Share

LUKA 2

"Lantainya licin, Kay terpeleset hampir jatuh," jelas Mas Dipta.

Friska melihat ke sekitar, lantai memang basah bekas jejak sepatu. Terlihat Burhan datang dengan alat pel dan ember.

"Hati-hati," ucap Friska kemudian. Aku memaksa senyumku.

"Mat, antar mbak ke mobil!" seruku saat melihat Rahmat. Security yang kucari sedari tadi. Pelan kaki melewati lantai yang baru akan dibersihkan Burhan itu.

"Aku duluan, ya," pamitku lagi ke Friska.

"Hati-hati," pesannya lagi. Sekilas ku melihat ke arah Mas Dipta yang belum melepas pandanganya dariku.

Rahmat mengantarku sampai di mobil, walau masih sedikit basah juga saking derasnya hujan.

"Makasih Mat, besok ya," ucapku sebelum membuka pintu mobil.

"Iya Mba Kay, kayak apa aja. Hati-hati mba, jalanan licin," pesannya padaku.

"Makasih ya, duluan," pamitku lagi.

Pelan kulajukan mobil menembus derasnya hujan. Kacau sekali hatiku saat ini, mencoba tetap tenang karena masih di jalan. Sampai di rumah, hujan juga masih deras mengguyur.

"Assalamualaikum," salamku, saat memasuki rumah.

Suara khas Prilly menyambutku, gadis kecil itu sedang belajar bersama oma-nya. Setelah menyapanya sebentar, langkah tertuju ke kamar. Segera membersihkan diri dan melepas penatku dengan air hangat.

Selepas mandi, sekalian shalat isya, baru aku keluar menemani Prilly belajar. Gadis kecilku itu baru saja masuk sekolah dasar. Untuk ukuran kelas satu sekarang, pelajarannya sudah setara denganku saat kelas tiga sepertinya. Celoteh lucunya saat bercerita tentang aktivitasnya hari ini menjadi mood booster bagiku.

"Prilly bobo aja, kan tugasnya dah selesai," ucapku, saat melihat gadis kecilku itu menguap beberapa kali. Setelah membereskan bukunya, Prily masuk ke kamarnya dengan mengandengku.

"Dah, bobo," ucapku sambil menutupi tubuh mungil itu dengan selimut motif kartun kesayangannya. Kuusap lembut kepala gadis kecill itu.

Kutatap wajah mungil yang kini terlelap itu. Kugigit bibirku, hatiku tiba-tiba terasa perih, sangat perih. Dadaku begitu sesak terasa, apalagi saat mengingat pertanyaan yang sering dia lontarkan akhir-akhir ini. Saat dia mulai mengerti silsilah keluarga. Dia selalu bertanya, kenapa dia tak memiliki papa.

Papa Prilly sudah di surga, jawabku. Tak peduli dia masih hidup atau sudah mati. Tapi bagiku, sosok itu sudah mati. Tapi, kenapa kami harus dipertemukan kembali dalam situasi seperti ini. Aku menutup rapat masa laluku, bahkan ke Friska sekalipun. Sepengetahuannya papa Prilly meninggal saat aku hamil Prilly. Itu yang aku ceritakan padanya saat kami mulai dekat sewaktu kuliah dulu.

Bagaimana perasaan anakku dan juga orang tuaku saat tau Mas Dipta lah yang akan menjadi suami Friska sahabatku. Ini tak mudah bagiku, sangat tak mudah. Luka yang telah lama aku pendam kini kembali lagi terasa perihnya. Menjadi single parent tidaklah mudah. Apalagi saat Prilly mulai bertanya tentang sosok papanya. Bagaimana dia? seperti apa rupanya? apakah dia sayang padanya?

Hingga dia menemukan foto pernikahan yang kusimpan di gudang, beberapa bulan yang lalu. Wajah pria itu melekat di wajah putriku, matanya, hidungnya semua milik mas Dipta. Apa yang akan dia rasakan saat tahu pria dalam foto yang sekarang terpasang di mejanya itu ternyata masih hidup dan akan menikah dengan tante kesayangannya.

Apa yang akan kujelaskan padanya, tak mungkin aku katakan papa nya tak tau tentangnya, papanya tak mengharap hadirnya, papanya tak pernah mencintai mamanya. Bagaimana caraku menjelaskan pada gadis mungilku ini. Dadaku semakin sesak terasa, akan lebih baik aku tak bertemu kembali dengan pria itu sampai akhir hidupku.

Friska, apa yang harus kukatakan padanya, jujur padanya itu tak mudah. Aku juga tak ingin Mas Dipta tau tentang Prilly, dia anakku hanya milikku. Tapi saat Prilly melihat Mas Dipta, dia pasti mengenali papanya itu. Friska sedang jatuh cinta, akan sangat tidak baik untuk hubungan kami.

Tapi kalau tak kuceritakan sebenarnya, rasanya seperti mengenggam sebuah bom waktu, yang akan bisa meledak kapan saja dan melukai banyak orang di sekitarku. Apa pun langkah yang aku ambil tak ada satupun yang baik untukku efeknya.

Pandanganku lekat ke arah foto di atas nakas. Pria itu bahkan tanpa senyum saat itu, dan aku gadis polos yang begitu naif, yang berharap dari sebuah peribahasa, 'tresno jalaran soko kulino'. Berharap Mas Dipta bisa menerima dan mencintaiku seiring waktu. Walau pada kenyataannya dia membuangku.

Aku mati rasa sejak itu, sejak dia memulangkan kembali diri ini pada mama dan papa, menalak tanpa mempertimbangkan sedikitpun rasaku. Tak pernah peduli betapa hancurnya hati ini, betapa terinjak harga diri dan martabat keluargaku. Dia pergi dengan tanpa merasa bersalah bahkan sampai kemarin, dia tak terlihat seperti orang yang telah meninggalkan luka.

~~

"Dion pemuda yang baik, dari keluarga baik- baik juga. Dan yang pasti, mereka mau menerima segala kekuranganmu," ucap mama.

Tiga bulan terakhir ini, kembali sebuah perjodohan dihadapkan padaku. Masih keluarga jauh dari mama, beberapa kali bertemu, tak ada yang kurang secara fisiknya, cukup tampan, walau tak setampan Mas Dipta. Mapan dalam finansial dan pekerjaan. Sosok yang dewasa, terlihat sabar dan penyayang.

Hanya saja sedikitpun tak ada getaran dalam dada ini saat bersamanya. Kami tak ubahnya terlihat sebagai sahabat saja. Sudah berusaha mencoba, tetapi tetap sama.

"Kay, masih trauma, Mah," jawabku.

"Sampai kapan? Jangan menyiksa diri sendiri. Ingat, kami tak bisa selamanya bersamamu. Kamu harus memiliki pendamping yang bisa menjagamu dan juga Prilly." Terlihat pengharapan di wajah cantik yang mulai mengeriput itu.

"Iya ma, Kay akan mencoba untuk belajar membuka hati," jawabku. Tak ingin wanita tangguhku ini mencemaskanku.

Ragu dalam hatiku, aku ingin bercerita tentang Mas Dipta, tapi pasti akan menjadi beban pikiran mereka. Sepertinya harus segera mencari jalan keluar, sebelum Mas Dipta mengacaukan hidupku kembali.

~

Kehadiran Mas Dipta membuat fokusku dalam bekerja berantakan. Jujur atau diam sama-sama tak menguntungkan bagiku, berpengaruh buruk pada hubunganku dengan Friska. Sahabatku itu sedang dimabuk cinta, tak mudah bicara pada wanita yang sedang jatuh cinta.

"Kay, aku mau makan siang di luar ya, Mas Dipta ngajak keluar. Mau ikut nggak? Dia nawarin juga kalau kamu mau ikut," ucap Friska, menarik kursi dan duduk di depan mejaku.

"Hmm, suruh jadi obat nyamuk hehehe," jawabku tertawa kecil. " Nggak lah, aku di kantin sebelah aja."

"Mas Dipta nanya-nanya tentang kamu, katanya kamu mirip tetangganya dulu. Kamu pernah tinggal di Banyuwangi kan saiy? mungkin beneran tetangga kamu dulu," cerita Friska.

Hatiku mulai tak nyaman. Mas Dipta mulai mengorek informasi tentangku ternyata.

"Kamu cerita juga kalau aku janda beranak satu?" tanyaku sedikit ragu.

Friska menggelengkan kepalanya, "Belum sampai ke situ sih, aku cerita tentang kamu."

Aku menarik nafas lega.

"Nggak usah cerita ya,"

"Memangnya kenapa?"

"Sapa tau ada temennya Mas Dipta yang masih lajang, bisa double date kita," jawabku asal. Friska tertawa.

"Ya udah, aku pergi dulu ya, bye sayang," pamit Friska beranjak dan berlalu. Wajah ceria nampak begitu jelas sebagai penggambaran hatinya yang sedang berbunga-bunga.

Aku tak suka kondisi seperti ini, sungguh sangat menyesakkan. Kenapa harus dia, yang Friska pilih. Kenapa dia juga berada di kota ini. Diriku berharap di kota ini akan menemukan ketenangan dan dapat memulai kisah baru, mengubur cerita kelam masa lalu.

Kembali menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang sedari tadi hanya kubolak balik berkasnya tanpa mampu mengerjakan. Banyak laporan yang harus kukerjakan. Kuacak rambutku sedikit kasar, mencoba melepas bayang Mas Dipta dengan berbagai masalah yang dibawanya.

Hanya istirahat untuk sholat saja, hari ini. Beberapa laporan sudah diminta kantor pusat, aku maksimalkan menyelesaikan hari ini.

"Kamu nggak pulang?"

"Lembur aku, pusat minta selesai maksimal lusa, ini banyak banget soalnya," jawabku saat Friska menghampiri mejaku.

"Ya udah, aku duluan. Jangan malem-malem jaga kesehatan juga," pesan Friska, kemudian mencium pipi kanan kiriku.

"Iya cintah, bentar lagi kok," jawabku mengulas senyum.

Friska beranjak meninggalkanku. Kembali fokus ke laporan yang memang sudah di tunggu kantor pusat. Tak terasa jam sembilan sudah terlewat. Setelah kuemail, aku membereskan berkasku diatas meja. Merenggangkan sejenak badanku sebelum beranjak pulang.

Masih ada beberapa karyawan lain juga yang nampak asyik dengan pekerjaannya. Mereka membalas sapaku dengan lambaian tangan dan ucapan hati-hati di jalan. Di lobby bawah juga mulai sepi, hanya nampak beberapa karyawan bagian lapangan dan tiga security yang bertugas. Seperti biasa sapa manis selalu aku berikan.

Pedar di mobilku disertai suara 'blip blip' saat tombol gambar gembok terbuka kutekan di kunci mobil.

"Kay,"

Tangan ini baru akan membuka handling pintu mobil saat terdengar seseorang memanggil namaku.

"Mas ngapain di sini?" tanyaku sedikit terkejut melihatnya.

"Mas mau bicara hal penting," jawabnya.

Kulihat sekitarku, merasa tak nyaman saja. Pastilah sudah ada beberapa karyawan lain yang sudah mengenal Mas Dipta sebagai kekasih Friska.

"Tentang apa?"

"Tentang rencana pernikahanku dengan Friska," jawabnya.

Aku bergeming, menunggunya melanjutkan kata-katanya.

"Apa kamu tak apa-apa?"

"Memangnya kenapa? Itu tak tak ada hubungannya lagi dengan Kay, bukan."

"Mas minta maaf, mas dulu bersalah padamu. Mas tak memperdulikan perasaanmu waktu itu. Mas terlalu egois, maafkan mas,"

"Untuk apa? sudahlah mas, lupakan semua. Kay sudah maafin Mas Dipta, mas juga bisa lihat, Kay baik-baik saja kan. Tak perlu memikirkan Kay, kalau mas mencintai Friska, serius dan benar-benar ingin menjaganya, nggak masalah kok. Kay ikut bahagia," ucapku padanya.

"Apa Kay tak mencintai mas lagi?"

Aku menggelengkan cepat kepalaku.

"Nggak, rasa itu sudah mati, selepas mas menalakku dan mengembalikanku kepada orang tuaku," jawabku, tiba-tiba sesak itu kembali mendera dadaku.

"Apa kamu percaya?, kalau mas katakan sekarang mas menyesal."

Aku tersenyum sinis. Apa coba maksud pria ini, mengatakan semua itu sekarang. Hanya membuatku semakin sakit kepala saja.

"Percaya atau tidak, tak ada gunanya juga. Kay capek, Kay pulang dulu, permisi," ucapku sambil membuka pintu mobilku.

Kulajukan mobilku, bergerak menjauh meninggalkan Mas Dipta yang masih berdiri di tempat yang sama. Kesal kuacak rambutku sendiri. Ada apa dengannya, kenapa ingin terkait lagi denganku.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ronggur Milae
hidup kok dibuat rumit, buat saya pribadi lelaki yg begitu, ngapain dipikirin, ya sdh ceritakan pada sahabat dan anak mu itu hal yg sebenarnya, dan buat pembatas yg jelas, klu masih ada rasa cinta di hati utk lelaki yg begitu, anda bodoh, dungu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status