Kutarik napas dalam-dalam, menata ekspresi wajah agar tampak biasa saja. Baru kudorong pintu perlahan. Di dalam, dua orang duduk berdekatan sambil menatap layar laptop. Tapi sempat kulihat wajah keduanya tampak murung, bahkan mata perempuan itu berkaca-kaca. Aku tersenyum, meski hatiku remuk redam untuk yang ke sekian kali.
"Vi," panggil Mas Ilham terkejut. Dia langsung berdiri, pun begitu dengan Nura yang sibuk menyeka air mata.
"Maaf, aku enggak mengetuk pintu. Ku pikir Mas sendirian. Aku hanya mau mengantarkan obat Mas yang ketinggalan."
Kuletakkan plastik obat di meja. Setelah itu aku berbalik dan pergi. Dia mengejar. Di tangga yang sepi Mas Ilham menahan lenganku.
"Jangan salah paham, Vi. Mas akan cerita nanti." Mas Ilham menjelaskan dengan panik.
Aku diam tidak menjawab apa-apa.
"Kamu tadi naik apa ke sini?"
"Naik motor."
"Kuantar pulang. Biar motornya di antar OB nanti."
"Enggak usah." Tanganku kutarik paksa dan kembali menuruni tangga.
"Ayo, Mas antar."
Mas Ilham meraih lenganku lagi. Kubiarkan dia mengikuti hingga di parkiran. Waktu melewati para karyawan tadi, aku tetap menunjukkan wajah ramah penuh senyum. Hancur biarlah di dalam sini, di luar jangan.
"Aku naik motor saja, Mas," kataku terus melangkah ke arah motor yang terparkir. Dia terpaksa mengikuti.
"Kembalilah ke kantor, enggak enak dilihat para karyawan."
"Mas ngantar kamu dulu. Jarak ini jauh, Vi. Kenapa nekat ngantar obat pakai motor. Harusnya tadi kamu telepon saja biar diambil OB."
"Enggak apa-apa, Mas. Dengan begini aku jadi tahu, kemana langkah yang harusnya aku ambil."
"Please, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Ayo, Mas antar pulang!"
Kuraih helmet dan memakainya. "Aku bisa pulang sendiri, sepertinya Mas juga punya urusan yang lebih penting."
Mas Ilham tidak bisa mencegah lagi ketika aku sudah menstater motor matic. Tanpa bicara lagi, motor melaju pergi.
Dua kilometer setelah meninggalkan kantornya, aku berhenti di bawah pohon pinggir jalan. Menaikkan kaca helmet dan mengusap air mata yang membasahi pipi.
Aku harus tenang untuk pulang, jangan sampai terjadi apa-apa di jalan karena kekacauan pikiran ini. Aku harus tetap bernapas demi Syifa.
Ponsel yang berdering tiada henti kuabaikan. Nada dering itu khusus panggilan dari nomer Mas Ilham.
Bayangan percintaan tadi malam dan pemandangan di ruangan itu, membuatku mual dan berada di titik paling gila. Jika begini terus aku akan mati pelan-pelan.
Bismillah, aku akan melangkah ke tempat yang seharusnya aku pergi.
Next ....
Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman 😍
#
Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam."Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang."Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?""Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?""Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah.""Kamu ada masalah lagi sama Ilham.""Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput.""Iya, Nduk.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wan
Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat. "Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar." "Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?" Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas." "Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya." Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi. Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi
POV Ilham Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya. Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan. Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri. Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini. Namanya, Vi Ananda. Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya
POV Ilham Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan. "Maafkan Papa, Sayang." Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku. Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan. "Halo, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima. "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah." "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n
Part 6 Kehilangan Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain. Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat. Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa. "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV. Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya. Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham. Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya
Part 6 Kehilangan"Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan."Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran."Orangnya masih di depan."Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana."Assalamu'alaikum," sapaku.Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam.""Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya."Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?""Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku.""Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan
Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku. Perlahan tangan kutarik. Mas Ilham tersenyum meski matanya memerah. "Sejak kapan, Mas, di sini?" "Kira-kira setengah jam yang lalu. Mas kaget waktu dikabari sama Miya. Kenapa enggak ngasih tahu Mas kalau kamu hamil, Vi?" Benar saja, pasti Miya yang memberitahunya. "Enggak apa-apa," jawabku singkat. Padahal aku sendiri tidak tahu kalau tengah mengandung. Aku berusaha bangun dan duduk. Kubiarkan Mas Ilham membantuku. Rasa nyeri dan lemas masih terasa. Lagi-lagi dalam kondisi kecewa begini, aku masih membutuhkannya. "Maafkan Mas." Digenggamnya kedua tanganku. Netranya menatap lekat. "Karena keegoisan Mas, kita kehilangan calo
Dokter wanita berperawakan sedang itu tersenyum saat masuk ruang perawatanku. Di belakangnya ada suster yang mengikuti."Selamat pagi, Bu Vi Ananda. Selamat pagi Pak Ilham," sapanya ramah."Pagi, Dok," jawabku hampir bersamaan dengan Mas Ilham."Sudah lebih baik, 'kan, sekarang? Jangan lupa di minum obatnya, Bu. Biar cepat pulih dan lekas dapat dedek lagi."Aku tersenyum menanggapi doa dokter setengah baya itu.Hanya sebentar dokter itu visit, karena kondisiku secara medis sudah membaik. Tentang hati? Hanya aku yang tahu. Dokter dan perawat itu pasti menilai kegundahan kami hanya karena baru saja kehilangan calon anak.Mas Ilham keluar untuk membereskan pembayaran. Ponselnya yang tertinggal di meja berpendar. Aku menahan diri untuk tidak melihat siapa yang menelepon. Cukuplah, aku tidak harus tahu lagi.Aku membenahi jilbab milik Miya yang dibawakan kemarin. Mas Ilham menunggu sambil duduk di depanku."Mas, enggak