Friska memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku sengaja mengatur mode senyap di ponselku tadi. Mendengar penjelasanku dia malah tertawa ngikik.
"Rejeki kamu yank, hahaha," ucap Friska. Aku hanya memanyunkan bibirku."Eh, ngerasa nggak kalau Pak Bos agak beda sama kamu?""Beda apanya, yang ada pekerjaanku nambah banyak.""Siapa tau, cuma alasan dia aja mau deket sama kamu," ucap Friska lagi."Wah, Mas Byan ada saingan sekarang.""Apaan."Friska kembali tertawa. "Ya udah, sana! aku banyak kerjaan," ucapku ke Friska, daripada dia terus mengodaku. "Aku tunggu di bawah nanti sepulang kantor," lanjutku."Siap, sayang," ucap Friska, masih sempat menguyel pipiku sebelum keluar ruanganku. Kupandangi sahabatku itu sampai menghilang dibalik pintu, ada ketakutan menderaku, takut tak ada lagi kebersamaan seperti ini untuk esok hari, takut senyum dan tawa ceria itu memudar, dan aku takut kehilangan sosoknya dari hariku.Ya Tuhan, apalagi Mas Dipta sekarang sudah berani menunjukkan perasaannya padaku. Bagaimana kalau Friska juga tau hal itu, kepalaku sakit sekali. Semua berputar di otakku. Jelas ini akan buruk untuk hubunganku dengan Friska.Kenapa dia harus kembali, dan kenapa kami dipertemukan kembali. Dan kenapa dia harus menyesali semua dan ingin kembali padaku. Akan lebih baik jika dia seperti dulu, tak mencintaiku. Pasti lebih mudah menjelaskan ke Friska.Friska, aku dapat melihat cinta yang begitu besar dari sorot mata indah itu. Dia tak pernah terlihat seperti ini sebelumnya. Kenapa harus dengan Mas Dipta? Apa yang Tuhan rencanakan untukku dibalik ini semua. Aku masih terdiam saat ponselku berpedar, sebuah pesan dari Mas Byan masuk."Apa Prilly, anak Dipta?"Tanpa membuka Aplikasi, pesan itu terbaca di notif. Aku bahkan belum memikirkan untuk jawaban pertanyaan tentang Prilly. Setau mereka Ayah Prilly meninggal, karena itu yang aku ceritakan sebelumnya.Kepalaku semakin sakit, bagaimana perasaan Friska, saat tau Mas Dipta telah memiliki anak dariku. Dan bagaimana juga dengan Mas Dipta saat tau hal yang sama, pasti keingginan dia untuk untuk kembali padaku akan semakin besar. Ya Tuhan, kenapa aku dihadapkan pada situasi seperti ini. Tak mau diri ini kehilangan Friska sebagai sahabat dekatku, tapi dengan mengutarakan kenyataan ini padanya, pasti sangat berpengaruh pada hubungan kami. Prilly juga berhak tau siapa ayahnya, dia juga membutuhkan sosok ayahnya suatu saat nanti. Tapi mengingat saat pria itu mengembalikan aku kepada mama dan papa, rasanya aku tak ingin memberi tau yang sebenarnya. Apa harus kujelaskan juga, kalau dia hadir bukan buah dari cinta, tapi dari perbuatan seorang pria mabuk, yang masih saja tetap menyalahkan aku karena kejadian itu.Luka ini kembali basah saat mengingatnya. Rasanya kembali perih, mau tidak mau memoryku kembali ke masa itu, masa bertahun-tahun yang lalu. Hamil tanpa di temani suami, dan membesarkan anak sendiri tanpa sosok ayah. Rasanya sakit sekali.Dan sekarang saat aku mencoba kehidupan baru, mulai nyaman dan mengubur masa lalu, dia kembali membawa masalah baru bagiku dan orang-orang di sekitarku. Menjelaskan semua tentangku, tidaklah mudah. Membuka satu cerita, akan menguak banyak kisah lainnya. Dan semua kisah itu teramat sangatlah menyakitkan. Aku seperti sedang mencabik luka sendiri, mengoyak hati dan juga rasaku. Mengali kembali kenangan buruk masa lalu yang kelam dan menyakitkan.Jujur aku tidak siap dengan kondisi seperti ini. Segala langkah yang aku ambil, semua tak ada yang memihak padaku. Semua berakibat tidak baik untukku, baik itu hubunganku dengan Friska, ataupun Mas Ditta, mama dan papa serta gadis mungilku Prilly.Suara telepon membuyarkan lamuananku, kuseka air mataku yang hadir tanpa kusadari. Aku mengatur nafas dan juga hatiku."Selamat siang, dengan Kayana di sini, ada yang bisa saya bantu?""Iya, ke ruanganku," jawab si penelepon singkat, kemudian menutupnya.Ada apa lagi, dengan orang ini. Dia kira tidak capek naik turun tangga dengan sepatu berhak tinggi. Aku mengambil kaca kecil dari laciku. Terlihat mataku memerah dan sedikit bengkak di bawahnya. Kusapukan sedikit bedak untuk menutupi, serta mengoles tipis lipstik berwarna pink soft ke bibirku.Segera kubergegas melangkah ke lantai atas, pintu tidak tertutup namun aku tetap mengetuknya. Tampat sudah ada Radit, Pak Seno, dan juga Mas Reza di dalam. Tak berapa lama Friska sudah ada di belakangku. Pak Ryan menyuruh aku dan Friska duduk."Mulai sekarang, lembur di mulai tiga hari menjelang akhir bulan, dan section head setiap devisi harus tetap berada di kantor, sampai proses selesai," ucap Pak Ryan."Untuk tim marketing, tolong di optimalkan kinerjanya, target masih belum dilampaui. Harus ada progres dibanding bulan sebelumnya, paham?""Siap, Pak," jawab para supervisor itu."Tim operation dan finance, di mohon support nya, dan section head wajib mengawal dan bertanggung jawab penuh pada timnya.""Baik, Pak," jawabku dan Friska serempak."Itu saja, jadi tolong dimaksimalkan waktu yang tersisa.""Berarti untuk kosumsi karyawan lembur, apa juga bisa dikeluarkan mulai hari ini pak?" tanya Friska."Iya," jawab Pak Ryan singkat. "Kamu buat proposalnya! pengajuan hanya sampai kepala cabang saja," perintahnya padaku."Baik, pak," jawabku mengerti.Kami keluar bersamaan selepas meeting dadakan ini selesai."Yah, nggak jadi nongki-nongki kita," ucap Friska sambil mengapit tanganku."Iyah," ucapku kecewa. "Semangat bu ibu, tim marketing tambah semangat kalau di tungguin dua section head cantik-cantik gini," goda Mas Reza."Bapak-bapak emangnya gak seneng juga?"Para supervisor itu hanya tertawa mendengar Friska.Huff, aku harus mencari waktu yang tepat lagi. Tak mungkin awal bulan, kami akan sibuk dengan laporan. Dan aku, minggu depan harus ke Bali. Kugaruk kepalaku yang tak gatal. Perlu waktu dan suasana yang bagus untuk membicarakan hal ini pada Friska.Baru aku mendudukan pantatku di kursi kerja, teleponku berdering. Pak Ryan menunggu proposal pengajuan dana lembur sekarang, karena dia mau keluar. Baru duduk juga. Untung aku punya file nya, tinggal copy paste dan mengganti tanggal saja. Kulepas sepatu tinggiku, berganti sepatu model flat, yang kusimpan di bawah mejaku.Kembali menaiki anak tangga, entah untuk yang keberapa hari ini. "Langsung kamu berikan, ke Friska!" perintahnya setelah menanda tangani proposal itu."Baik, Pak," jawabku."Aku mau keluar, nggak lama. Jam setengah limaan aku sudah balik kantor. Kalau ada yang penting, hubungi saja," jelasnya. Aku hanya menganggukkan kepala dan pamit kemudian.Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku
“Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid
“Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah … kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m
Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah … haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b