Sheira memukuli tengkuknya berkali-kali.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Raja Ditrian pada Sheira. Ditrian menariknya dengan kasar menjauh dari Evelina. Semua orang di sana melihat. Raja murka.
Sheira masih ingin berusaha meraih Evelina. Tetapi ditahan dan didorong oleh Ditrian. Evelina yang mencicit menahan sakit bersembunyi di balik punggung sang raja.
"Pengawal! Bawa Putri Sheira ke kamarnya!"
Derap langkah berlari para pengawal berbaju zirah menghampiri si wanita kuda.
"Ti-tidak!" serunya. Dengan paksa para pengawal merampas lengannya dan menyeret tubuhnya keluar dari aula pesta.
Putri Sheira meronta-ronta dan berteriak-teriak minta dilepas. Sementara semua orang merasa iba pada Lady Evelina. Tubuh kecil dengan wajah jeleknya seperti seekor hewan ternak yang berontak saat akan di sembelih. "Kau tidak mengerti! Lepaskan aku!"
Adegan itu begitu dramatis. Yakinlah esok hari di pesta minum teh, para bangsawan itu akan membicarakan kejadian luar biasa ini dengan melebih-lebihkannya. Akhirnya, Sheira berhasil diseret oleh para pengawal menjauh dari aula pesta.
Ditrian pun serasa menjadi pahlawan tunggal yang telah mengusir seekor iblis betina dari acara suka cita ini. Entah mengapa, Raja Ditrian terlihat begitu gagah di mata Evelina. Sekali lagi gadis itu kian terpikat. Betapa heroiknya, betapa gagahnya, betapa jantannya Raja Ditrian. Siapapun pasti terpukau. Pria itu berusaha melindunginya!
Gerutuan suara para tamu pun kembali terdengar. Mengeluhkan selir raja yang gila.
Grand Duke Everon segera menengahi. Ia menarik nafas dan mencoba menenangkan para tamu. Termasuk Evelina yang terlihat trauma.
"Haha ... itu hanya kecelakaan kecil saja. Mari kita lanjutkan acara kita!" ucapnya canggung. Pada akhirnya mereka semua menuruti atmosfir Everon.
"Lady ... Anda tidak apa-apa?" tanya Raja Ditrian. Ia memegang bahu Lady Evelina dengan khawatir. Evelina terlihat sedikit takut. Tapi ia mengangguk dan tersenyum karena itu membuat Ditrian perhatian padanya.
Pelayan yang lain memberikan gelas yang baru untuk mereka bertiga. Belum sempat anggur dituang ....
"Lady Evelina!" seru Ditrian. Tubuh gadis itu tiba-tiba terjatuh. Ditrian berhasil menangkap dan memeluknya. Dia pingsan.
Matanya terpejam. Lehernya perlahan berwarna biru.
"Dia keracunan!"
"Evelina! Evelina!" Duke Gidean von Monrad yang gemuk tergopoh. Ia langsung jatuh berlutut dan meraih Evelina dari pelukan Ditrian.
"Panggil dokter!" perintah Ditrian.
"Yang Mulia! Apa yang terjadi dengan putriku?!" tatap Duke Gidean pilu, ia mulai menangis. Wajah pria gemuk itu histeris, panik. Ia terisak dan wajahnya jadi basah air mata. Ia memanggil nama Evelina berkali-kali. Sesekali menggoyahkan putrinya agar bangun.
Grand Duke Everon pun hanya bisa terpaku. Sama seperti semua bangsawan di ruangan itu yang tak bisa berbuat apapun. Tak lama, beberapa dokter istana datang. Ditrian bangkit dan membiarkan dokter-dokter itu mengambil alih. Mereka menyentuh nadi dan leher Lady Evelina.
Wajah Ditrian memucat. Seorang tamu, putri Duke pula! Keracunan di pestanya. Bahkan ia juga hampir meminum anggur yang sama. Matanya tertuju kepada genangan anggur beracun di lantai marmer. Kepalanya memikirkan seseorang. Dia merasakan sebuah keanehan. Seharusnya, bagi dirinya seorang Direwolf akan sangat mudah untuk mencium racun di anggur itu. Bahkan bisa dibilang, Ditrian sudah pernah membaui segala macam racun di benua ini.
"Jangan ada yang meminum anggur apapun!" lantang Ditrian membuat para tamu meletakkan gelas-gelas anggur itu kepada para pelayan.
Namun kali ini, Grand Duke Everon, Lady Evelina, bahkan dirinya, tiga orang Direwolf tak merasakan kejanggalan apapun dalam anggur itu. Seharusnya jika itu beracun, maka seorang Direwolf tentu saja akan dengan mudah membauinya. Dalam kepala Ditrian, hanya ada satu orang yang dia pikir menjadi penyebabnya.
"Everon, tolong urus yang disini," ucapnya pada sepupunya itu. Ia lalu bergegas lari meninggalkan aula pesta.
"Kau mau kemana?!" seru Everon panik. Percuma. Ditrian tak mengacuhkan.
Ruang pesta menjadi heboh. Tamu-tamu jadi mengerumuni Lady Evelina yang terkapar. Leher-leher mereka menjulur hanya menoleh pada Ditrian sejenak, lalu kembali menatap Duke Gidean menangis dan putrinya yang pingsan tidak wajar. Banyak dari mereka yang cemas, bahkan mulai gaduh.
Sementara Ditrian sudah menyusuri koridor istana ratu yang remang. Beberapa obor masih setia menyala terpaku pada dinding batu kastil. Kakinya sudah menapak ke salah satu bagian istana ratu. Ditrian masih ingat ruangan yang mana. Paling ujung. Ia berlari ke sana. Kakinya menendang kasar, mendobrak paksa pintu kayu pohon ek yang tinggi. Benturannya terdengar keras.
"Apa yang telah kau lakukan pada Evelina?!" pekiknya. Sheira yang dari tadi berdiri menatap jendela, seketika kaget dan berbalik menatap pintu. Ia terpaku masih mengenakan gaun pesta malam itu.
Langkah kaki Ditrian secepat kilat menghampirinya. Pria itu berang. Dengan semena-mena, ditariknya pedang dari sarung. Suara gesekan logamnya membuat Sheira bergidik.
Sebilah pedang tajam telah teracung di depan hidungnya. "Kau meracuni Evelina!" tuduhnya. Kakinya gemetar hebat pada pedang tajam yang berkilat-kilat itu.
"Ti-Tidak! Apa maksudmu?! Aku tidak meracuninya!"
"Lantas, mengapa kau bisa tahu bahwa ada sesuatu di anggur itu?!"
Sheira memandang bilah pedang dan Ditrian bergantian. Ia berusaha mengendalikan dirinya. "Memang ada sesuatu di sana!" tukasnya. Ditrian mengernyit bingung. "Bukan racun, tapi ramuan sihir!"
"Ramuan ... sihir ...?"
Tiba-tiba dentuman besar terdengar. Seperti ledakan. Kemudian suara terompet tanda darurat berbunyi. Mereka semua yang berada di wilayah istana bisa mendengar. Samar-samar terdengar teriakan orang-orang. Sepertinya dari ruang pesta.Ditrian menerawang dengan telinga anjingnya.
"Kau tetap di sini!" perintahnya. Ia lalu berbalik dan berlari keluar dari kamar.
"Tunggu!" sergah Sheira. Pria itu abai meninggalkannya.
Ditrian berlari secepatnya menyusuri koridor itu lagi. Derap kaki para prajurit terdengar dari barat. Mereka berlarian menuju ke arah ruang pesta. Sebentar saja, gemuruh kaki mereka sudah tidak terdengar. Hanya dirinya yang berada di istana ratu yang sunyi. Bulu di tubuh Ditrian berdiri. Tubuhnya tahu ... ada yang memperhatikannya. Insting Direwolf-nya mengatakan, ada orang lain di sini.
Ia berhenti.
"Siapapun kau ... tunjukkan dirimu dan hadapi aku!" suaranya menggema. Namun hanya dirinya, dinding batu kastil dan beberapa obor di sana.
Lengang. Seolah ia sedang bicara sendiri. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan siaga. Tidak ada angin, namun api-api di obor menari-nari dengan tidak wajar. Ditrian memperhatikannya. Ia menunggu.
Dengan hanya sepersekian detik, ia merasakan ada sesuatu dari arah punggungnya. Pedangnya terayun dengan cepat. Ia menangkis sebuah bola api yang tiba-tiba menyerangnya dari belakang. Kedua tangannya kini erat memegang gagang pedang.
Ada mata-mata? Pembunuh bayangan?
Mata Direwolf-nya bisa melihat dengan cukup baik meski di kegelapan. Seharusnya, jika ada manusia atau Direwolf lain, ia akan bisa melihat sosok mereka.
Tetapi ... tidak ada siapa-siapa.
Api di obor kembali menari dengan aneh. Perlahan membesar, lalu seperti aliran air, api itu menjalar ke bawah. Merayap ke dinding batu istana ratu hingga ke lantai koridor. Ditrian memutar tubuhnya. Obor di belakangnya juga sama. Apinya mengalir ke lantai. Api itu membesar, lalu mulai membentuk sesosok tubuh manusia.
Dirinya tengah di kelilingi oleh kobaran api yang aneh.
"Raja Ditrian ... kau harus mati!" ucap sosok berapi itu dengan suara mendesis.
Ditrian telah menceritakan segalanya. Soal pernikahannya, soal Evelina. Ia membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, di antara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan ramuan sihir pencekik itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah."Apakah bagi Anda ini adalah masalah pribadi, Raja Ditrian?"Ditrian meng
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul rombongan mereka.Sebuah kabar yang mungkin tak diduga oleh Ditrian. Sudah tiga hari ia dan rombongannya meninggalkan istana. Katanya, Evelina von Monrad, Regina istana meninggal bunuh diri meminum racun. Duke Gidean von Monrad wafat karena mengalami sakit jantung. Duchess A
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa. Wajahnya dirias begitu elok. Rambut coklatnya tersanggul menawan dengan sebuah tudung transparan menutupi wajahnya. Ia menggenggam seikat bunga berwarna putih. Dia
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dari Kaisar Alfons. Ia tengah memikirkannya, botol itu yang ada di kotak rahasia berlapis beludru.Botol merah
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-benar bisa berbicara dengan pujaan hatinya, Lady Sheira, begitulah kini panggilannya. Ia telah menjadi seorang Viscountess. Gelar kebangsawanan yang biasanya diberika
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."Hati Evelina diselimuti rasa haru, ia nyaris meneteskan air matanya. Evelina menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku selalu mencintaimu bagaimana pun keadaanya, Ditrian.







