Share

LUKA 3

Mataku sulit sekali terpejam, pikiranku kacau. Aku bangun beranjak ke meja kerjaku menyalakan laptop, mengalihkan ke pekerjaan mungkin bisa membantu. Tapi, ternyata kepalaku semakin pusing. Bayangan pria itu kembali hadir mengusik pikiranku. Mengingatkan aku kembali pada luka itu.

Kenapa harus Friska, kenapa harus sahabatku. Tapi dia berhak tau tentang masa lalu antara aku dan Mas Dipta, masalah dia tetap melanjutkan hubungan atau tidak itu urusan nanti. Mas Dipta sendiri juga sepertinya menutupi semuanya.

Bagaimana rasanya melihat pria yang pernah di cintai, kemudian pergi dengan meninggalkan luka, sekarang kembali datang dengan status calon suami orang terdekat kita, rasanya ... sungguh luar biasa sakitnya. Susah payah aku mengeringkan lukaku, mengubur masa lalu dan segala kenangan tentangnya. Dan juga kenyataan bahwa hanya dia pria yang pernah aku cintai, sampai detik ini.

Aku memang trauma mencinta, tapi aku tak bisa membohongi rasa dan diriku sendiri bahwa masih ada cinta itu dihatiku, sebesar apa pun luka yang dia tinggalkan di hatiku, tapi tetap tak bisa menanggalkan rasa cinta di hatiku untuknya. Sekeras apapun usahaku menepikan rasa itu atau pun mematikannya, tetap rasa itu masih ada, dia cinta pertamaku, cinta butaku.

Masih memiliki rasa bukan berarti aku masih menginginkannya. Sungguh aku tak ingin lagi bersamanya, memulai kembali kisah atau berurusan lagi dengannya dalam segala hal. Lebih baik seperti itu adanya, saat aku telah menganggapnya mati, dan hanya menyimpan cinta ini di dalam hati.

Bohonglah kalau aku mengatakan aku tak kembali sakit hati, atau tak perduli lagi. Siapa yang akan kutipu dengan rasaku, mungkin dia, Friska atau bahkan keluargaku. Tapi tidak dengan hatiku sendiri. Aku kembali terluka saat Friska bergelayut manja padanya. Aku sakit saat melihat binar indah di mata sahabatku, saat bercerita tentang mantan suamiku itu.

Cemburu? Bukan cemburu. Hanya sakit yang tak bisa aku definisikan kenapa dan mengapa. Aku tak menginginkan hadirnya kembali untuk saat ini. Akan lebih baik bila selamanya dia menghilang dari hidupku.

Kubuka laciku, mengambil beberapa foto yang baru kuambil dari gudang setelah bertahun-tahun kusimpan di sana. Aku kembali tersenyum masam , memoriku mengajak sejenak berkelana kembali ke masa itu. Masa indah yang ternyata kelam, begitu naifnya aku saat itu. Tak memakai pesta mewah hanya resepsi sederhana, kebaya berwarna putih, dan Mas Dipta memakai jas berwarna hitam.

Wajah itu tak berubah sampai sekarang, bahkan harus kuakui dia semakin terlihat tampan dengan tubuh yang lebih berisi. Sesuatu mengusik ingatanku, di mana Disa?, bukankan Mas Dipta meninggalkanku karena ingin bersama Disa kekasihnya.

Pria itu menyimpan banyak hal pada Friska, kasihan gadis itu. Tak rela rasanya melihat gadis itu terluka. Ada banyak hal yang perlu aku tau tentang Mas Dipta, setelah pergi dariku. Paling tidak akan banyak informasi yang bisa aku sampaikan pada Friska. Kumasukkan foto itu dalam buku agendaku, entah kapan Friska harus tau kebenarannya.

Sejenak kembali berputar otakku, lalu bagaimana kalau Mas Dipta tau tentang Prilly, aku tak ingin dia tau tentang anakku. Sikapnya tadi juga aneh, apa yang dia sesali, dan untuk apa menyesal. Perhatiannya padaku malah akan membuat kesalahpahaman antara aku dan Friska.

Otakku sudah tak bisa diajak untuk berfikir jernih, semua jalan serasa buntu. Dalam arti tak ada satupun pilihan yang akan berakibat baik untuk sekarang. Tapi setidaknya ini tidak menjadi bola salju, bila dibiarkan menggelinding terus menerus akan semakin besar, efeknya juga pasti lebih besar.

~

"Begadang lagi?" tanya Mama selepas aku mandi dan membantunya di dapur membuat sarapan.

"Kamu habis nangis?" lanjut mama lagi, memindai wajahku detail.

"Capekkan aja ma, kurang tidur. Kerjaan dari kantor numpuk," alasannku ke mama.

Terlihat mama tak puas dengan jawabanku.

"Mama Dion dari kemarin telpon mama. Dion tanya, kapan kamu senggang, mau ajak kamu jalan katanya," ucap mama.

"Kok nggak bilang ke Kay sendiri pakai minta Tante Rosa segala."

"Dia telpon, jarang kamu angkat. Pesan juga nggak pernah kamu jawab. Dion serius sama kamu Kay, mama berharap kamu mau kasih dia kesempatan. Sekali-kali terima ajakannya untuk keluar."

Iya, kenapa aku jahat sekali pada pria itu, jadi merasa bersalah.

"Kalau sudah nggak banyak kerjaan, nanti Kay kasih tau Dion sendiri ma," jawabku.

Aku bergeming, melihat mama. Ragu ingin kuceritakan tentang Mas Dipta. Tapi bibir ini serasa kelu, ini bukan kabar yang baik. Mama sedang tidak terlalu sehat, aku tak ingin menambah beban pikirannya. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat.

"Kamu kenapa?" tanya mama terlihat heran.

"Emm, nggak mah, nggak apa-apa. Kay ganti baju dulu," jawabku. Gegas kukekamar agar tak ditanya hal lainnya lagi.

Selesai bersiap aku kembali ke ruang makan. Prily sudah duduk manis dengan segelas susu dan roti selai coklat kesukaannya. Senyumnya selalu menjadi booster setiap pagiku.

"Are you ready?" tanyaku pada gadis kecilku itu, aku memang selalu mengantarnya ke sekolah. Pulang sekolah oma dan opanya yang jemput.

"Asyiap bos Mommy," jawabnya dengan riang.

Kotak bekal sudah mama siapkan untuk cucu kesayangannya tersebut. Sebuah kecupan manis dari sang oma mengiringi langkah kecil Prilly masuk ke dalam mobil.

Selepas mencium punggung tangan mama dan juga pipi kanan kirinya aku bergegas mengikuti Prilly yang sudah menungguku. Kulajukan pelan Yaris merahku, keluar dari halaman rumah. Kembali kutanyakan apa ada yang ketinggalan, gadis kecilku menggeleng.

"Mom, Ly mimpi ketemu papa, papa ngajak Ly main, seneng deh mom," cerita Prilly tiba-tiba.

"Ly kangen papa, kalau sudah di surga papa nggak bisa pulang ya, mom," ucapnya lagi.

Ada yang menyentak rasa sakitku, di sini ngilu rasanya di dalam dadaku. Aku tak tau gambaran sosok papa seperti apa yang ada dalam benak anakku. Bagaimana nanti kalau dia tau papanya masih hidup dan tak tau atas keberadaanya.

Aku mengusap pelan kepala gadis kecilku itu, ngilu sekali rasanya hatiku. Bisa kulihat di matanya betapa dia juga ingin seperti teman-temannya. Ada senyum kecil yang sulit kuartikan saat dia melihat temannya diantar oleh ayahnya. Rasanya ada sembilu yang mengiris hati ini. Perih sekali ...

Dan kini, papanya benar-benar telah kembali. Tanpa tau ada gadis kecil yang begitu merindukan sosoknya. Gadis kecil yang selalu berharap bisa bertemu papanya, berharap pelukan hangat walau hanya dalam mimpi. Kutahan tangisku sampai Prilly lenyap dari pandanganku, berbaur dengan murid lainnya.

Prillyku tak kekurangan kasih sayang, tapi dia tetaplah seorang gadis kecil biasa. Dia juga ingin sama seperti teman-temannya. Memiliki orang tua lengkap mama dan papa. Betapa hancurnya nanti hati anakku saat tau papanya masih ada dan akan memiliki keluarga lain.

Mataku masih terlihat sembab, saat sampai di kantor. Sedikit kuperbaiki riasanku, tak lucu rasanya terlihat oleh orang lain dalam kondisi seperti ini. Harus profesional, walau tak mudah. Tapi harus bisa memisahkan masalah hati dan pekerjaan. Perusahaan membayarku bukan untuk bergalau ria. Cukup kusadari tanggung jawabku.

Waktu menunjukkan jam delapan kurang seperempat. Karyawan yang lain sudah cukup banyak terlihat. Seperti biasa saling menyapa dan mengucapkan salam. Sebuah senyum tersungging di setiap bibir.

Friska belum ada di ruangannya, aku langsung menuju ruanganku. Di meja sudah banyak berkas menungguku, seakan mengatakan santap aku. Menjelang akhir bulan memang semakin banyak laporan yang harus kukerjakan.

Baru saja kuletakkan tasku diatas meja, terdengar dering telpon dimejaku.

"Selamat pagi, dengan Kayana di sini, ada yang bisa saya bantu?" ucapku, sebagai greeting wajib di kantor ini.

"Kay, keruangan saya sebentar," ucap seseorang di ujung telepon. Dia Pak Ryan, atasanku.

"Baik, pak," jawabku.

Ruangan Pak Ryan ada di lantai atas, aku harus menaiki tangga untuk sampai di sana. Kuketuk pelan pintu yang sudah setengah terbuka itu. Terdengar suara memintaku masuk.

"Pagi, Pak," sapaku. Pria itu melihatku dan menyuruhku duduk dengan isyarat tangannya.

"Tanggal lima ada gathering di Bali selama satu minggu, kamu temani saya," ucap Pak Ryan.

"Minggu depan ya Pak?"

"Iya, sudah saya email undangannya, kamu buat sekalian SPD nya, sekalian urus tiket pesawat pulang perginya juga. Untuk Hotel sudah di siapkan oleh kantor pusat," jelas Pak Ryan kemudian. Aku menganggukan kepalaku.

"Baik, Pak. Ada lagi mungkin?"

"Laporan kamu yang diminta pusat sudah selesai?"

"Hari ini Pak, sebagian besar sudah saya email. Sudah saya cc kan ke Pak Ryan juga."

Pria itu memanggutkan kepala.

"Ya sudah, itu saja," ucapnya kemudian.

Aku bergegas keluar setelah permisi padanya. Ini menjadi Gathering pertamaku dengan Bos baru itu, dia memang belum lama pindah ke kantor ini. Baru tiga bulan yang lalu. Sosok yang dingin di mata karyawan disini.

Aku memerlukan datanya untuk pemesanan tiket. Kucari tau saja di HRD, tapi tak ada salahnya kumeminta ke orangnya langsung. Kuputar badanku dan kembali keruangannya.

"Maaf Pak, saya butuh identitas Bapak untuk pemesanan tiketnya," pintaku padanya.

"Nanti saya email," jawabnya singkat.

"Baik, pak," ucapku. Kemudian kembali permisi.

Segera kunyalakan komputer dan mengecek email masuk. Kutemukan email darinya di antara puluhan email yang belum kubuka. Nanda Ryan Pamungkas, tiga tahun di atasku. Tanggal tujuh, sebentar lagi dia ulang tahun. Status belum kawin, kupikir sudah berkeluarga. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, antusias sekali diriku.

"Kay, darimana aja, aku barusan ke sini kamu nggak ada," ucap Friska mendekatiku.

"Dari ruangan Pak Ryan," jawabku.

"Dia manggil kamu?" tanya Friska, aku mengangguk.

"Nggak lewat Pak Azhar?"

"Nggak, emang kenapa?"

"Nggak apa-apa, eh titipan dari bunda, lasagna sama macaroni schotel."

Friska menyodorkan bungkusan yang sedari tadi dipegangnya. Aku tersenyum, lasagna buatan bunda memang tiada duanya.

"Bunda tanya, kapan kamu siap jadi mantunya, Mas Byan keburu jadi bujang lapuk nungguin kamu," ucap Friska dengan tawa kecilnya.

"Sogokkan kah ini?" tanyaku sambil mengangkat bungkusan itu. Friska tertawa.

"Ya udah aku balik dulu, Bye."

Byan, Friska memang sering menjodohkanku dengan kakak lelakinya itu. Bukan pekerja kantoran, dia punya usaha toko spare part dan bengkel mobil. Meneruskan usaha keluarga. Friska hanya dua bersaudara. Pikiranku kembali ke Mas Dipta, bagaimana mengawali membuka kisahnya pada Friska.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
edmapa Michael
cerita bagusssssss........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status