Cepat atau lambat, Friska pasti akan tau juga, dan akan lebin baik kalau dia tau bukan dari orang lain. Secepatnya aku harus mencari waktu yang tepat untuk bisa bicara dari hati ke hati, agar dia tak salah paham padaku. Sejenak kusingkirkan masalah Friska, berkas di mejaku sudah menunggu untuk segera aku eksekusi. Semua report yang diminta oleh pusat harus selesai hari ini. Mulai kusibak satu persatu tumpukan berkas itu. Tak terasa sudah siang, pantas saja perutku keroncongan. Telepon di mejaku berdering. Suara Friska terdengar saat aku mengangkatnya. Dia akan makan siang di luar, menanyakan apa aku akan menitip sesuatu. Aku jawab tidak, seperti biasa dia keluar dengan Mas Dipta. "Saiy, besok malam pulang ngantor kita ngopi di tempat biasa ya, lama nggak ke sana," ucapku sebelum Friska mengakhiri panggilannya. "Hayuklah, oke aja aku. Ya udah Mas Dipta sudah nunggu di depan. Eh dia nanyain kamu mau ikut nggak, dia mau nraktir ini." "Nggak ah, aku udah pesen Ma
"Maksud kamu?""Kami dulu dijodohkan, kami menikah tanpa cinta. Dan pernikahan kami hanya seumur jagung. Kami memilih berpisah karena tak ada kecocokan," jelasku kemudia pada Mas Byan. Pria itu masih bergeming menatapiku. Sejenak melihat ke arah Mas Dipta yang masih duduk di tempat yang sama. "Friska tau?"Aku mengelengkan kepala. Mas Byan memanggutkan kepalanya pelan."Wah, aku sampai bingung mau berkata apa," ucap Mas Byan. Pria berkumis tipis itu sesekali memegangi tengkuknya."Tapi Friska harus tau," ucapku kemudian. Mas Byan mengangguk setuju."Friska sedang jatuh cinta, dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jelas ini bukan hal yang baik untuknya, dan pasti akan menyakitinya," ucap Mas Byan kemudian."Tapi akan lebih sakit, kalau dia tau dari orang lain kan mas?" "Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Byan. Sejenak dia memindai wajahku."Walaupun kamu bilang tak saling cinta, tetap terasa ti
"Ini materi training program baru yang akan segera di luncurkan, kamu pelajari dulu. Awal bulan kita meeting, kamu yang sampaikan materinya pada karyawan lain," ucap Pak Ryan, memberikan beberapa bandel buku pedoman."Baik, Pak," jawabku"Tiketnya sudah dipesankan?""Sudah Pak, saya emailkan sebentar lagi," jawabku."Kamu kirim ke nomor WA saya saja," perintahnya."Baik Pak, ada lagi?" tanyaku kemudian."Temani saya makan siang nanti, ada Pak Restu dari kantor pusat bersama beberapa manager datang ke cabang," ucapnya."Friska dan Hani juga pak?" "Kamu saja," jawabnya kemudian. Aku kembali mengangguk. Biasanya kami bertiga yang ikut menemani, saat ada tamu dari pusat. Banyak yang berbeda sekarang, meski baru tiga bulan mengantikan BM yang lama, banyak perbaikan di semua lini. Mungkin karena masih muda ambisi dan semangatnya masih besar.Setelah memastikan tak ada hal lainnya aku pamit dan berajak k
Friska memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku sengaja mengatur mode senyap di ponselku tadi. Mendengar penjelasanku dia malah tertawa ngikik."Rejeki kamu yank, hahaha," ucap Friska. Aku hanya memanyunkan bibirku."Eh, ngerasa nggak kalau Pak Bos agak beda sama kamu?""Beda apanya, yang ada pekerjaanku nambah banyak.""Siapa tau, cuma alasan dia aja mau deket sama kamu," ucap Friska lagi."Wah, Mas Byan ada saingan sekarang.""Apaan."Friska kembali tertawa. "Ya udah, sana! aku banyak kerjaan," ucapku ke Friska, daripada dia terus mengodaku. "Aku tunggu di bawah nanti sepulang kantor," lanjutku."Siap, sayang," ucap Friska, masih sempat menguyel pipiku sebelum keluar ruanganku. Kupandangi sahabatku itu sampai menghilang dibalik pintu, ada ketakutan menderaku, takut tak ada lagi kebersamaan seperti ini untuk esok hari, takut senyum dan tawa ceria itu memudar, dan ak
Rencanaku untuk mengaku pada Friska sudah gagal, dan aku belum menemukan waktu yang tepat. Awal bulan seperti sekarang, kami harus berjibaku dengan banyak laporan. Jangankan nongki, makan siang saja kami di meja masing-masing. Seperti sekarang, ini hari minggu dan aku harus rela berada di kantor mulai pagi. Sore nanti aku dan Pak Ryan harus sudah berangkat ke Bali. Laporan yang paling urgent aku dahulukan, dan beberapa laporan sementara aku delegasikan.Tengah asyik bergulat dengan pekerjaanku, suara ketukan pintu mengalihkan fokusku. "Masuk!" ucapku setengah berteriak.Sosok Pak Ryan muncul dari balik pintu, dengan gaya yang berbeda. Rambutnya yang biasa klimis berpomade terlihat di terurai, kaos sedikit press body berwarna hitam berpadu denga riped jeans berwarna hitam juga."Lembur?" tanyanya."I ... iya," jawabku sedikit gugup, entah kenapa.Dia berjalan ke mejaku, dan menarik kursi kemudian duduk depanku. Tanpa sa
Motor matic kuparkir di belakang mobil, karena tak bisa masuk. Tidak di kantor, tidak di rumahku sendiri kelakuannya sama, mengganggu jalan."Assalamualaikum, " teriak Prilly saat masuk rumah, disambut jawaban dari ayahku dan pria itu. Prilly yang semula setengah berlari, melambatkan langkahnya."Salim dulu, sama temannya mama," pinta ayah ke Prilly, gadis kecilku itu langsung mendekat dan mencium punggung tangan pria itu. Pria itu mengusap lembut kepala Prilly. Pandangannya beralih ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Dia terlihat tak kaget saat Prilly disebut sebagai anakku."Kamu, tidak bersiap?" tanyanya padaku sopan."Iya," jawabku singkat.Aku tak ingin mempertanyakan maksud kedatangannya, atau mengutarakan kekesalanku padanya. Tak lucu juga kan? Kalau kami ribut di hadapan keluargaku. Aku beranjak ke kamar, bersiap dan mengecek bawaan sekali lagi."Itu ... kepala cabang yang baru?" tanya mama yang datang dengan botol
"Ayo!" ucapnya setelah menerima kartu pintu kamarnya. Aku berjalan mengekorinya. Kamar kami bersebelahan sama-sama di lantai dasar, menghadap ke kolam renang. Ini lebih seperti resort, dengan taman yang sangat luas."Kamu tidak lapar?" tanyanya padaku, saat aku akan masuk ke kamarku. "Kita cari makan selepas ini," lanjutnya."Iya," jawabku singkat.Kamar yang nyaman, melihat tempat tidur bersprei putih itu ingin rasanya segera menghempaskan badanku. Aku meletakan semua bawaanku dan menuju kamar mandi. Kamar mandinya juga tak kalah keren, ah kampungan sekali diriku. Tapi ini benar-benar nyaman sekali.Selepas membersihkan diri dan sholat aku mengecek ponselku yang bergetar dari tadi. Pak Ryan terlihat menelponku beberapa kali. Ih, tak sabaran sekali orang ini. Pesan masuk darinya, dia menunggu di dekat kolam renang."Apa selalu begitu perempuan, ribet," ucapnya saat melihatku datang. Aku menarik kursi dan duduk di
Bertemu dengannya kembali, bukanlah hal yang aku inginkan, apalagi dalam situasi seperti ini. Kenapa pria itu selalu membawa masalah untukku, dan fakta terburuknya adalah, aku masih mencintainya. Tapi bukan berarti aku ingin kembali bersamanya. Luka ini terlalu dalam, dan sulit bagiku melupakan semua yang pernah terjadi.Pesan masuk di ponselku, baru aku akan membalasnya, panggilan Video Call masuk, senyum sahabatku nampak begitu manis. Aku membalasnya dengan senyum yang sama.Friska memberitahu, kalau Mas Dipta juga akan ke Bali, karena itu dia memberi nomor ponselku padanya. "Aku ada pesan beberapa barang, mau nggak temenin Mas Dipta belanja? Dia bilangnya malas, baru mau pas aku mau minta tolong kamu buat temenenin dia," ucap Friska dengan gaya manjanya."Kenapa kamu nggak pesen ke aku aja langsung, kan aku bisa pergi sendiri. Malas tau jalan sama cowok, pa lagi cowok orang," jawabku, Friska tertawa."Dah, kam