LOGINDitrian mengayunkan pedangnya lagi. Mencoba menebas api itu. Tembus.
"Hahaha!" sosok api itu pun tertawa kering. Ia bisa melihat ada rongga di bagian kepala yang seperti mulut sedang menganga. "Kau pikir bisa menyentuhku?!"
Ia lalu menarik semua api miliknya hingga membentuk sebuah jubah api berwarna merah. Sosok itu pun melayang di udara koridor. Membuat Ditrian mendongak.
Suhu mulai naik. Dada Ditrian berdegup sangat kencang pada sosok yang menyala-nyala itu. Dia tahu mahluk apa itu.
Penyihir api!
Tangan berapinya terangkat.
"Matilah!" pekiknya. Dari tangannya itu, ia menembakkan bola-bola api. Dengan kecepatan tinggi. Dengan membabi buta.
Ditrian dengan tangkas menangkisnya. Pedang itu beradu dengan bola api hingga memercik.
Sang penyihir bertubi-tubi menyerangnya dengan bola api. Entah sudah berapa ratus kali serangan itu terjadi dengan kecepatan tinggi. Ditrian belum kehabisan nafas. Serangan penyihir itu melambat. Hingga ia menghitung ritmenya dan menemukan sebuah celah dimana ia bisa menyerang.
"HAAAA!" Ditrian melompat. Sekali lagi pedang itu berusaha menebas penyihir. Namun tembus. Percuma. Malah itu membuat sang penyihir semakin geram.
Ia terbang lebih tinggi lagi. Hingga Ditrian tak mungkin bisa menggapainya. Kedua tangan berapi itu terangkat ke atas tinggi. Lalu dari udara kosong itu tercipta sebuah pusaran api yang sangat besar.
Ia menyala di seluruh koridor. Seperti matahari siang di langit-langit lorong istana ratu. Obor-obor yang lain pun ikut membara. Seluruh koridor sudah seperti tungku. Ditrian terkepung.
"Awas!" seru seseorang.
Pusaran itu mengeluarkan api seperti air terjun. Menyembur ke bawah. Tepat di atas kepalanya.
Dia akan mati kali ini. Itu yang Ditrian pikir.
Namun sebuah perisai tercipta di udara. Perisai tembus pandang berbentuk cakram yang menyerap semua api. Ada seseorang yang menengadahkan tangannya ke atas, seolah dialah yang mengendalikan perisai itu. Kejadian itu sangat cepat. Mungkin hanya sepersekian detik. Jika perisai itu tak muncul, Ditrian sudah matang sekarang.
Setelah api berhenti menyembur, ia menggerakkan kedua tangannya. Terciptalah tulisan-tulisan aneh bercahaya di awang-awang. Lalu muncul perisai cakram lain yang baru. Berwarna ungu.
Perisai ungu di atas kepala mereka mengeluarkan api juga. Kali ini mengarah pada sang penyihir. Semburannya tepat mengenainya.
"Aaaaakkkkhh!" penyihir itu berteriak kesakitan. Api-apinya perlahan padam. Termasuk beberapa obor di koridor dekat mereka.
Ia terjatuh di lantai dan berguling-guling hingga api di seluruh tubuhnya mati. Teriakan pilunya hening. Hanya ada jelaga dan abu di sana, di lantai marmer istana ratu. Lalu debu-debu itu lenyap begitu saja. Seolah mahluk itu tidak pernah ada. Seolah serangan-serangan itu tak pernah terjadi.
Ditrian melihatnya dengan ngeri. Penyihir api itu telah mati. Ia bisa mendengar nafas wanita di sampingnya terengah.
Gaun ini ... tidak asing.
"Kan sudah kubilang 'tunggu'!" pekiknya kesal. Suara ini ... tidak asing.
Ditrian mendongak. Dia pikir ... dia tahu ... tetapi ....
"Kau ... siapa?" tanyanya.
Cahaya di koridor itu memang remang. Namun, mata Direwolf-nya bisa melihat dengan jelas.
Wajah ini begitu asing.
"Apa maksudmu kau siapa?! Aku ini Shei-," wanita itu terbelalak. Dia terlihat lebih terkejut dari Ditrian. Kedua tangannya langsung memegangi wajah. "Oh tidak ... tidak mungkin!" Ia meraba-raba wajahnya dengan kasar. "Ini tidak mungkin terjadi! Wajahku!"
Sosok itu terlihat gusar bukan main.
"Sial!" umpatnya. Panik. Ia berdecak lalu memegangi dahinya. Sudah tak terkejut lagi, kini ia terlihat kesal. "Sial sial sial!"
"Kau ini siapa?" tanya Ditrian lagi.
Wanita itu kini menatapnya. "Aku ... Sheira!"
Ditrian terpaku di sana. Baru pertama kali ia melihat wanita yang secantik ini seumur hidupnya. Wajahnya sangat unik. Hidungnya tinggi, pipinya merona seperti mawar. Bibirnya tipis mempesona. Seperti berasal dari alam lain dimana hanya mahluk-mahluk indah saja yang bersemayam. Namun ... ia terlihat kacau dan seperti setengah gila. Ditrian belum bisa mencerna segala yang ada di hadapannya.
"Pasti Magi penyamaranku terlepas karena aku menggunakan Magi yang lain. Ah sial!" gerutunya. Ditrian tak mengerti apapun yang wanita itu ucapkan. "Siaal!" entah sudah berapa kali umpatan itu diucapkan. Ditrian juga tak memahami barang sekata saja yang ia ketahui dari mulutnya.
Pria Direwolf itu kembali siaga. Matanya memicing. Ia lalu mengacungkan pedangnya lagi pada orang asing ini.
"Jangan main-main denganku! Apa kau juga ingin membunuhku?!" Ditrian memasang kuda-kudanya dengan waspada.
"Aku tidak-"
Ucapan wanita asing ini terpotong oleh teriakan dari ruang pesta. Mata wanita itu menuju ke ujung lorong. Seolah ia ingin segera berlari ke sana juga. Seperti Ditrian.
"Kita harus ke ruang pesta!" ucap wanita itu. Ditrian terlihat ragu.
"Apa yang membuatku harus menuruti ucapanmu? Katakan!"
"Apa-apaan kau ini?! Kalau mereka diserang penyihir lain bagaimana?!" tukasnya.
Itu benar. Ditrian juga mengkhawatirkan itu. Ia menurunkan pedangnya. Dan nampaknya wanita ini lebih terlihat kesal daripada dirinya.
"Kau ikut denganku. Jangan coba-coba kabur! Aku bisa membunuhmu di tempatmu berdiri!" ancamnya.
Lalu Ditrian menarik kasar lengan wanita itu dan mulai berjalan dengan cepat. Menyeretnya dengan semena-mena sepanjang koridor. Dan memaksanya agar bisa mengikuti langkah kakinya yang panjang.
"Akhh! Sakit!" rintihnya. "Hentikan! Aku tidak bisa seperti ini!"
"Tidak usah banyak protes!" masih tetap menyeret. Ditrian mulai agak kesal dengan keluhan-keluhan wanita ini.
"Lepaskan!" berontaknya hingga ia berhasil melepaskan lengan dari jeratan Ditrian. Ia mengelus-elus lengan kurus itu. "Menyebalkan! Sini! Cepat! Berikan jubahmu."
"Untuk apa?"
"Aku tidak bisa menunjukkan wajah ini pada orang-orang. Cepat berikan saja!"
Ditrian kesal. Ia segera melepas jubahnya dan melempar pada wanita itu. Dengan serta merta dipakainya jubah biru tua yang mahal dan mewah. Hanya butuh waktu yang singkat. Ia menutupi sebagian besar wajahnya dengan tudung. Hanya dagu dan bibirnya saja yang terlihat.
"Ayo!" serunya. Mereka lalu berlari menyusuri lorong-lorong istana, hingga sampai ke ruang pesta.
Asap putih mengepul di sana. Hingga pandangan tertutup olehnya. Huru-hara para prajurit keluar masuk melalui pintu ruang pesta. Ada seorang prajurit yang terbatuk-batuk keluar dari kepulan asap.
"Ada apa ini?!" cegat Ditrian.
"Uhuk! Yang Mulia ... tiba-tiba tirai di ruang pesta terbakar dan apinya kemana-mana. Kami mencoba memadamkannya."
"Lalu para tamu?"
"Mereka ada di tempat yang aman. Tetapi lampu gantung tiba-tiba jatuh dan menimpa dua orang prajurit. Kaki mereka luka."
"Hanya kebakaran? Itu saja?"
"Iya Yang Mulia. Sebaiknya Anda jangan berada di sini. Masih banyak asap."
"Padamkan api itu! Pastikan semua orang selamat!"
"Baik Yang Mulia!" lalu prajurit itu kembali sibuk seperti yang lain. Ditrian masih berdiri di tempat yang sama.
"Apakah ada penyihir api yang lain di dalam sana?" gumamnya. Jika ada, gawat sekali.
"Tidak ada," ucap wanita itu. Membuat Ditrian menoleh.
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku tahu."
xxx
Kacau. Sungguh kacau suasana malam itu. Grand Duke Everon berhasil mengambil alih dan membantu mengevakuasi semua orang. Sebagian besar tamu sudah pulang. Hanya tinggal beberapa saja. Salah satunya Evelina yang kritis dan Duke Gidean yang menangis.
Kini Ditrian tengah menghadapi situasi yang tidak masuk akal baginya. Dia tidak bisa melepaskan begitu saja wanita misterius ini. Dia juga harus memberikan kejelasan pada kondisi Evelina.
Gadis itu meminum anggur di pestanya!
Kini Ditrian dan wanita itu berdiri di lorong bangsal istana. Ia terbalut jubah biru tua miliknya, berdiri di dekat pilar besar. Grand Duke Everon masih sibuk mengurus kepulangan para tamu. Entah ada di mana lelaki Direwolf itu.
Ditrian terlihat bingung. Hanya bisa memandangi para dokter bekerja dari luar pintu bangsal. Ia juga tak bisa melepaskan pengawasannya dari wanita ini.
"Tidak ada waktu lagi. Kita harus menyelamatkannya," lirihnya dari balik tudung jubah.
"Dokter sedang berusaha. Kau tidak lihat?" mata emas pria itu menunjuk.
"Percuma. Dokter-dokter itu tidak akan bisa," sanggahnya. Ditrian terlihat tidak suka. Tapi mereka sudah menunggu sejam lebih. Wajah para dokter juga masih tegang. "Kita tidak punya banyak waktu. Jika kau ingin kekasihmu selamat, kau harus ikuti ucapanku."
Ditrian mengernyit. "Ke-kekasih?! Dia bukan-"
"Perintahkan semua orang untuk pergi dari sini. Aku akan mengurus sisanya."
Tangan Ditrian mengepal. Tak pernah sekali pun dalam hidupnya, sejak ia menjadi seorang raja. Ada orang asing yang lancang memerintahnya begini. Namun, pria itu tak punya pilihan. Ia harus menyelamatkan Evelina putri Duke Gidean. Bagaimana pun caranya. Meski enggan, ia tak punya pilihan lain selain menuruti kemampuan wanita misterius ini.
Ditrian masuk ke dalam bangsal, lalu meminta para dokter, perawat, bahkan Duke Gidean untuk meninggalkan ruangan.
"Tapi Yang Mulia ... kami masih belum tahu racun macam apa ini."
"Ikuti saja perintahku," singkatnya. Bingung, namun pada akhirnya para dokter mengangguk dan meninggalkan bangsal. Bahkan Duke Gidean terlihat sangat terluka saat harus meninggalkan putrinya yang sekarat itu. Ia tersedu. Setelah semua orang pergi dan jauh dari bangsal, ia membiarkan wanita asing itu masuk, lalu menutup pintu bangsal.
"Kau boleh pergi. Aku harus-"
"Apa menurutmu aku percaya padamu? Aku akan tetap di sini. Kalau kau macam-macam pada Evelina, aku akan-"
"Membunuhku di tempatku berdiri?" potongnya. Ia mengangguk-angguk sudah paham. "Kau sudah mengatakan itu. Ya sudah. Terserah kau saja." Ia pun berbalik. Kini menghadapi Evelina yang terbaring dan terpejam.
Kondisinya terlihat lebih parah dari sejam yang lalu. Kulit leher hingga dadanya berubah warna menjadi biru tua nyaris gelap. Wanita itu membuka tudungnya. Kedua tangannya ia arahkan ke atas tubuh Evelina. Di atas lehernya yang menghitam lebih tepat.
Ditrian mengeluarkan lagi pedangnya dan mengacungkan pada punggung wanita itu. Dia hanya melirik dan sudah tidak peduli pada ancaman Ditrian.
Wanita itu mulai merapal mantra dengan lirih dan desisan. Seketika kedua telapak tangannya bercahaya. Garis emas bercahaya muncul di kulitnya, di punggung tangannya. Dari kuku, buku-buku jari, lalu bersatu di punggung tangan. Mungkin garis itu masih berlanjut di balik lengan bajunya.
Sebuah asap tipis berwarna hitam menguap dari kulit leher dan dada Evelina. Asap itu menjalar di udara yang kosong dan mengapung di atas tubuh Evelina yang diam.
Mungkin selama sepuluh menit. Ditrian juga hanya bisa memandangi dengan takjub. Dia tak pernah melihat sesuatu yang seperti ini. Bahkan ... ketika ia melihat sihir yang dilakukan Elf atau manusia ... ini bukan seperti keduanya. Ini ... begitu indah. Perlahan kulit Evelina kembali putih. Kepulan asap itu mengambang di sana. Tangannya bergerak ke arah lain, dan asap itu mengikuti. Ia memindahkan asap ke sebuah cawan perak paling dekat.
Tangannya berhenti bercahaya, garis-garis emas itu redup dan lenyap. Asap itu jatuh, namun langsung menguap dan hilang. Seolah tidak pernah ada apa-apa di cawan perak itu.
"Dia akan selamat. Hanya harus beristirahat beberapa waktu untuk pemulihan."
Ditrian telah menceritakan segalanya. Soal pernikahannya, soal Evelina. Ia membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, di antara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan ramuan sihir pencekik itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah."Apakah bagi Anda ini adalah masalah pribadi, Raja Ditrian?"Ditrian meng
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul rombongan mereka.Sebuah kabar yang mungkin tak diduga oleh Ditrian. Sudah tiga hari ia dan rombongannya meninggalkan istana. Katanya, Evelina von Monrad, Regina istana meninggal bunuh diri meminum racun. Duke Gidean von Monrad wafat karena mengalami sakit jantung. Duchess A
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa. Wajahnya dirias begitu elok. Rambut coklatnya tersanggul menawan dengan sebuah tudung transparan menutupi wajahnya. Ia menggenggam seikat bunga berwarna putih. Dia
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dari Kaisar Alfons. Ia tengah memikirkannya, botol itu yang ada di kotak rahasia berlapis beludru.Botol merah
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-benar bisa berbicara dengan pujaan hatinya, Lady Sheira, begitulah kini panggilannya. Ia telah menjadi seorang Viscountess. Gelar kebangsawanan yang biasanya diberika
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."Hati Evelina diselimuti rasa haru, ia nyaris meneteskan air matanya. Evelina menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku selalu mencintaimu bagaimana pun keadaanya, Ditrian.







