Share

Luka 4

Cepat atau lambat, Friska pasti akan tau juga, dan akan lebin baik kalau dia tau bukan dari orang lain. Secepatnya aku harus mencari waktu yang tepat untuk bisa bicara dari hati ke hati, agar dia tak salah paham padaku.

Sejenak kusingkirkan masalah Friska, berkas di mejaku sudah menunggu untuk segera aku eksekusi. Semua report yang diminta oleh pusat harus selesai hari ini. Mulai kusibak satu persatu tumpukan berkas itu.

Tak terasa sudah siang, pantas saja perutku keroncongan. Telepon di mejaku berdering. Suara Friska terdengar saat aku mengangkatnya. Dia akan makan siang di luar, menanyakan apa aku akan menitip sesuatu. Aku jawab tidak, seperti biasa dia keluar dengan Mas Dipta.

"Saiy, besok malam pulang ngantor kita ngopi di tempat biasa ya, lama nggak ke sana," ucapku sebelum Friska mengakhiri panggilannya.

"Hayuklah, oke aja aku. Ya udah Mas Dipta sudah nunggu di depan. Eh dia nanyain kamu mau ikut nggak, dia mau nraktir ini."

"Nggak ah, aku udah pesen Mas Amir tadi," jawabku.

"Ya udah kalau gitu, aku keluar dulu, bye," pamit Friska. Aku meletakkan gagang telepon setelah Friska menutupnya.

Sisa sedikit lagi laporan selesai, aku memilih melanjutkannya. Laporan lain sudah menunggu giliran juga. Fokusku teralihkan saat Amir datang dengan makan siang yang kupesan.

"Makasih ya Mir," ucapku. Sebungkus gado-gado sudah dia letakkan di atas piring.

"Sama-sama Bu, mari," jawabnya, sedikit membungkuk dan kemudian berlalu.

Kutarik laci dan mengambil sendok dari dalamnya, sebotol air sudah kusiapkan menemani makan siangku di depan layar monitor. Segera kutuang sambal yang sengaja dipisahkan.

Ketukan di pintu, mengusik acara makan siangku. Dengan mulut yang masih mengunyah, aku mempersilahkan pengetuk pintu untuk masuk.

Aku terkesiap melihat siapa yang muncul dari balik pintu, segera kutarik tissu dan mengelap mulutku, kemudian bangun dari dudukku.

"Iya Pak," ucapku kemudian.

Pria itu berjalan menuju mejaku dengan dua map berwarna merah di tangannya.

"Tolong kamu buatkan saya proposal untuk ini, saya tunggu ya," ucapnya meletakkan map itu di mejaku.

"Maaf Pak, ini kan tugasnya Indah," ucapku.

"Indah bawahan kamu juga kan? Saya minta ini dahulukan dulu," balasnya dingin.

"Baik pak, saya mengerti. Segera saya buatkan proposalnya," jawabku. Pak Ryan hanya mengangguk samar, kemudian keluar.

Aku kembali duduk dan menarik dua map berwarna merah itu. Harusnya tugasku hanya mengetahui, Indah yang punya tugas mengurus hal ini. Kulanjutkan laporan yang tinggal sedikit lagi, sebelum beralih perkerjaan lainnya.

Segera ku email kepada Pak Ryan, setelah kedua proposal itu selesai kubuat. Tak berapa lama telponku berdering. Pak Ryan meminta hard copy proposalnya juga, dan memintaku mengantar ke ruangannya.

Gegas kubawa lembaran proposal beserta berkas dalam map yang tadi diberikan padaku ke ruangan Pak Ryan. Melewati beberapa karyawan yang juga memilih tidak makan siang di luar.

"Siang Bu," sapa Indah bagian dari tim-ku

"Pak Ryan tadi yang minta, sudah mau saya buatkan proposalnya, tapi katanya nggak usah," lanjutnya lagi.

"Nggak papa, reportmu minggu kedua dan ketiga saja segera selesaikan," jawabku padanya.

"Iya Bu, segera saya selesaikan, untuk laporan mingguannya," jawab Indah, aku hanya mengangguk.

Kulanjutkan lagi langkahku menaiki anak tangga, menuju ruangan Pak Ryan. Lantai ini memang hanya berisi dua ruangan untuk debuti manager, satu ruangan branch manager dan sebuah ruang rapat yang cukup luas. Terdengar ada suara Pak Azhar dari dalam. Kuketuk daun pintu itu pelan, terdengar suara pemilik ruangan mempersilahkan masuk.

"Siang Pak," sapaku pada kedua atasanku itu. Senyum tersungging di bibirku.

"Kay," sapa Pak Azhar tersenyum membalasku. Aku cukup akrab dengannya.

Aku berjalan mendekat. Memberikan proposal yang Pak Ryan minta.

"Mohon di koreksi dulu Pak," ucapku kemudian. Pak Ryan membuka lembaran proposal yang tadi kusodorkan, kemudian membacanya. Kepalanya memanggut pelan.

"Sudah," ucapnya kemudian. Dia menanda tangani bagiannya. Kemudian menunjuk bagianku, dan aku menanda tanganinya juga

"Scan, email ke Zainal area, kamu follow up terus sampai di pusat,"

"Baik pak?" jawabku lagi. "Kalau sudah tidak ada lagi, saya permisi," pamitku.

"Buru-buru amat to," ucap Pak Azhar.

"Banyak yang perlu di kerjakan Pak," jawabku, dan kembali pamit.

Menjelang akhir bulan pasti selalu begini, yah, dari dulu ritmenya selalu sama. Akhir dan awal bulan pasti lebih sibuk.

~🌺~

Lepas magrib, aku melanjutkan sebentar pekerjaanku. Hampir isya, aku berkemas. Tak perlu membawa pekerjaan pulang hari ini. Aku menuju ke ruangan Friska, dia terlihat masih sibuk dengan monitor dan banyak odner di mejanya.

"Nggak pulang?" tanyaku padanya.

"Laporan Fani baru masuk, Pak Ryan sudah minta, lembur deh," jawab Friska.

"Ketatin lah, anak-anak itu. Jangan terlalu longgar, laporan kan juga ada deadline nya," ucapku.

"Iya, nggak kayak anak-anakmu."

Aku hanya mengulas senyum, mendengar Friska.

"Aku duluan ya, jangan malam-malam, ok," lanjutku, kemudian mencium pipi kiri dan kanannya. Aku segera berlalu, jam segini kantor masih saja ramai, di bagian lapangan apa lagi.

"Lembur Pak Bos," sapaku ke Radit, salah satu marketing head.

"Target masih jauh, Bu Bos," balasnya, sambil memegang kepalanya. Aku tertawa kecil.

"Semangatlah, tim operation selalu siap mendukung," ucapku. "Aku cabut duluan, persiapan lusa Hahahaha," pamitku.

"Hati-hati, Kay."

Aku mengganguk kemudian kembali berjalan ke arah lobby. Menyapa dengan manis setiap karyawan yang kutemui. Rudi security, memberikan kunci mobilku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku gegas ke tempat parkir.

"Kay."

Baru aku akan membuka pintu mobilku, Mas Dipta memanggilku, dia berjalan mendekat saat kubalikkan badan.

"Kamu ada waktu? mas perlu bicara."

Ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jam tujuh lewat sepuluh. Aku mengangguk, ada yang perlu dibicarakan juga dengannya. Tak mungkin bicara di sekitar kantor, aku memilih sebuah kafe tak jauh dari sini.

Dalam lima belas menit, kami sudah duduk berhadapan di salah satu sudut kafe.

"Aku atau Mas dulu bicara?"

"Kay duluan aja," jawabnya. Aku mengangguk.

"Ini tentang Friska, Mas tau kan? betapa kami begitu dekat." Mas Dipta mengangguk pelan, "Aku ingin mengatakan semua tentang kita."

Mas Dipta terlihat terkejut mendengarku.

"Tenang saja, aku tak akan menjatuhkan mas kok. Aku akan bilang kita berpisah karena tidak ada kecocokan. Karena memang kita dijodohkan dengan paksa," ucapku mencoba tenang.

"Daripada aku terus menutupinya dan dia tau dari orang lain, akan buruk akibatnya untuk persahabatan kami," jelasku pada Mas Dipta.

"Jujur masih lebih baik, apa pun akibatnya," lanjutku lagi.

Mas Dipta bergeming, entah apa yang pria ini pikirkan. Sesaat pandangan kami beradu, ada yang kembali mendesir dalam dadaku. Sedalam apapun aku mengubur rasa itu, saat menatap mata elang itu, semua seolah muncul kembali ke permukaan.

"Maafkan mas atas semua yang sudah mas lakukan padamu, mas masih sangat labil waktu itu. Tanpa mas sadari mas sudah sangat menyakitimu," ucapnya pelan.

"Mas sudah merenggut kesucianmu, dan mas meninggalkanmu begitu saja, maafkan mas. Mas kembali mencarimu saat sadar mas sudah berbuat zalim padamu. Namun, mas tak menemukanmu, tak ada yang tau kamu di mana," ucap Mas Dipta.

Aku kembali menatap wajah pria yang dulu pernah sangat ku gilai itu.

"Mas mencarimu, beberapa tahun ini. Tapi kamu menghilang bak ditelan bumi, mama sampai jatuh sakit memikirkanmu, orang tuaku merasa sangat bersalah padamu. Dan sekarang, saat aku mulai membuka hati dan mencoba bangkit, kita kembali di pertemukan."

Aku menyimak semua yang Mas Dipta ceritakan, menahan sesak di dadaku yang kembali membekapku.

"Aku mencintaimu, sadarku hadir setelah beberapa bulan kita berpisah, namun sepertinya waktu itu semua sudah terlambat. Dirimu telah menghilang tanpa bisa kutemui."

Sungguh bukan hal ini yang ingin kudengar, hal ini justru akan sangat mengacaukan hidupku.

"Sudahlah mas, mungkin jodoh kita hanya sampai di situ, kita mulai hidup baru. Friska gadis baik, dia seperti adikku sendiri. Dia sangat mencintai Mas Dipta, tolong jangan pernah menyakitinya," ucapku.

"Tapi Kay, aku ingin kita kembali, belum terlambat kan?, Friska pasti akan mengerti. Aku tak yakin bisa dengannya setelah menemukanmu kembali."

"Mas, kita sudah berakhir. Kay sudah tak memiliki perasaan apa-apa lagi. Jadi jangan pernah berpikir untuk merujukku kembali, itu tak aku inginkan."

"Kay kira cukup, mas siapkan sendiri penjelasan untuk Friska, yang jelas aku akan cerita tentang status kita dulu,"ucapku.

Aku bangun dari dudukku, dan akan beranjak, Mas Dipta menahanku. Dia memegang tanganku.

"Kay, mas mohon. Mas tau kamu masih mencintai mas. Kenapa kita harus menyembunyikan dan membohongi perasaan kita sendiri," ucap Mas Dipta.

Tanganku perlahan aku tarik, namun tak dilepasnya, dia masih seperti dulu, egois.

"Kay." Panggilan itu membuatku terkejut, itu suara milik Mas Byan.

Aku menoleh keasal suara, Mas Byan memandangiku kemudian melihat kearah tanganku, Mas Dipta yang juga kaget melepas pegangannya.

"Kalian?"

"Mas Byan," sapaku padanya.

"Friska mana?" tanyanya. Aku menggeleng.

Mas Byan melihatku setengan heran, entah apa yang dia pikirkan, tapi bukan pertanda yang baik sepertinya. Kepalaku mendadak sakit sekali, semua serba kebetulan. Dan ini bukanlah kebetulan yang menyenangkan tapi akan menjadi masalah.

Sudah kepalang basah, mandi sekalian. Mungkin itu istilahnya, aku menarik tangan Mas Byan dan membawanya ke salah satu meja, mejauh dari Mas Dipta yang masih bergeming.

"Akan Kay jelaskan semua," ucapku saat kami sudah duduk di sebuah meja. Mas Byan menatapku, tak bicara apapun, seolah menunggu untuk penjelasanku.

"Kay dan Mas Dipta, dulu pernah menikah," ucapku.

"Apa?"

Mas Byan terlihat kaget mendengar kalimat yang baru terlontar dari mulutku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status