Share

BAB 7

“Andra kecelakaan.”

Bagai petir di siang bolong. Aku mendengar kabar itu di hari yang terlalu tenang untuk sebuah musibah. Namun, aku lupa, musibah tidak selalu membutuhkan langit yang mendung untuk mengundangnya datang.

Justru, musibah lah yang membuat langit cerah mendadak mendung di langitmu, tapi tidak di langit orang lain.

Ketika aku sampai di rumah sakit. Orang-orang sudah berkumpul di tempat itu. Pihak sekolah putraku, pria itu, Ibu mertuaku, bahkan Lina. Seakan mereka sudah siap di sana, bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi.

Aku ingin bertanya apa yang terjadi. Bukankah seharusnya itu pertanyaan pertama yang akan kau ajukkan? Tapi kemudian aku mundur. Apa gunanya? Untuk apa aku bertanya tentang yang sudah terjadi? Bukankah itu hanya akan semakin menyakitiku?

Seorang perawat keluar tidak lama setelah kedatanganku.

“Keluarga Andra,” panggilnya. Aku maju, sebagai ibunya, dan pria itu maju sebagai ayahnya.

Kami masuk ke dalam sebuah ruangan, bertemu seorang dokter berkaca mata tebal yang menatap penuh simpati. “Tulang kakinya patah, dan harus segera dilakukan operasi.” Dokter itu menunjukan foto rontgen tulang yang mencuat keluar kulit. “Kalau setuju, silakan tanda tangani berkas ini.”

Aku langsung mengambil pulpen yang tersedia di atas meja. Itu sama sekali tidak memerlukan persetujuan, mereka harus melakukannya, mereka harus menyelamatkan putraku. Namun, saat aku mendengar kata-kata pria itu, jantungku terasa berhenti berdetak sesaat.

“Akan kami pikirkan dulu, Dok.”

Aku menoleh kepada kata-kata itu. Putra kami sekarat, dan dia masih memiliki waktu untuk berpikir?

Dokter itu memberikan kami waktu untuk berpikir saat aku tidak memiliki hal lain yang bisa kupikirkan. Pria itu membawaku ke lorong rumah sakit yang sepi. Mengajakku bicara saat putraku mungkin bisa mati kapan saja.

Hidup dan mati. Kata itu terngiang-ngiang bagai nyanyian nina bobo yang tak kunjung usai di kepalaku.

Kau hidup untuk satu tujuan.

Dan aku mulai bertanya-tanya apa tujuanku hidup di dunia ini. Mengapa Tuhan membuat wanita lemah sepertiku tetap hidup, saat mati akan lebih mudah untuk dilalui.

Orang tuaku meninggal karena kecelakaan tragis. Keduanya tewas seketika. Dan aku menjadi yatim piatu dalam sekedipan mata. Hidupku yang miskin semakin miskin. Tapi aku selalu bekerja. Tak pernah sekalipun aku mengemis. Prinsipku, yang kumakan hari itu harus menjadi hasil keringatku, bukan hasil iba orang lain.

Lalu, pria itu datang. Kemiskinan membuat kami merasa menjadi teman seperjuangan. Di tengah malam-malam tanpa bintang, kami berbaring di atas aspal yang sepi, menatap langit seakan itu adalah milik kami. Dengan tubuh berbau peluh, kami mulai mengurai mimpi. Kami akan berusaha sekeras mungkin untuk menggapai tangga tertinggi kehidupan. Kami akan saling bahu membahu untuk mendapatkan kursi sosial yang tinggi, hingga bisa membalas pandangan rendah orang-orang selama ini.

Lalu secara ajaib, kami berhasil.

Dia berhasil. Aku berhasil. Sampai akhirnya sekarang ia melepaskan tanganku.

“Aku akan membiayai semua operasi Andra. Asalkan kamu membatalkan niat perceraian kita, dan menerima dia.”

Aku menatap pria itu lekat-lekat. Mencari celah yang menyembunyikan jiwa iblis di balik penampilan manusianya. Lalu, aku sadar, dicari bagaimana pun aku takkan menemukan celah itu. Karena sejak awal, ia tidak pernah bersembunyi. Ia adalah iblis yang membaur, dan aku baru saja terkecoh.

“Kamu memberikan syarat untuk menyelamatkan anakmu sendiri?” tanyaku dengan suara bergetar.

Dan pria itu berpura-pura kehilangan arah.

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g waras dan kebanyakan sampah nih cerita. tunjukkan harga diri mu njing
goodnovel comment avatar
Zalfa Meisya
kata katanya bertele tele, seperti puisi,jadi males bc
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Ayah sedeng
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status