Share

Part 4b Ibu, Izinkan Aku Pulang

Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat.

"Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar."

"Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?"

Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas."

"Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya."

Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi.

Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi kirinya, sungguh sesakit ini pun aku masih mencintainya. Cinta dan luka sama-sama berkuasa di dada sini.

Kami saling pandang sebelum kusandarkan kepalaku di dadanya. Merasakan detak jantung yang kuharap masih ada aku dalam getarnya.

Dalam hati aku menertawakan diri sendiri. Kebodohan apa yang aku miliki sekarang ini, sampai ke tahap begini masih juga merindu aroma raga yang telah tega membuatku seperti tak berharga.

Aku menarik diri. Namun, lengan kokoh itu menahannya. 

Malam itu kami menikmati kebersamaan dalam peraduan yang bertahun ini menjadi saksi, bagaimana aku selalu melayani dia seperti raja.

Di saksikan pekat malam, kubaktikan diriku sekali lagi, mungkin ini untuk yang terakhir kali.

🌺🌺🌺

Pagi yang cerah. Aku masih seperti kegiatan biasanya. Sibuk di dapur dan menyiapkan Syifa untuk pergi ke sekolah.

Gadis kecilku makan sendiri berlaukkan telur mata sapi kesukaannya.

"Ini telur ayam, 'kan, Ma? Kenapa dibilang telur mata sapi?"

"Itu hanya istilah, Sayang."

"Kenapa enggak disebut telur mata ayam saja?"

"Baiklah, mulai sekarang kita menyebutnya telur mata ayam," jawabku sambil mencubit gemas pipinya. Syifa tertawa.

Kutuang nasi ke dalam piring saat kulihat Mas Ilham keluar dari kamar. Dia tidak memakai baju kerja. Tapi memakai kaos warna dark blue dan celana jeans warna hitam. Wajahnya sendu. Kugeser piring nasi ke hadapannya.

"Mas, enggak kerja?" tanyaku.

"Mas ngambil cuti," jawabnya sambil duduk setelah mencium pipi putri kami.

Aku tidak bertanya lagi. Kami sarapan dalam diam. 

"Ayo, Syifa, nanti kita terlambat!" kataku saat Syifa tidak juga menghabiskan makannya.

"Disuapi Mama, ya?"

Syifa menggeleng. "Syifa sudah kenyang, Ma."

"Ya, sudah. Mari cuci tangan dulu dan berangkat sekolah."

"Biar Mas yang ngantar Syifa."

Mas Ilham menyudahi sarapannya, padahal masih ada separuh nasi yang masih ada di piring.

Setelah mereka berangkat, aku membereskan dapur, mengeluarkan cucian dari mesin pengering, dan menjemurnya.

Ketika aku masuk rumah, ponselku di atas kulkas bergetar. Ibu yang menelepon. 

Aku melangkah ke dapur sambil menjawab panggilan, karena bersamaan dengan Mas Ilham masuk rumah.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"W*'alaikumsalam. Vi, nanti siang setelah ngantar pesanan, Pak Nardi mampir menjemputmu dan Syifa."

"I-iya, Bu, kutunggu. Jam segitu Syifa juga sudah pulang sekolah."

"Ya, sudah, Nduk. Ibu rekap pesanan dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

"Kamu benar-benar ingin pulang, Vi?" tanya Mas Ilham yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Iya. Pak Nardi akan menjemput kami siang nanti. Setelah ini kita akan bicarakan lagi masalah perceraian. Lebih baik menggunakan jasa pengacara saja, Mas. Sebab Mas juga sibuk, 'kan?"

Mas Ilham diam mematung dengan kedua tangannya dimasukkan dalam saku celana. Lantas membuang pandang ke luar jendela ruang makan. 

Hening.

Aku melangkah cepat masuk ke kamar. Jangan menangis, jangan menangis, jangan menangis, Vi. Stop untuk meratapi semuanya.

🌺🌺🌺

Siang itu aku dan Syifa benar-benar pulang ke rumah Ibu. Tidak jadi bersama Pak Nardi, tapi di antar Mas Ilham. 

"Barang-barangku yang lain akan kuambil lain hari, Mas," ucapku di perjalanan. Mas Ilham diam seribu bahasa.

Ibu menyambut kami dengan wajah semringah. Beliau berusaha menyembunyikan kepedihan melihat keadaan rumah tangga kami.

Wanita berjilbab ungu itu memeluk Syifa, lantas memeluk dan menciumi pipiku dengan mata berkaca-kaca. Beliau juga memeluk menantu yang menangis di bahunya. Untungnya Syifa tidak menyaksikan bagaimana kekacauan keadaan ini, karena dia langsung berlari menuju toko kue. Syifa paling suka melihat karyawan ibu mengadon kue dengan mixer.

Sejenak kami terjebak hening yang amat dalam. 

"Maafkan saya, Bu. Belum bisa membahagiakan Vi dan Syifa. Saya malah menyakitinya," ucap Mas Ilham sambil memandang sendu pada Ibu.

"Kedatangan saya ke sini bukan untuk mengembalikan Vi. Kami hanya butuh waktu untuk berbenah diri, terutama saya. Sedangkan Vi butuh waktu untuk bisa memaafkan saya."

Ibu mengangguk sambil menyeka air mata. "Tidak ada rumah tangga tanpa badai, Nak Ilham. Carilah jalan keluar biar badai itu berlalu. Jika pada akhirnya anak Ibu memang bukan pilihan yang tepat untuk, Nak Ilham. Kembalikan dia pada Ibu secara baik-baik, sebagaimana dulu Nak Ilham memintanya secara baik-baik."

Mas Ilham menarik napas dalam-dalam. Dia pun sibuk menata hatinya. 

Kami berbincang dari hati ke hati. Mas Ilham mengakui kesalahan di hadapan Ibu, karena membiarkan masa lalunya kembali dan pada akhirnya mengabaikanku dan anaknya sendiri.

Permohonan maaf diminta berkali-kali. Dengan senyum tulus, Ibu berusaha menenangkan dan menasehati.

Beberapa saat setelah kami makan bersama, Mas Ilham pamit. Dia memeluk Syifa dan menciumi pipinya.

"Papa akan sering datang ke sini. Syifa jangan nakal, ya. Nurut sama Mama dan Nenek. Papa akan menjemput Mama dan Syifa suatu hari nanti," kata Mas Ilham sambil memangku putri kami.

Gadis kecilku mengangguk. Setelah itu Syifa turun dari pangkuannya dan kembali berlari ke luar.

"Saya titip Vi dan Syifa, Bu."

Ibu mengangguk sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pundak menantu satu-satunya.

Mas Ilham pamitan, kucium tangannya sebagai tanda perpisahan. 

Priaku melangkah gontai menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Siapa yang lebih hancur? Kami sama-sama hancur kali ini.

Ibu memanggil Tarjo. Laki-laki umur dua puluhan yang menjadi karyawan toko rotinya.

"Jo, ikuti Mas Ilham, ya. Jangan sampai terjadi apa-apa di jalan," titah Ibu.

"Njih, Bu."

Laki-laki berkulit gelap itu segera menuju motor yang terparkir di belakang toko kue. Lantas mengikuti mobil yang bergerak perlahan meninggalkan halaman.

Meskipun Ibu tahu tentang awal mula permasalahan ini, tapi beliau tetap menjadi sosok Ibu yang penuh perhatian. Padahal putrinya telah tersakiti.

Aku masuk kamar dan menjatuhkan diri di sana. Ibu mengusap punggungku penuh cinta. "Sabar, Nduk. Kamu pasti kuat. Contohlah Ibumu ini, tetap tangguh hingga kini. Ibu kuat demi kamu dan kamu harus kuat demi Syifa."

Next

Komen (15)
goodnovel comment avatar
PiMary
Ikutan terluka duhh.....saling cinta tp ada ganjalan,hal yg dikira biasa2 aja justru itu masalahnya.
goodnovel comment avatar
Diana Chaniago
suka ceritanya
goodnovel comment avatar
Mamaochyr Alvaro
sambil baca air mata gk bisa berhenti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status